Senin, 26 September 2016

berakhirnya kekuasaan belanda di kalimantan selatan



BERAKHIRNYA KEKUASAAN BELANDA
DI KALIMANTAN SELATAM

Disusun oleh: Drs. H.Ramli Nawawi

Dalam tahun 1941, jauh sebelum pecah Perang Pasifik, orang-orang Jepang yang tinggal di Kalimantan Selatan telah dipanggil pulang ke tanah airnya. Bertahun-tahun mereka telah tinggal di daerah ini, sebagai perintis dan pelaksana kolone ke V pemerintahnya. Jumlah mereka tidak banyak, terdiri dari pengusaha perkebunan Danau Salak dan Pelaihari, pengusaha paberik karet Nomura, pengusaha toko N.ABE dan Takara, dokter Kojen kan, dokter gigi Shogenyi, tukang cukur dan tukang potret.     

Untuk menghadapi perang Pasifik, Belanda sibuk dengan mobilisasi. Orang Belanda, Cina peranakan, orang Belanda, dimasukkan ke dalam Stadswacht (Pasukan Pengawal Kota), Luchtbeschermings Dienst atau LBD (Penjaga Bahaya Udara), Afweer en Vernielings Corp (AVC-Pasukan Pelawan dan Pengrusak) serta kesatuan lain di bawah KNIL.Mobilisasi ini terjadi di tiap-tiap kota seluruh daerah Hulu Sungai dan sebagai pusatnya  di Banjarmasin.Mereka mengadakan latihan perang-perangan sehingga betul-betul Belanda sudah siap jika Jepang datang.

Ketika perang pecah, panik memuncak, sebagian besar orang-orang sipil Belanda dan Cina mengungsi bersama KNIL, dengan kapal ke Jawa. Pada tanggal 8 Pebruari 1942, berangkatlah rombongan pengungsi terakhir dengan kapal TOBA yang diperlengkapi dengan pelampung dan rakit-rakit , tambahan apabila ditenggelamkan oleh musuh. Untuk pertama kali rakyat menyaksikan serangan Jepang terhadap Catalina Belanda di atas Barito.

Ketika Balikpapan jatuh sebagian tentara Jepang menerobos hutan-hutan ke arah Hulu Sungai Utara dan naik ke Muara Uya bagian ter utara dari Kalimantan Selatan dan berbatasan dengan Kalimantan Timur. Tentara Jepang tiba di Tanjung dengan berjalan kaki, ada juga yang bersepeda yaitu sepeda yang dirampas dari penduduk waktu dalam perjalanan . Jumlah tentara Jepang yang datang itu cukup banyak dan segar-segar. Ketika sampai di Tanjung tentara Jepang tersebut mencari Idar, sebab sejak zaman Belanda Idar menjabat sebagai Pembekal. Oleh pimpinan tentara Jepang tersebut, Idar harus membantu setiap datang tentara Jepang yang lewat nanti dengan diberi tanda merah dengan huruf  dan bahasa Jepang. Tentara Jepang ini hanya berhenti selama 3 hari, rombongan meneruskan perjalanan ke Amuntai. Kurang lebih dua minggu kemudian datang lagi rombongan tentara Jepang. Mereka yang datang ini naik kuda, jadi tidak berjalan kaki. Sebagaimana tentara yang terdahulu, tentara inipun menemui Idar, dan karena sudah ada ban merah di lengan Idar, hubungan dengan Jepang tersebut berjalan dengan lancar.

Tentara Jepang tiba di Amuntai secara mendadak, tidak lewat jalan raya, tapi jalan sungai dengan perahu. Sehari sebelum tentara Jepang ini masuk kota, pemerintah Belanda membumihanguskan beberapa gudang karet, gudang beras dan yang bersifat vital lainnya. Belanda memperkirakan tentara Jepang yang datang tidak berdaya karenannya. Tentara Belanda, Polisi, Stadswacht  dan sebagainya tak berdaya sama sekali dan masing-masinng melarikan diri dengan membuang senjata ke sungai, sehingga Jepang masuk langsung bisa menyatukan diri denagan masyarakat.Masyarakat pinggiran kota di ajak ke kota mengangkut barang-barang dan membongkar toko segala bahan makanan, toko pakaian.  Dalam hal ini toko Cina menjadi sasaran pembongkaran.

Pada waktu itu yang memimpin kota Amuntai adalah seorang aspiran Controleur Belanda. Aspiran ini ditangkap Jepang dan ditembak, begitu pula dua orang polisi di muka jembatan Paliwara dan dilemparkan ke kali. Jepang menggunakan rumah Controleur tersebut sebagai asrama tentara Jepang. Tentara Jepang yang datang ke Amuntai ini mula-mula hanya 3 (tiga) orang yang menduduki kota Amuntai, kemudian datang lagi 5 (lima) orang dan yang tiga orang terdahulu datang berangkat lagi meneruskan perjalanan ke arah selatan, yaitu Barabai, begitu seterusnya silih berganti, dan seterusnya Banjarmasin.
(HRN, Peneliti Jarahnitra:  ”bersambung”)

Tidak ada komentar: