PERANAN SUNAN AMPEL DALAM
MEYEBARKAN ISLAM DI JAWA
Oleh: Ramli Nawawi
Kalau sdr bepergian ke kota Surabaya ibu kota
Propinsi Jawa Timur, tepatnya di Kelurahan Ampel maka sdr akan menemukan makam
Sunan Ampel, yakni salah seorang dari mereka yang disebut Wali Songo.Makam ini
terdapat dalam satu komplek dengan Masjid Ampel..
Sebagai salah satu aset wisata keagamaan makam dan
Masjid Ampel ini setiap harinya banyak dikunjungi masyarakat yang datang
berziarah, baik yang berasal dari Pulau Jawa sendiri, maupun dari pulau-pulau
lain di Nusantara ini.
Sebagai aset wisata yang dikenal di Nusantara, maka satu hal yang
menarik pada komplek Sunan Ampel ini, yaitu di jalan masuk komplek dimaksud
terdapat berbagai jenis dagangan berupa makanan dan pakaian yang berciri khas
Islami, yakni berupa barang makanan dan pakaian yang biasanya terdapat di
pasar-pasar yang ada di Tanah Suci Mekah Saudi Arabia. Pakaian berupa pakaiaian
Muslim wanita, sajadah, serban, kupiah haji, tasbih dan lain-lain pakaian
Muslim untuk pria. Juga berbagai makanan untuk oleh-oleh yang bisa dibawa
pulang seperti buah korma, kacang Arab, dan lain-lain. Tersedianya berbagai
barang jualan yang biasanya dibeli Jamaah Haji sewaktu menunaikan ibadah haji
di Tanah Suci tersebut, merupakan daya tarik tersendiri yang menyebabkan banyak
orang yang datang di Surabaya menyempatkan diri berkunjung ke komplek Sunan
Ampel, di samping untuk berziarah ke makam anggota Wali Songo tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
sebaiknya kita mengetahui siapakah sebenarnya Sunan Ampel di maksud. Sunan
Ampel semula bernama Sayid Ali Rahmatullah. Ia lahir di Campa sekitar tahun
1401 Masehi. Orang tuanya bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama
Samargandi tersebut karena beliau berasal dari Samargand, sebuah daerah di
tanah Rusia sekarang. Di Samargand ini terdapat daerah lagi yang bernama
Bukhara, yakni daerah yang melahirkan ulama-ulama besar seperti sarjana (ulama)
”hadits” terkenal bernama bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai ”perawi”
(orang yang meriwayatkan Hadits Nabi Muhammad saw) yang dikenal sebagai hadits-hadits
sahih.
Di Samargand ini pula terdapat seorang ulama besar
bernama Syekh Jamaluddin Jumaidi Kubra, seorang Ahlussunnah wal Jamaah
bermazhab Imam Syafifi. Syekh Jamaluddin inilah yang melahirkan Syekh Maulana
Ibrahim Samargandi yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa (Muang Thai),
oleh raja Campa di jodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Dari
perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candrawulan
inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah, yang kemudian disebut Sunan Ampel.
Sedangkan seorang putri Campa lainnya yang bernama
Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir.
Kemudian bagaimana
Sayid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) sampai ke tanah Jawa, ceriteranya
sebagai berikut.
Di Kerajaan Majapahit, setelah Mahapatih Gajah
Mada meninggal terjadi kemunduran yang drastis. Sejak itu pula para bangsawan
dan para pangeran banyak yang suka berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan.
Ketika Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir memerintah, dia saat itu merasa
sedih dan gelisah, karena menyadari bahwa apabila hal kemerosotan moral di
kalangan kerajaan tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah,
sehingga Majapahit mudah dihancurkan oleh musuh.
Dalam situasi itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu
Brawijaya yang menyadari keresahan suaminya mengajukan pendapat kepada Prabu
Brawijaya suaminya untuk meminta bantuan kepada keponakannya seorang Pangeran
Dari Campa bernama Sayid Ali Rahmatullah, yang di negrinya di kenal sebagai
seorang yang arif dan bijaksana.
Sang Prabu Brawijaya menyetujui usul isterinya
tersebut, sehubungan dengan itu diutuslah seorang pejabat dari Majapahit untuk
menyampaikan permintaan Sang Prabu Brawijaya dan isterinya tersebut ke istana
kerajaan di Campa.
Menanggapi permintaan tersebut Sayid Ali
Rahmatullah menyatakan kesediaannya. Iapun kemudian berangkat ke tanah Jawa.
Setibanya di Kerajaan Majapahit dan menghadap Sang Prabu Brawijaya, Sayid Ali
Rahmatullah di tempat baru ini biasa di sebut Raden Rahmat, ditugaskan oleh
sang raja untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah
rusak tersebut.
Setelah berlangsung beberapa bulan, Prabu
Brawijaya yang melihat kearifan Raden Rahmat dan keberhasilan usahanya dalam
membina moral keluarga raja dan bahkan rakyat di sekitarnya tersebut, kemudian
menjodohkan Raden Rahmat dengan anaknya yang bernama Putri Candrawti. Bahkan
selanjutnya untuk meneruskan usahanya menanamkan moral dan kebenaran terhadap
rakyat umumnya, Prabu Brawijaya memberikan sebidang tanah kepada Raden Rahmat
dan isterinya untuk mereka tinggal bersama pengikut-pengikutnya. Tanah hadiah
Prabu Brawijaya tersebut terletak di Desa Ampel Denta (di Surabaya bagian utara
sekarang)
Raden Rahmat dan isterinya serta pengikutnya yang
berdiam di Desa Ampel Denta, dalam usahanya menyebarkan ajaran Islam kepada
rakyat di sekitarnya, kemudian mendirikan sebuah langgar untuk melaksanakan
shalat berjamaah yang dipimpin oleh Raden Rahmat. Karena pengikutnya semakin lama
semakin banyak, langgar tersebut juga kemudian diperbesar sehingga menjadi
sebuah masjid. Masjid tersebut kemudian tidak hanya berfungsi sebagai tempat
shalat lima waktu, tetapi juga tempat bagi Raden Rahmat untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada pengikutnya, murid-muridnya dan rakyat sekitarnya
yang pada umumnya telah memeluk agama Islam pula.
Masjid yang dibangun Raden Rahmat untuk
melaksanakan shalat berjamaah dan tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada
murid dan pengikut-pengikutnya tersebut, kemudian dikenal masyarakat sebagai
Masjid Ampel. Sedangkan Raden Rahmat sendiri kemudian oleh pengikut-pengikutnya
disebut Sunan Ampel.
Dakwah pokok Sunan Ampel yang berlangsung dari
masjid Ampel tersebut ialah memberikan penjelasan mengenai makna dan
tafsir dari kalimat: BISMILLAH, ALHAMDULILLAH,
ASTAGFIRULLAH dan SYAHADATAIN.
Sementara itu Sunan Ampel juga mengajarkan
falsafah MOH LIMO, atau tidak mau melakukan lima hal yang tercela, yaitu:
- MOH MAIN, atau tidak mau brjudi.
- MOH NGOMBE, atau tidak mau minum arak, atau bermabuk-mabukan.
- MOH MALING, atau tidak mau mencuri.
- MOH MADAT, tidak mau mengisap candu, ganja, dll.
- MOH MADON, tidak mau berzina..
(HRN: Harap
naskah ini tidak diposting ke blog lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar