Selasa, 19 Juni 2012
Senin, 18 Juni 2012
Sabtu, 16 Juni 2012
Rabu, 30 Mei 2012
KI AGENG PANDANARAN II PERGI KE JABALKAT
(sambungan mengenal Ki Ageng Pandanaran II)
Ki Ageng PandanaranII pergi ke Jabalkat
Oleh: Ramli Nawawi
Bagaimana Ki Ageng
Pandanang II pergi ke Jabalkat dan selanjutnya belajar ilmu keislaman kepada
Sunan Kalijaga yang mengaku sebagai Syekh Malaya tersebut diuraikan dalam Babad
Demak pada pupuh Kinanti. Uraian tersebut dimulai dari kepergian Ki Ageng
Pandanarang II ke Jabalkat diikuti oleh salah seorang isterinya. Kalau Ki Ageng
Pandanarang II tidak membawa sesuatu apapun, maka isterinya dengan diam-diam
membawa tongkat yang berisi harta benda berupa emas dan bermacam-macam permata.
Harta benda isterinya tersebut kemudian dalam perjalanan dirampok para
penyamun, sehingga kedua laki isteri tersebut sama-sama sampai di Jabalkat
tanpa membawa bekal apapun.
Dalam Babad Demak,
yakni pada pupuh Kinanti tersebut banyak digambarkan peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman Ki Ageng
Pandanaran II selama dalam perjalanan dari Semarang menuju Jabalkat. Disebutkan
antara lain bahwa Ki Agung Pandanarang II telah berhasil menyadarkan salah
seorang dari penyamun yang bernama Sambang Dalan, sehingga yang bersangkutan
kemudian mengabdikan diri kepadanya.
Sambang Dalan kemudian juga menjadi murid Sunan Kalijaga dan mengabdikan
hidupnya untuk perkembangan ajaran Islam. Karena Sambang Dalan dulu pernah
dikatakan sebagai domba oleh Ki Ageng
Pandanarang ketika ia mencoba merampas tongkatnya sewaktu dalam perjalanan dari
Semarang ke Jabalkat, sehingga Sambang Dalan kemudian mendapat julukan sebagai
Syekh Domba.
Setelah 35 hari Ki
Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan berada di Jabalkat Sunan
Kaljaga datang. Dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan juga bahwa
ketika Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan sampai di
Jabalkat, di puncak gunung itu mereka menemukan bangunan kecil yang disebut
sebagai “masjid” serta sebuah padasan kosong. Di bangunan itulah mereka bertemu
dan bersujud kepada Sunan Kalijaga. Ada
dua hal yang kemudian digambarkan dalam pupuh tersebut, yakni Sunan Kalijaga
menyuruh Sambang Dalan untuk bertobat kepada Yang Maha Kuasa agar kutukan
“sebagai kambing” hilang dan bisa kembali sebagai mana biasa. Di samping itu semenjak kedatangan
Sunan Kalijaga ke puncak Jabalkat, telah didapat sumber mata air yang airnya
mengalir dari puncak Jabalkat ke kaki gunung
tersebut.
Sesuai tujuan Ki
Ageng Pandanarang datang ke Jabalkat untuk menimba ilmu kepada Sunan Kalijaga,
maka ketika bertemu dengan Sunan Kalijaga tersebut Ki Ageng Pandanarang memohon
untuk mendapatkan penjelasan tentang “hakikat manusia yang sesungguhnya”. Di
samping itu Ki Ageng Pandanarang juga ingin tahu tentang asal–tujuan-akhir
hidup manusia ini. Sehubungan dengan itu dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan pula bahwa Sunan Kalijaga kemudian mewariskan apa yang
dinamakan “ilmu hakiki” kepada
Ki Ageng Pandanarang II.
Dalam masyarakat
Jawa yang disebut ilmu hakiki adalah ajaran yang berkaitan dengan asal dan
tujuan ciptaan Tuhan yang lebih populer dengan istilah ajaran mengenai
sangkan paraning dumadi atau pamoring Kawula Gusti, artinya ajaran
mengenai perpaduan antara hamba dan tuhannya. Ilmu tersebut diberikan Sunan
Kalijaga kepda Ki Ageng Pandanarang sehubungan tugas khusus yang diberikan
untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya. Sebagai seorang
mubalig di Jawa, khususnya di daerah Tembayat, yang merupakan sebuah daerah
mistik, sudah barang tentu memerlukan bekal berupa wejangan-wejangan mengenai
ilmu tasawuf, di antaranya mengenai sangkan paraning dumadi dan pamoring
Kawula Gusti, yang pada masa itu merupakan ajaran-ajaran yang populer di
kalangan masyarakat Islam.
Kata hakiki sendiri
berasal dari kata hak yang berarti benar. Sedangkan hakiki berarti yang
sebenarnya atau sesungguhnya. Karena itulah apabila Ki Ageng Pandanarang telah
mewarisi ilmu hakiki dari Sunan Kalijaga, maka ia telah menerima segala ilmu
tentang makhluk dan tentang Tuhan serta hubungan antara keduanya. Dalam Islam
ilmu dimaksud meliputi ilmu syari’at, hakikat, dan makrifat. Ilmu syari’at
mengatur segla perbuatan manusia. Bagi orang mukmin, Al Qur’an merupakan sumber
utama dari syari’at Islam. Sedangkan ilmu hakikat, secara sederhana berati
dasar atau sebenarnya. Seseorang yang senantiasa berpegang pada ilmu ini selalu
mengembalikan segala akibat perbuatannya
atau hasil uasahanya kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Sementara dalam ilmu
makrifat seseorang bisa meningkatkan penyerahan diri kepada Tuhan sehingga
mencapai tingkat keyakinan yang kuat, yang disebut sufi.
Setelah berhasil
mewarisi ilmu dari Sunan Kalijaga dan mendapat tugas untuk mengislamkan
penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya, sebelum meninggalkan Jabalkat Sunan
Kalijaga memberikan nama kepada kepada Ki Ageng Pandanarang sebagai Sunan Bayat
atau Tembayat.
Dalam masa kegiatan menyebarkan
ajaran Islam di masyarakat Sunan Bayat juga mempunyai beberapa orang murid.
Dalam Babad Nagri Semarang disebutkan bahwa ketika menetap di Tembayat, Sunan
Bayat telah mempunyai banyak santri yang di antaranya juga mereka yang berasal
dari Semarang. Salah seorang dari santri tersebut bernama Kyai Ageng Gribig
putra Prabu Brawijaya V. Sedangkan dalam Serat Centini disebutkan pula seorang
murid Sunan Bayat yang bernama Syekh Sekar Delima. Nama tersebut adalah julukan
yang diberikan Sunan Bayat, sedangkan nama aslinya adalah Raden Jaka Bluwo,
yakni juga salah seorang dari putra Prabu Brawijaya V.
Kepada
murid-muridnya tersebut Sunan Bayat memberikan pelajaran meliputi mengaji Al
Qur’an, juga mengajarkan ilmu usuludin, ilmu fikih dan tasawuf. Sedangkan untuk
mengislamkan masyarakat di daerah Tembayat dan sekitarnya Sunan Bayat lebih
dahulu menyamar sebagai penduduk biasa. Dalam Babad Demak pada pupuh
Dhandhanggula disebutkan suatu ketika Sunan Bayat pergi menyamar sebagai
seorang abdi kepada seorang penjual serabi di Desa Wedi bernama Nyahi Tesik.
Suatu hari ia ikut membantu berjualan di pasar Wedi. Ia membawa adonan dan air
dalam tempayan, tetapi sebagian dari kayu api tidak terbawa. Karena jualannya
laku, Nyahi Tesik kehabisan kayu bakar. Karena itu ia marah kepada abdinya yang
ternyata tidak banyak membawa kayu api, sehingga ia berucap apakah tanganmu
yang akan kau pakai untuk menggantikan kayu api tersebut. Abdinya ternyata siap
tangannya dijadikan kayu api, sehingga Nyahi Tesik gemetar dan besegera
menghabiskan jualannya. Peristiwa luar biasa itu menjadi perhatian orang banyak
yang ada di pasar. Setelah di rumah, Nyahi Tesik menceritakan peristiwa itu
kepada suaminya. Ki Tesik merenung, kemudian ia menyadari kalau mereka diabdi
oleh seorang wali. Sehingga Ki Tesik dan Nyahi Tesik memohon ampun kepada Sunan
Bayat. Sunan Bayat menerima dan memaafkannya dan mendoakan agar dagangannya
selalu laris, serta berpesan kepada Ki Tesik agar anak cucunya beriman kepada
Tuhan. Ketika Sunan Bayat kembali ke
Tembayat, Ki Tesik beserta isteri dan anak cucunya mengikutinya. Di Tembayat Ki
Tesik dan keluarganya diajari tata cara syari’at Islam. Setelah dianggap cukup,
Sunan Bayat menyuruh Ki Tasik dan keluarganya kembali ke Wedi dan menugaskannya
untuk mengislamkan anak cucu penduduk di Wedi dan sekitarnya.
(Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta, disusun dari berbagai
sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
LAHIRNYA MB ALRI DIV. IV KALIMANTAN
LAHIRNYA MARKAS BESAR ALRI DIVISI IV KALIMANTAN
TAHUN 1946 DI MOJOKERTO
Dalam suatu perundingan yang diadakan antara Staf
Pimpinan Markas Besar ALRI Angkatan Laut Republik Indonesia) Yogyakarta dengan
tokoh-tokoh pejuang Kalimantan diperoleh suatu keputusan yaitu membentuk suatu
Divisi ALRI untuk daerah Kalimantan. Untuk mempersiapkan pembentukan organisasi
tersebut Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Mohammad Noor pada pertemuan itu
berhasil membentuk suatu Team yang terdiri dari:
Ketua:H. Gusti Abdul Muis (pucuk pimpinan Ikatan
Pejuang Kalimantan).
Wakil:Mustapa Idham (Ketua Laskar Kalimantan).
Anggota:A. Rizekan (PESINDO Kalimantan).
M. Hasjim Amin (Dewan Pertahanan Jawa Timur).
A. Abdul Hamid Husaini (Kesatuan Laskar).
Munani Arief (Tentara Pelajar Kalimantan).
Aliansjah (Wakil Pejuang Republik Indonesia
Kalimantan).
Kepada Team diserahkan untuk membentuk formatur
yang akan bertugas menentukan staf pimpinan ALRI Divisi IV Kalimantan. Team
berhasil membentuk formatur yang terdiri dari Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran
Mohammad Noor, Letnan Kolonel Djakaria Makdun, Mayor Firmansjah, Hasjim Amin,
Abdul Murad dan A. Rizekan, dan dari hasil kerja formatur berhasil disusun Staf
Pimpinan ALRI Divisi IV Kalimantan sebagai berikut:
Komandan :
Letnan Kolonel Djakaria Makdun
Kepala Staf :
Mayor Firmansjah
Kepala Keuangan
Merangkap S.O.I.
MB ALRI : Mayor George Obus
Kepala Staf I : Letnan I A. Zaidi
Kepala Ketentaraan :
Kapten Anang Pieter
Keuangan :
Letnan I Achmad Sarwani
Tata Usaha :
Letnan I H. Sirat
Penghubung Divisi
Dengan MB ALRI :
Kapten Beyk
Wakil Tata Usaha :
Letnan II Gusti Anawar
Perlengkapan :
Letnan II Darmansjah
Sebagai inti dari pasukan ALRI Divisi IV
Kalimantan adalah anggota-anggota bekas Ekspedisi Rombongan Husein Hamzah dan
Firmansjah yang telah kembali dari Kalimantan dan ditambah dengan anggota dari
berbagai organisasi perjuangan/kelaskaran Kalimantan yang ada di Jawa
diantaranya PESINDO Divisi I, Serikat Pelayaran Indonesia (SPI) dan
anggota-anggota PRIK (PRI Kalimantan).
Setelah organisasi dan anggotanya tersusun , pada tanggal 4 April 1946
bertempat di Palace Hotel Malang,
Laksamana Muda M. Nasir meresmikan berdirinya organisasi ALRI Divisi IV
Kalimantan dan sekaligus melantik anggota Staf pimpinannya. Markas Besar ALRI
Divisi IV berkedudukan di Mojokerto.
Markas Besar ALRI Divisi IV Kalimantan di Mojokerto, kemudian membagi
daerah Kalimantan atas 3 daerah ALRI, yaitu Divisi IV pertahanan A untuk daerah
Kalimantan Selatan (termasuk Kalteng sekarang), ALRI Divisi IV B di daerah
Kalimantan Barat, ALRI Divisi IV C di daerah Kaliamnatan Timur. Sebagai
realisasinya kemudian dilakukanlah ekspedisi-ekspedisi laut dari beberapa
pelabuhan di Jawa ke Kalimantan. (Sumber Pustaka Bahari/Zamzulis Ismail).
TAKDIR CINTA
(Ceritera ini fiksi, kalau ada kesamaan nama dan tempat serta lainnya, hanya dibuat kebetulan, sambungan posting: 21-1-2012, oleh Ramli Nawawi)
2. BENIH-BENIH CINTA DI SEKOLAH
Rekreasi sekolah yang secara kebetulan mempertemukan Ali dan Ana, sehingga mereka berdua saling mengenal lebih dekat, telah sama-sama menghapus keengganan sebelumnya untuk saling menyapa satu sama lain. Setelah itu pula Ali sadar bahwa dari percakapan Ana selama mereka berteduh di lampaunya seorang ibu di lereng Gunung Layang-Layang waktu itu, bahwa Ana sudah mau tahu tentang dirinya lebih jauh. Begitu juga tentang dugaannya Ana, bahwa Ali seorang siswa takut malu, sehingga tampak sombong adalah benar.
Peristiwa pertemuan di saat rekreasi ke Gunung Layang-Layang yang lalu itu, memang terjadi pada tahun-tahun terakhir keduanya menyelesaikan pendidikan di sekolah guru tersebut. Ali dan juga Ana adalah termasuk kelompok siswa-siswi yang berprestasi. Karena itu keduanya sama-sama mendapatkan bea siswa dari sekolah. Bahkan keduanya di haruskan tinggal di asrama yang dipimpin langsung oleh seorang guru mereka sebagai pimpinan asrama. Ali tinggal di asrama putera, sedangkan Ana tinggal di asrama puteri, yang jarak antara kedua asrama tersebut tidak begitu jauh. Kedua asrama ini satu arah jalan menuju gedung sekolah mereka.
Ketika di sekolah keduanya sama sekali tidak memperlihatkan perubahan setelah peristiwa rekreasi Gunung Layang-Layang tersebut. Karenanya kebanyakan teman-teman mereka tidak tahu kalau ada semacam keakraban dalam kehidupan keduanya. Kecuali satu dua teman Ana yang kadang menggodanya.
Satu hal yang kedekatan antara keduanya semakin jadi, karena mereka sama-sama terpilih sebagai anggota tim paduan suara sekolah. Mereka sama-sama sering ikut berlatih bersama semua anggota yang lainnya ketika menjelang ada acara-acara peringatan hari-hari besar yang diselenggarakan pemerintah setempat. Asrama dimana Ali tinggal berdampingan dengan asrama putra lainnya yang pimpinannya guru kesenian sekolah mereka. Karena itu guru kesenian sekolah sering menitipkan kunci ruang kesenian tersebut kepada Ali. Bahkan kemudian kunci ruang kesenian dan kunci piano dipercayakan kepada Ali.
”Li, ada salam tadi dari Lia”, sapa Ana suatu sore ketika mereka bertemu di tempat parkir kenderaan untuk mengikuti latihan paduan suara.
”Salam apa”, sahut Ali curiga, karena pagi tadi di sekolah ia bertemu Lia.
”Ya, salam ...lah”, kata Ana, yang selama ini melihat Lia pada waktu senggang di sekolah sering dekat dengan Ali.
”Salam atau saliimm...”, ulang Ali sambil sama-sama berjalan menuju ruang latihan. Ali melihat ada secercah cemburu di wajah Ana ketika ia menyebut nama Lia yang satu kelas dan sejak dulu sering dekat dengan Ali.
Dalam kesempatan-kesempatan kegiatan seni itulah Ali dan Ana kemudian sering bersama. Ketika itu pula benih-benih cinta mereka semakin subur, walaupun tidak terucapkan secara resmi. Saling tukar buku kumpulan lagu-lagu punya Ali dan juga punya Ana antara keduanya memberikan kesempatan untuk menyelipkan secarik kertas tentang isi hati.
”Ada lagu baru nggak nih, kalu ada tolong dong isikan buku kumpulan lagu aku.”, bilang Ali pada kesempatan bertemu sore sebelum latihan tim paduan suara di mulai.
” Ada, ada.....”, sahut Ana bersemangat. ”Mana bukunya”, sambungnya lagi.
” Nih..., sekalian dengan noot angkanya ya”, sahut Ali sambil menyerahkan buku kumpulan lagu miliknya.
” Tentu lengkap nanti....”, kata Ana ceria sambil menerima bukunya Ali.
Besoknya Ali yang dipercaya menyimpan kunci ruang kesenian biasa datang lebih awal. Tanpa diduga beberapa menit kemudian Ana juga datang lebih awal dari biasanya.
” Aduh.., rajin banget ”, katanya menyapa Ali setelah memarkir kenderaannya.
” Kamu juga ....”, sahut Ali.
” Ya... ini kan mau mengembalikan buku you”, katanya sambil senyum dan menyerahkan buku kepada Ali.
” Ma kasih ya...”, kata Ali.
” Okey, tapi harus balas dong isikan juga buku aku nih”, kata Ana tampak manja.
”Aku belum dapat lagu baru, apa ya....”, bilang Ali.
”Apa saja boleh, atau bisa ngga buat aku......”, setengah paksa Ana.
”Boleh, boleh .........kucari dan kupikirkan, untuk you juga”, sahut Ali.
Percakapan keduanya terhenti karena seketika kawan-kawan mereka anggota tim paduan suara lainnya juga pada datang. Beberapa saat kemudian guru kesenian mereka juga datang. Latihan paduan suara sore itu diawali dengan lagu Nyiur Hijau, kemudian disusul beberapa lagu daerah dan diakhiri dengan lagu Sing Sing So. Begitu selesai karena hari juga sudah senja semua peserta sama-sama bergegas pulang.
Tiba di asrama masing-masing baik Ali maupun Ana keduanya sama-sama menyimpan tanda tanya tentang keakraban mereka selama ini. Sehingga ketika pukul 20.00 malam waktu jam belajar semua penghuni asrama hingga berakhir pukul 22.00, baik Ali maupun Ana tampak tidak konsentrasi pada buku yang dihadapinya.
Ana berpikir keras apakah orang yang selama ini sudah dikenalnya dengan baik, apakah tidak menyelami jiwanya yang telah menetapkan pilihannya. Atau mungkinkah dia sudah punya pilihan lain sesuai dengan keinginan keluarganya.
Karena itu aku sangat ingin kepastian. Berulang-ulang kalimat itu muncul dalam benaknya, ya Tuhanku berilah aku kepastian, doanya sebelum tidur.
Malam itu ketika jam belajar dimulai, Ali juga terlambat datang ke meja belajar.
”Apa Li, apa yang dibingungkan, bagi-bagi dong pengalamannya”, kata kawannya, melihat Ali kembali ke kamar mengambil buku lagi.
” Iya Li....., cerita dong...”, kata kawan yang lain.
” Tenang aja..... biasa...damai aja ...”, bilang Ali menyimpan galau hatinya setelah pertemuan dengan Ana sore tadi. Apalagi ia teringat kalimat ucapan Ana terakhir ”bisa ngga buat aku”, kata hati Ali. Kemudian setelah ia mulai membuka buku yang harus dibacanya, hatinya berkata: ”Ah udahlah, belajar dululah, kutunda dululah mengembalikan bukunya Ana, besok lusa ajalah...”, dan ia berusaha tampak konsentrasi belajar agar tidak menimbulkan banyak sangka lagi dari kawan-kawannya.
Besok harinya ketika berpapasan waktu pulang sekolah, Ana lalu berhenti di depan Ali.
”Mana bukuku, sudahkan...?”, tanya Ana kepada Ali.
”Aduuh... sabar dong...., belum sempat buat tadi malam”, elak Ali.
”Okey, kutunggu lah sempatnya”, kata Ana mengharap.
”Ya... besok pasti kusampaikan sempatnya”, kata Ali menirukan kata-kata sempat yang tadi diucapkan Ana. Kemudian mereka berbaur dengan teman-teman lain yang sama-sama pulang menaiki kenderaan masing-masing.
(HRN: Maaf alinea ini kuhapus dulu ya, nanti dilengkapi kalau sudah jadi buku).
Besok pagi Ali pergi ke sekolah selain membawa buku-buku pelajarannya juga tak lupa membawa buku kumpulan lagu milik Ana. Tapi waktu di sekolah hari itu Ali tidak pernah mendapatkan kesempatan baik untuk menyerahkan buku tersebut kepada Ana.
(bersambung ke posting tgl.: 2-6-2012)
2. BENIH-BENIH CINTA DI SEKOLAH
Rekreasi sekolah yang secara kebetulan mempertemukan Ali dan Ana, sehingga mereka berdua saling mengenal lebih dekat, telah sama-sama menghapus keengganan sebelumnya untuk saling menyapa satu sama lain. Setelah itu pula Ali sadar bahwa dari percakapan Ana selama mereka berteduh di lampaunya seorang ibu di lereng Gunung Layang-Layang waktu itu, bahwa Ana sudah mau tahu tentang dirinya lebih jauh. Begitu juga tentang dugaannya Ana, bahwa Ali seorang siswa takut malu, sehingga tampak sombong adalah benar.
Peristiwa pertemuan di saat rekreasi ke Gunung Layang-Layang yang lalu itu, memang terjadi pada tahun-tahun terakhir keduanya menyelesaikan pendidikan di sekolah guru tersebut. Ali dan juga Ana adalah termasuk kelompok siswa-siswi yang berprestasi. Karena itu keduanya sama-sama mendapatkan bea siswa dari sekolah. Bahkan keduanya di haruskan tinggal di asrama yang dipimpin langsung oleh seorang guru mereka sebagai pimpinan asrama. Ali tinggal di asrama putera, sedangkan Ana tinggal di asrama puteri, yang jarak antara kedua asrama tersebut tidak begitu jauh. Kedua asrama ini satu arah jalan menuju gedung sekolah mereka.
Ketika di sekolah keduanya sama sekali tidak memperlihatkan perubahan setelah peristiwa rekreasi Gunung Layang-Layang tersebut. Karenanya kebanyakan teman-teman mereka tidak tahu kalau ada semacam keakraban dalam kehidupan keduanya. Kecuali satu dua teman Ana yang kadang menggodanya.
Satu hal yang kedekatan antara keduanya semakin jadi, karena mereka sama-sama terpilih sebagai anggota tim paduan suara sekolah. Mereka sama-sama sering ikut berlatih bersama semua anggota yang lainnya ketika menjelang ada acara-acara peringatan hari-hari besar yang diselenggarakan pemerintah setempat. Asrama dimana Ali tinggal berdampingan dengan asrama putra lainnya yang pimpinannya guru kesenian sekolah mereka. Karena itu guru kesenian sekolah sering menitipkan kunci ruang kesenian tersebut kepada Ali. Bahkan kemudian kunci ruang kesenian dan kunci piano dipercayakan kepada Ali.
”Li, ada salam tadi dari Lia”, sapa Ana suatu sore ketika mereka bertemu di tempat parkir kenderaan untuk mengikuti latihan paduan suara.
”Salam apa”, sahut Ali curiga, karena pagi tadi di sekolah ia bertemu Lia.
”Ya, salam ...lah”, kata Ana, yang selama ini melihat Lia pada waktu senggang di sekolah sering dekat dengan Ali.
”Salam atau saliimm...”, ulang Ali sambil sama-sama berjalan menuju ruang latihan. Ali melihat ada secercah cemburu di wajah Ana ketika ia menyebut nama Lia yang satu kelas dan sejak dulu sering dekat dengan Ali.
Dalam kesempatan-kesempatan kegiatan seni itulah Ali dan Ana kemudian sering bersama. Ketika itu pula benih-benih cinta mereka semakin subur, walaupun tidak terucapkan secara resmi. Saling tukar buku kumpulan lagu-lagu punya Ali dan juga punya Ana antara keduanya memberikan kesempatan untuk menyelipkan secarik kertas tentang isi hati.
”Ada lagu baru nggak nih, kalu ada tolong dong isikan buku kumpulan lagu aku.”, bilang Ali pada kesempatan bertemu sore sebelum latihan tim paduan suara di mulai.
” Ada, ada.....”, sahut Ana bersemangat. ”Mana bukunya”, sambungnya lagi.
” Nih..., sekalian dengan noot angkanya ya”, sahut Ali sambil menyerahkan buku kumpulan lagu miliknya.
” Tentu lengkap nanti....”, kata Ana ceria sambil menerima bukunya Ali.
Besoknya Ali yang dipercaya menyimpan kunci ruang kesenian biasa datang lebih awal. Tanpa diduga beberapa menit kemudian Ana juga datang lebih awal dari biasanya.
” Aduh.., rajin banget ”, katanya menyapa Ali setelah memarkir kenderaannya.
” Kamu juga ....”, sahut Ali.
” Ya... ini kan mau mengembalikan buku you”, katanya sambil senyum dan menyerahkan buku kepada Ali.
” Ma kasih ya...”, kata Ali.
” Okey, tapi harus balas dong isikan juga buku aku nih”, kata Ana tampak manja.
”Aku belum dapat lagu baru, apa ya....”, bilang Ali.
”Apa saja boleh, atau bisa ngga buat aku......”, setengah paksa Ana.
”Boleh, boleh .........kucari dan kupikirkan, untuk you juga”, sahut Ali.
Percakapan keduanya terhenti karena seketika kawan-kawan mereka anggota tim paduan suara lainnya juga pada datang. Beberapa saat kemudian guru kesenian mereka juga datang. Latihan paduan suara sore itu diawali dengan lagu Nyiur Hijau, kemudian disusul beberapa lagu daerah dan diakhiri dengan lagu Sing Sing So. Begitu selesai karena hari juga sudah senja semua peserta sama-sama bergegas pulang.
Tiba di asrama masing-masing baik Ali maupun Ana keduanya sama-sama menyimpan tanda tanya tentang keakraban mereka selama ini. Sehingga ketika pukul 20.00 malam waktu jam belajar semua penghuni asrama hingga berakhir pukul 22.00, baik Ali maupun Ana tampak tidak konsentrasi pada buku yang dihadapinya.
Ana berpikir keras apakah orang yang selama ini sudah dikenalnya dengan baik, apakah tidak menyelami jiwanya yang telah menetapkan pilihannya. Atau mungkinkah dia sudah punya pilihan lain sesuai dengan keinginan keluarganya.
Karena itu aku sangat ingin kepastian. Berulang-ulang kalimat itu muncul dalam benaknya, ya Tuhanku berilah aku kepastian, doanya sebelum tidur.
Malam itu ketika jam belajar dimulai, Ali juga terlambat datang ke meja belajar.
”Apa Li, apa yang dibingungkan, bagi-bagi dong pengalamannya”, kata kawannya, melihat Ali kembali ke kamar mengambil buku lagi.
” Iya Li....., cerita dong...”, kata kawan yang lain.
” Tenang aja..... biasa...damai aja ...”, bilang Ali menyimpan galau hatinya setelah pertemuan dengan Ana sore tadi. Apalagi ia teringat kalimat ucapan Ana terakhir ”bisa ngga buat aku”, kata hati Ali. Kemudian setelah ia mulai membuka buku yang harus dibacanya, hatinya berkata: ”Ah udahlah, belajar dululah, kutunda dululah mengembalikan bukunya Ana, besok lusa ajalah...”, dan ia berusaha tampak konsentrasi belajar agar tidak menimbulkan banyak sangka lagi dari kawan-kawannya.
Besok harinya ketika berpapasan waktu pulang sekolah, Ana lalu berhenti di depan Ali.
”Mana bukuku, sudahkan...?”, tanya Ana kepada Ali.
”Aduuh... sabar dong...., belum sempat buat tadi malam”, elak Ali.
”Okey, kutunggu lah sempatnya”, kata Ana mengharap.
”Ya... besok pasti kusampaikan sempatnya”, kata Ali menirukan kata-kata sempat yang tadi diucapkan Ana. Kemudian mereka berbaur dengan teman-teman lain yang sama-sama pulang menaiki kenderaan masing-masing.
(HRN: Maaf alinea ini kuhapus dulu ya, nanti dilengkapi kalau sudah jadi buku).
Besok pagi Ali pergi ke sekolah selain membawa buku-buku pelajarannya juga tak lupa membawa buku kumpulan lagu milik Ana. Tapi waktu di sekolah hari itu Ali tidak pernah mendapatkan kesempatan baik untuk menyerahkan buku tersebut kepada Ana.
(bersambung ke posting tgl.: 2-6-2012)
Sabtu, 12 Mei 2012
MENYIKAPI PERBEDAAN
Sahabatku,
Agama Islam ialah agama yang
mewajibkan kita kaum Muslimin di manapun juga, agar selalu hidup rukun,
memegang teguh silaturrahmi dalam suasana persaudaraan. Karena itu sejauh mana
ada perbedaan-perbedaan dalam Islam sepatutnyalah ditanggapi dengan
“husnuzh-zhan” (prasangka yang baik).
Banyak kasus perpecahan dalam
Islam karena perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis oleh para ulama.
Sehingga timbul bermacam-macam aliran dalam Islam. Semua itu sudah diprideksi
oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, sebagaimana sabdanya yang
diriwayatkan oleh beberapa perawi Hadis,
seperti : Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim: Wataparraqa ummati ‘ala salasa wa sab’ina farqah
(Dan umatku terpecah menjadi 73 golongan).
Bahkan ada Hadis lain yang
berkaitan dengan perpecahan tersebut Yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tarmizi, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, yang menerangkan bahwa dari 73
farqah tersebut: hum fin naar, illa
millati wahidah (mereka di dalam neraka, kecuali satu millah). Dan ketika
para sahabat bertanya: Millah yang mana ya Rasulullah?, Beliau menjawab: ma ana ‘alaihi wa ashabi (yang aku
berada di atasnya dan juga para sahabatku. Lalu bagaimana sikap farqah-farqah
tersebut. Semua menyatakan bahwa farqah merekalah yang dimaksudkan Nabi bersama
beliau dalam Hadis tersebut.
Sahabatku,
Pemerintah kita pernah menjadi
tuan rumah Konferensi Negara-Negara Islam (2007) dalam rangka mencari sulosi
perdamaian di Iraq
sehubungan dengan terjadinya pertentangan antara Muslim Suny dan Muslim Syiah. Pertentangan
paham golongan di Iraq
yang sudah bermuatan politik tersebut telah melahirkan perang fisik yang banyak
menimbulkan qurban jiwa. Padahal sebanyak apapun golongan paham dalam Islam,
Rasululullah s.a.w. seperti Hadis tersebut di atas, tetap menyebut semuanya
sebagai “ummatii”, kalimat yang
menjamin bahwa semuanya akan mendapatkan safaat
(perlindungan) pada hari perhitungan ketika semua manusia dibangkitkan kembali dari
kuburnya nanti. Sehingga mereka yang tergolong dalam ummati Muhammad dimaksud tidaklah seburuk nasibnya orang-orang yang
mensekutukan Allah.
Lalu siapakah orang-orang yang
akan dihukum Allah dengan siksa yang pedih, mereka adalah orang-orang yang
secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang diharamkan Allah. Misalnya
keharaman minuman khamar (minuman keras), berzina, membunuh nyawa orang yang
bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya, serta secara sengaja
meninggalkan segala yang dipardhukan oleh Allah. Semua itu adalah keharaman
yang sudah muttafaqun alaih (sudah
diketahui) oleh semua lapisan umat Islam. Mereka tahu bahwa semua itu haram,
tapi tetap melakukannya. Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan, dengan
sengaja, dengan sadar, dan tahu risikonya, maka orang-orang seperti itulah yang
akan disiksa di neraka.
Saudaraku,
Lalu bagaimana dengan hukum yang
masih menjadi perdebatan para ulama. Sebagian ulama mengatakan haram, tetapi
sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih
mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan
berbagai pemahaman.
Dalam masalah hilafiah ini, di
mana aturannya tidak jelas dan masih multi tafsir, maka Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, tidaklah menghakimi hambanya dengan semena-mena. Siapakah
seorang Mujtahid yang boleh diikuti
fatwanya. Tentunya setiap orang awam seperti kita tidak ada kewajiban untuk
melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau
belum terpenuhi pada diri kita.
Menurut ulama besar Imam An
Nawawi dan Ibnu Hajar, untuk dalil-dalil yang multi tafsir ijtihad halal
dilakukan oleh para ulama mujtahid yang
mu’tabar (diakui kapasitasnya).
Sedangkan bagi kaum awam dibolehkan mengikuti fatwa para ulama mujtahid yang
mu’tabar dimaksud. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah An Nahal Ayat 43:
Fas aluu ahlaz zikri in kuntum laa ta’
lamun, artinya: maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. Dalam hal ini Allah tidak mengatakan: “Bertanyalah kepada orang yang pasti benar
ijtihadnya”. Karena kita telah bertanya kepada mujtahid (ulama), kita telah
mengikuti firman Allah, maka kita sudah dapat pahala.
Perkara ijtihadnya seorang ulama mu’tabar salah, maka tidak ada ayat Al
Qur’an dan Hadis yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan
melahirkan dosa dan siksa. Sedangkan yang akan mendapat siksa itu adalah orang
dengan kapasitas bukan mujtahid, tapi berlagak sebagai mujtahid dan salah.
Sahabatku,
Berikut ada dua masalah hilafiah penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis di
antara banyak masalah yang berkembang di kalangan masyarakat Muslim di negeri
kita.
Pertama: penafsiaran Hadis yang diriwayatkan Bukhari yang berbunyi: “Maa aspala minal ka’baini minal izari fa fin
naar” (Sarung yang dipakai hingga bawah mata kaki, maka yang demikian di
dalam neraka). Hadis ini diberi keterangan: Keputusan yang demikian menurut
sabda Nabi tersebut karena merupakan satu tanda kesombongan.
Keterangan tersebut terkait dengan Hadis lain yang diriwayatkan Bukhari-Muslim,
yang berbunyi: ” Laa yanzurul laahu
yaumal kiyaamati ilaa man jarraa-i
zaazahu bathara (n)”, (Allah tidak akan melihat pada hari kiamat terhadap
seseorang yang menarik (menyeret) sarungnya untuk kesombongan).
Terhadap kedua Hadis yang berkaitan ini telah lama terdapat hilafiah antara
para ulama. Sebagian ulama mengharamkan
secara mutlak sarung atau celana yang ujungnya di bawah mata kaki, tanpa
memperhatikan niat dan motivasinya. Sementara sebagian ulama lainnya mengharamkannya selama niat dan motivasi riya ikut mengiringinya, tapi tidak
mengharamkannya bila tanpa disertai rasa sombong.
Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing
diikuti pendapatnya. Bagi kita orang awam seyogianyalah dapat memahami dan
bisa menghargai.
Saudaraku,
Masalah lain yang juga banyak dipertanyakan adalah tentang ayat Al Qur’an,
Surah Al Waqiah ayat: 79, yang berbunyi: “ Laa
yamassuhu illal mutahharun” (Tidaklah menyentuhnya ( Al Qur’an) kecuali
mereka yang disucikan).
Di antara ulama yang mengharuskan berwudhu sebelum menyentuh mushaf Al
Qur’an adalah Imam Abu Hanifa, Imam
Malik, dan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan para ulama dari kalangan
Mazhab Zhahiri tidak mengharuskan berwudhu untuk menyentuh mushaf Al Qur’an.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pendekatan. Kelompok yang
mengharuskan berwudhu, menafsirkan kata “al muthahharun’ (mereka yang disucikan), kata mereka dalam ayat ini yang dimaksud
adalah manusia, dan lafadz “laa yamassuhu” bernilai larangan, bukan sekedar pemberitahuan. Jadi
kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh
mashaf Al Qur’an kecuali bila telah disucikan, yakni orang tersebut sudah
berwudhu. Termasuk Al Qur’an yang dilengkapi dengan terjemahannya, karena masih
ada lafadz arabnya, menyentuhnya harus dengan bersuci.
Sementara kelompok yang tidak mewajibkan wudhu menafsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan), kata
mereka yang dimaksud dalam ayat ini adalah para malaikat, sehingga tidak ada
kewajiban bagi manusia untuk berwudhu ketika menyentuh mushaf Al-Qur’an. Selain
itu lafadz laa yamassuhu tidak
bernilai larangan melainkan bernilai pemberitahuan
bahwa tidak ada yang menyentuh Al Qur’an selain para malaikat. Maka tidak ada
larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan
berwudhu.
Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing
diikuti pendapatnya. Juga seyogianyalah kita saling memahami dan menghargai adanya
perbedaan-perbedaan tersebut.
Uraian tentang lahirnya
perbedaan-perbedaan dalam kalangan kaum Muslimin diuraikan lebih jauh bisa
didapatkan dalam Era Muslim. Kita angkat hal ini dengan harapan semoga kita
menjadi kaum Muslimin yang selalu memelihara persatuan sesama Muslim. (HRN).
Langganan:
Postingan (Atom)