Minggu, 26 Oktober 2014

PERANAN SUNAN AMPEL DALAM PENYEBARAN ISLAM DI JAWA



PERANAN SUNAN AMPEL DALAM MEYEBARKAN ISLAM DI JAWA

Oleh: Ramli Nawawi

Kalau sdr bepergian ke kota Surabaya ibu kota Propinsi Jawa Timur, tepatnya di Kelurahan Ampel maka sdr akan menemukan makam Sunan Ampel, yakni salah seorang dari mereka yang disebut Wali Songo.Makam ini terdapat dalam satu komplek dengan Masjid Ampel..
Sebagai salah satu aset wisata keagamaan makam dan Masjid Ampel ini setiap harinya banyak dikunjungi masyarakat yang datang berziarah, baik yang berasal dari Pulau Jawa sendiri, maupun dari pulau-pulau lain di Nusantara ini.
Sebagai aset wisata yang  dikenal di Nusantara, maka satu hal yang menarik pada komplek Sunan Ampel ini, yaitu di jalan masuk komplek dimaksud terdapat berbagai jenis dagangan berupa makanan dan pakaian yang berciri khas Islami, yakni berupa barang makanan dan pakaian yang biasanya terdapat di pasar-pasar yang ada di Tanah Suci Mekah Saudi Arabia. Pakaian berupa pakaiaian Muslim wanita, sajadah, serban, kupiah haji, tasbih dan lain-lain pakaian Muslim untuk pria. Juga berbagai makanan untuk oleh-oleh yang bisa dibawa pulang seperti buah korma, kacang Arab, dan lain-lain. Tersedianya berbagai barang jualan yang biasanya dibeli Jamaah Haji sewaktu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci tersebut, merupakan daya tarik tersendiri yang menyebabkan banyak orang yang datang di Surabaya menyempatkan diri berkunjung ke komplek Sunan Ampel, di samping untuk berziarah ke makam anggota Wali Songo tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sebaiknya kita mengetahui siapakah sebenarnya Sunan Ampel di maksud. Sunan Ampel semula bernama Sayid Ali Rahmatullah. Ia lahir di Campa sekitar tahun 1401 Masehi. Orang tuanya bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi tersebut karena beliau berasal dari Samargand, sebuah daerah di tanah Rusia sekarang. Di Samargand ini terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, yakni daerah yang melahirkan ulama-ulama besar seperti sarjana (ulama) ”hadits” terkenal bernama bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai ”perawi” (orang yang meriwayatkan Hadits Nabi Muhammad saw) yang dikenal sebagai hadits-hadits sahih.
Di Samargand ini pula terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidi Kubra, seorang Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Imam Syafifi. Syekh Jamaluddin inilah yang melahirkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa (Muang Thai), oleh raja Campa di jodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candrawulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah, yang kemudian disebut Sunan Ampel.
Sedangkan seorang putri Campa lainnya yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir.
Kemudian bagaimana  Sayid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) sampai ke tanah Jawa, ceriteranya sebagai berikut.
Di Kerajaan Majapahit, setelah Mahapatih Gajah Mada meninggal terjadi kemunduran yang drastis. Sejak itu pula para bangsawan dan para pangeran banyak yang suka berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan. Ketika Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir memerintah, dia saat itu merasa sedih dan gelisah, karena menyadari bahwa apabila hal kemerosotan moral di kalangan kerajaan tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah, sehingga Majapahit mudah dihancurkan oleh musuh.
Dalam situasi itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya yang menyadari keresahan suaminya mengajukan pendapat kepada Prabu Brawijaya suaminya untuk meminta bantuan kepada keponakannya seorang Pangeran Dari Campa bernama Sayid Ali Rahmatullah, yang di negrinya di kenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
Sang Prabu Brawijaya menyetujui usul isterinya tersebut, sehubungan dengan itu diutuslah seorang pejabat dari Majapahit untuk menyampaikan permintaan Sang Prabu Brawijaya dan isterinya tersebut ke istana kerajaan di Campa.
Menanggapi permintaan tersebut Sayid Ali Rahmatullah menyatakan kesediaannya. Iapun kemudian berangkat ke tanah Jawa. Setibanya di Kerajaan Majapahit dan menghadap Sang Prabu Brawijaya, Sayid Ali Rahmatullah di tempat baru ini biasa di sebut Raden Rahmat, ditugaskan oleh sang raja untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah rusak tersebut.
Setelah berlangsung beberapa bulan, Prabu Brawijaya yang melihat kearifan Raden Rahmat dan keberhasilan usahanya dalam membina moral keluarga raja dan bahkan rakyat di sekitarnya tersebut, kemudian menjodohkan Raden Rahmat dengan anaknya yang bernama Putri Candrawti. Bahkan selanjutnya untuk meneruskan usahanya menanamkan moral dan kebenaran terhadap rakyat umumnya, Prabu Brawijaya memberikan sebidang tanah kepada Raden Rahmat dan isterinya untuk mereka tinggal bersama pengikut-pengikutnya. Tanah hadiah Prabu Brawijaya tersebut terletak di Desa Ampel Denta (di Surabaya bagian utara sekarang)
Raden Rahmat dan isterinya serta pengikutnya yang berdiam di Desa Ampel Denta, dalam usahanya menyebarkan ajaran Islam kepada rakyat di sekitarnya, kemudian mendirikan sebuah langgar untuk melaksanakan shalat berjamaah yang dipimpin oleh Raden Rahmat. Karena pengikutnya semakin lama semakin banyak, langgar tersebut juga kemudian diperbesar sehingga menjadi sebuah masjid. Masjid tersebut kemudian tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat lima waktu, tetapi juga tempat bagi Raden Rahmat untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada pengikutnya, murid-muridnya dan rakyat sekitarnya yang pada umumnya telah memeluk agama Islam pula.
Masjid yang dibangun Raden Rahmat untuk melaksanakan shalat berjamaah dan tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada murid dan pengikut-pengikutnya tersebut, kemudian dikenal masyarakat sebagai Masjid Ampel. Sedangkan Raden Rahmat sendiri kemudian oleh pengikut-pengikutnya disebut Sunan Ampel.
Dakwah pokok Sunan Ampel yang berlangsung dari masjid Ampel tersebut ialah memberikan penjelasan mengenai makna dan tafsir  dari kalimat: BISMILLAH, ALHAMDULILLAH, ASTAGFIRULLAH dan SYAHADATAIN.
Sementara itu Sunan Ampel juga mengajarkan falsafah MOH LIMO, atau tidak mau melakukan lima hal yang tercela, yaitu:
  1. MOH MAIN, atau tidak mau brjudi.
  2. MOH NGOMBE, atau tidak mau minum arak, atau bermabuk-mabukan.
  3. MOH MALING, atau tidak mau mencuri.
  4. MOH MADAT, tidak mau mengisap candu, ganja, dll.
  5. MOH MADON, tidak mau berzina..
 (HRN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).

Tidak ada komentar: