Jumat, 29 April 2011

DUSTA DALAM AGAMA

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Islam mengajarkan umatnya peduli terhadap orang miskin, termasuk juga anak-anak yatim. Banyak ayat yang secara langsung bersinggungan dengan masalah ini, di antaranya adalah ayat-ayat dalam surah Al Ma’un.

Mari kita perhatikan terjemah Surah Al Maun dalam Al Qur’anul Karim tersebut: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan. Itulah orang yang menolak hak anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan terhadap orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang melalaikan terhadap shalatnya. Yaitu orang-orang yang yang menampak-nampakkan (riya). Dan enggan untuk memberi bantuan (menolong dengan barang yang berguna).

Peduli pada orang-orang miskin sebagaimana disebutkan di atas, merupakan tanggung jawab umat, khususnya bagi orang-orang yang berada (kaya). Menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin menurut pesan surah ini merupakan indikator seseorang mendustakan ajaran agama. Agama menganjurkan, bahkan memerintahkan agar umat peduili pada orang miskin.

Pesan lain Surah Al maun ini terkait dengan orang-orang yang lalai atau tidak ikhlas dalam melaksanakan shalat. Menurut suatu riwayat ayat 4 sampai 7 surah Al Maun tersebut terkait dengan orang-orang munafik di zaman Nabi.

Riwayat itu menyebutkan bagaimana orang munafik mempertontonkan shalat mereka kepada orang-orang yang beriman dan meninggalkannya ketika orang-orang mukmin tidak melihatnya.

Sehubungan dengan ini Muhammad Abduh memberi komentar sebagai berikut: “Mereka adalah orang-orang yang mendirikan shalat, tetapi hanya melakukannya ketika berada di hadapan orang banyak. Mereka mau berbuat baik kepada orang lain ketika tidak akan merugikan mereka, tidak mengurangi martabatnya.

Mereka tidak mau memberi orang lain secara wajar dan tidak mau belas kasihan pada orang lain. Tampaknya yang dimaksud melalaikan shalat dalam ayat di atas salah satunya adalah terkait dengan niat yang tidak ikhlas.

Kasus orang-orang munafik pada zaman nabi ini barangkali hanya sebuah contoh. Di zaman sesudah beliau, sekarang dan akan datang, bisa jadi juga ditemukan orang-orang yang memiliki tipe dan karakter yang sama. Mau melaksanakan shalat, mau peduli pada anak yatim dan orang miskin tetapi memiliki tujuan tertentu, jauh dari niat memperoleh redha Tuhan. Mereka telah melaksanakan shalat, tetapi hanya mendapatkan celaka karena tidak sungguh-sungguh mengerjakannya.

Tidak muncul dari kesadarannya, bahwa sebagai hamba Allah swt, dia harus mengabdi kepadaNya, mengerjakan shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw, demikian komentar seorang ulama tafsir.

Ikhlas itu penting bahkan penentu bagi diterimanya suatu ibadah. Haji harus didasari dengan niat ikhlas, demikian juga umrah, puasa, membayar zakat, shalat, dan lain-lain. Ketika mau shalat harus lurus niatnya, ketika puasa harus lurus niatnya, niatnya tidak lain terkait dengan keikhlasan dalam ibadah itu sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: sesungguhnya setiap amal seseorang tergantung pada apa yang diniatkannya.

Lawan dari ikhlas adalah riya. Orang-orang yang riya dalam ibadahnya sebagaimana orang munafik tersebut di atas, menurut seorang ulama tafsir diindikasikan sebagai berikut:
(1) Menggunakan budi pekerti yang baik guna memperoleh kedudukan dan pujian orang lain.
(2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan kasar, agar dinilai sebagai orang sederhana, zuhud dan menjauhi keduniaan.
(3) Berpura-pura benci atas masalah keduniaan dan merasa menyesal ketika ada sesuatu yang menguntungkan, tapi tidak dilaksanakan.
(4) Gemar shalat dan gemar memberi sedekah agar dilihat banyak orang.

Surah Al Maun di atas sekarang dan akan datang seyogianya menjadi bahan renungan bagi setiap orang Muslim untuk peduli pada orang-orang miskin, dan lurus niat dalam beribadah kepada Allah swt.

Kalau selama ini kita tidak acuh terhadap orang miskin dan belum lurus niat dalam beribadah, maka dengan memahami makna surah Al Maun tersebut, mari ke depan kita merubah sikap kita dan meluruskan niat dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan. Semoga. (HRN)

Sabtu, 19 Februari 2011

MASALAH PRILAKU SOSIAL

Oleh : Drs. H. Ramli Nawawi

Sejak memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia telah melangkah dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat dengan menegakkan demokrasi dan keadilan dalam masyarakat bangsa ini, dimulai dengan melengserkan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa berperan banyak dalam peristiwa ini.

