Rabu, 30 Mei 2012

KI AGENG PANDANARAN II PERGI KE JABALKAT


(sambungan mengenal Ki Ageng Pandanaran II)

Ki Ageng PandanaranII pergi ke Jabalkat

Oleh: Ramli Nawawi

Bagaimana Ki Ageng Pandanang II pergi ke Jabalkat dan selanjutnya belajar ilmu keislaman kepada Sunan Kalijaga yang mengaku sebagai Syekh Malaya tersebut diuraikan dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti. Uraian tersebut dimulai dari kepergian Ki Ageng Pandanarang II ke Jabalkat diikuti oleh salah seorang isterinya. Kalau Ki Ageng Pandanarang II tidak membawa sesuatu apapun, maka isterinya dengan diam-diam membawa tongkat yang berisi harta benda berupa emas dan bermacam-macam permata. Harta benda isterinya tersebut kemudian dalam perjalanan dirampok para penyamun, sehingga kedua laki isteri tersebut sama-sama sampai di Jabalkat tanpa membawa bekal apapun.
Dalam Babad Demak, yakni pada pupuh Kinanti tersebut  banyak digambarkan peristiwa  yang berkaitan dengan pengalaman Ki Ageng Pandanaran II selama dalam perjalanan dari Semarang menuju Jabalkat. Disebutkan antara lain bahwa Ki Agung Pandanarang II telah berhasil menyadarkan salah seorang dari penyamun yang bernama Sambang Dalan, sehingga yang bersangkutan kemudian mengabdikan diri kepadanya.  Sambang Dalan kemudian juga menjadi murid Sunan Kalijaga dan mengabdikan hidupnya untuk perkembangan ajaran Islam. Karena Sambang Dalan dulu pernah dikatakan sebagai domba  oleh Ki Ageng Pandanarang ketika ia mencoba merampas tongkatnya sewaktu dalam perjalanan dari Semarang ke Jabalkat, sehingga Sambang Dalan kemudian mendapat julukan sebagai Syekh Domba.                   
Setelah 35 hari Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan berada di Jabalkat Sunan Kaljaga datang. Dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan juga bahwa ketika Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan sampai di Jabalkat, di puncak gunung itu mereka menemukan bangunan kecil yang disebut sebagai “masjid” serta sebuah padasan kosong. Di bangunan itulah mereka bertemu dan bersujud  kepada Sunan Kalijaga. Ada dua hal yang kemudian digambarkan dalam pupuh tersebut, yakni Sunan Kalijaga menyuruh Sambang Dalan untuk bertobat kepada Yang Maha Kuasa agar kutukan “sebagai kambing” hilang dan bisa kembali sebagai mana  biasa. Di samping itu semenjak kedatangan Sunan Kalijaga ke puncak Jabalkat, telah didapat sumber mata air yang airnya mengalir dari puncak Jabalkat ke kaki gunung  tersebut.
Sesuai tujuan Ki Ageng Pandanarang datang ke Jabalkat untuk menimba ilmu kepada Sunan Kalijaga, maka ketika bertemu dengan Sunan Kalijaga tersebut Ki Ageng Pandanarang memohon untuk mendapatkan penjelasan tentang “hakikat manusia yang sesungguhnya”. Di samping itu Ki Ageng Pandanarang juga ingin tahu tentang asal–tujuan-akhir hidup manusia ini. Sehubungan dengan itu dalam Babad Demak  pada pupuh Kinanti disebutkan pula bahwa  Sunan Kalijaga kemudian mewariskan apa yang dinamakan  “ilmu hakiki”  kepada  Ki Ageng Pandanarang II.
Dalam masyarakat Jawa yang disebut ilmu hakiki adalah ajaran yang berkaitan dengan asal dan tujuan ciptaan Tuhan yang lebih populer dengan istilah ajaran mengenai sangkan paraning dumadi atau pamoring Kawula Gusti, artinya ajaran mengenai perpaduan antara hamba dan tuhannya. Ilmu tersebut diberikan Sunan Kalijaga kepda Ki Ageng Pandanarang sehubungan tugas khusus yang diberikan untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya. Sebagai seorang mubalig di Jawa, khususnya di daerah Tembayat, yang merupakan sebuah daerah mistik, sudah barang tentu memerlukan bekal berupa wejangan-wejangan mengenai ilmu tasawuf, di antaranya mengenai sangkan paraning dumadi dan pamoring Kawula Gusti, yang pada masa itu merupakan ajaran-ajaran yang populer di kalangan masyarakat Islam.
Kata hakiki sendiri berasal dari kata hak yang berarti benar. Sedangkan hakiki berarti yang sebenarnya atau sesungguhnya. Karena itulah apabila Ki Ageng Pandanarang telah mewarisi ilmu hakiki dari Sunan Kalijaga, maka ia telah menerima segala ilmu tentang makhluk dan tentang Tuhan serta hubungan antara keduanya. Dalam Islam ilmu dimaksud meliputi ilmu syari’at, hakikat, dan makrifat. Ilmu syari’at mengatur segla perbuatan manusia. Bagi orang mukmin, Al Qur’an merupakan sumber utama dari syari’at Islam. Sedangkan ilmu hakikat, secara sederhana berati dasar atau sebenarnya. Seseorang yang senantiasa berpegang pada ilmu ini selalu mengembalikan  segala akibat perbuatannya atau hasil uasahanya kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Sementara dalam ilmu makrifat seseorang bisa meningkatkan penyerahan diri kepada Tuhan sehingga mencapai tingkat keyakinan yang kuat, yang disebut sufi.         
Setelah berhasil mewarisi ilmu dari Sunan Kalijaga dan mendapat tugas untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya, sebelum meninggalkan Jabalkat Sunan Kalijaga memberikan nama kepada kepada Ki Ageng Pandanarang sebagai Sunan Bayat atau Tembayat.
Dalam masa kegiatan menyebarkan ajaran Islam di masyarakat Sunan Bayat juga mempunyai beberapa orang murid. Dalam Babad Nagri Semarang disebutkan bahwa ketika menetap di Tembayat, Sunan Bayat telah mempunyai banyak santri yang di antaranya juga mereka yang berasal dari Semarang. Salah seorang dari santri tersebut bernama Kyai Ageng Gribig putra Prabu Brawijaya V. Sedangkan dalam Serat Centini disebutkan pula seorang murid Sunan Bayat yang bernama Syekh Sekar Delima. Nama tersebut adalah julukan yang diberikan Sunan Bayat, sedangkan nama aslinya adalah Raden Jaka Bluwo, yakni juga salah seorang dari putra Prabu Brawijaya V. 
Kepada murid-muridnya tersebut Sunan Bayat memberikan pelajaran meliputi mengaji Al Qur’an, juga mengajarkan ilmu usuludin, ilmu fikih dan tasawuf. Sedangkan untuk mengislamkan masyarakat di daerah Tembayat dan sekitarnya Sunan Bayat lebih dahulu menyamar sebagai penduduk biasa. Dalam Babad Demak pada pupuh Dhandhanggula disebutkan suatu ketika Sunan Bayat pergi menyamar sebagai seorang abdi kepada seorang penjual serabi di Desa Wedi bernama Nyahi Tesik. Suatu hari ia ikut membantu berjualan di pasar Wedi. Ia membawa adonan dan air dalam tempayan, tetapi sebagian dari kayu api tidak terbawa. Karena jualannya laku, Nyahi Tesik kehabisan kayu bakar. Karena itu ia marah kepada abdinya yang ternyata tidak banyak membawa kayu api, sehingga ia berucap apakah tanganmu yang akan kau pakai untuk menggantikan kayu api tersebut. Abdinya ternyata siap tangannya dijadikan kayu api, sehingga Nyahi Tesik gemetar dan besegera menghabiskan jualannya. Peristiwa luar biasa itu menjadi perhatian orang banyak yang ada di pasar. Setelah di rumah, Nyahi Tesik menceritakan peristiwa itu kepada suaminya. Ki Tesik merenung, kemudian ia menyadari kalau mereka diabdi oleh seorang wali. Sehingga Ki Tesik dan Nyahi Tesik memohon ampun kepada Sunan Bayat. Sunan Bayat menerima dan memaafkannya dan mendoakan agar dagangannya selalu laris, serta berpesan kepada Ki Tesik agar anak cucunya beriman kepada Tuhan.  Ketika Sunan Bayat kembali ke Tembayat, Ki Tesik beserta isteri dan anak cucunya mengikutinya. Di Tembayat Ki Tesik dan keluarganya diajari tata cara syari’at Islam. Setelah dianggap cukup, Sunan Bayat menyuruh Ki Tasik dan keluarganya kembali ke Wedi dan menugaskannya untuk mengislamkan anak cucu penduduk di Wedi dan sekitarnya.         
(Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta, disusun dari berbagai sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).













1 komentar:

Aru mengatakan...

Membaca tulisan Eyang yang ini , jadi teringat buku saya yang hilang dan sampai sekarang belum ketemu penggantinya.Judul bukunya Babad Tanah Jawi (Galuh- Mataram) karangan Dr.Soewito Santoso (1979). Barangkali Eyang Kagungan Koleksinya atau referensi dimana buku ini,saya akan meminjam untuk di Foto Copy.Trmksh.