Selanjutnya tuntutan gerakan reformasi memasuki berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan masyarakat mendapat kecaman, dan dituntut untuk ditata atau dihapus sama sekali. Dalam proses penataan inilah tidak dapat dihindari timbulnya polarisasi atau kontadiksi yang berkaitan dengan visi dan misi di kalangan tokoh-tokoh reformis sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa menerima, atau meragukan kereformasian kelompok masyarakat lainnya.

Perbedaan visi dan misi ini kemudian semakin tajam ketika kebebasan berorganisasi dan berpolitik terbuka seluas-luasnya. Ketika para elit politik yang didukung massanya mulai menonjolkan target perjuangan yang akan dicapai, yang dapat mengancam atau menghalangi tujan yang akan dicapai kelompok lainnya, mulailah terjadi ketidakserasian diantara satu dengan lainnya. Apa yang kita temui di masyarakat dengan banyaknya partai-partai politik dan golongan yang lahir sejak memasuki era reformasi ini tujuannya menjadi kabur.

Reformasi yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran tersebut kemudian berkembang dimana sebagian pendukungnya bersikap a priori terhadap segala apapun yang tidak dari golongannya. Kebenaran yang bisa diterimapun apabila sesuai dengan kepentingan dan interpretasi yang bersangkutan. Demikian juga kalangan yang menuntut demokrasi ini kemudian secara sadar atau tidak juga telah berbuat melampaui batas-batas yang menjadi hak kelompoknya. Banyak tokoh dan pendukung-pendukung suatu ogansasi yang merasa tidak cukup untuk mencapai tujuannya dengan hanya membenahi kelompoknya, tetapi telah mengatur dan mencampuri urusan kelompok lainnya.

Sampai saat ini dapat kita saksikan dimana para elit politik yang telah terpisah-pisah dalam berbagai partai politik di negara ini, sebagian mereka telah kehilangan kepribadian sebagai seorang negarawan. Banyak ucapan dan tingkah laku diantara mereka yang sudah jauh dari kepatutan, etis dan bermoral. Sementara masyarakat kita yang kurang kritis sulit membedakan mana yang harus diikuti dan harus ditolak. Pandangan-pandangan mereka yang secara sadar bertentangan dengan ketentuan dan hukum sekalipun, tetapi tetap disajikan kepada masyarakat awan, sungguh sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa.

Dari berbagai sikap para tokoh dan berbagai kalangan, tampaknya sebagian mereka sudah ditulari prasangka-prasangka sepihak. Sehingga masyarakat umum sulit dapat memahami pemikiran-pemikiran mereka. Lebih dari itu saat ini tampak berbagai institusi di masyarakat yang pemikiran-pemikirannya sering berseberangan. Para pengamat dari berbagai disiplin ilmu sulit ada yang sependapat dalam pentrapan ilmunya. Para pengamat politik berbeda pendapat dalam mentrapkan ilmu politiknya. Para ahli ekonomi menilai ekonom lainnya umumnya melakukan tindakan yang keliru. Para ahli hukum saling mencela dan memojokkan satu sama lainnya karena berbeda dalam mentrapkan ilmu hukum yang sama-sama mereka miliki. Yang satu mengatakan bahwa kesalahan seseorang dapat dilihat dari kasat mata, sementara ahli hukm lainnya menyatakan belum tentu sebelum dapat dibuktikan. Masalah semua ini terjadi karena kebenaran ilmu yang mereka akui sangat terkait dengan kepentingan yang bersangkutan atau kelompoknya.

Prilaku para elit di berbagai bidang serta tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan kebebasan berpendapat dan berbuat, memberikan ekses lain di masyarakat. Maka kemudian berkaitan dengan alasan tuntutan hidup, banyak timbul prilaku dan perbuatan-perbuatan yang kurang berdasar atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak contoh, seperti: Masih sering kita dengar adanya sekelompok orang melakukan penebangan hutan secara liar. Ada pula kelompok masyarakat yang memaksa dikembalikannya tanah mereka, yang sebenarnya sudah mendapat ganti rugi. Begitu juga dalam menghadapi persaingan dan perbedaan ada usaha-usaha menjatuhkan lawan dengan prilaku dan tindakan yang melanggar hukum, atau ucapan-ucapan tidak etis. Akhirnya, dengan mengangkat masalah prilaku sosial yang mencuat saat ini, yang merupakan salah satu pemicu terjadinya desintegrasi bangsa, semoga bisa disadari dan dicermati dengan segala kearifan. (HRN, peneliti utama bidang sejarah dan nilai tradisional).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Masjid Sultan Suriansyah sebelum direnovasi


Jumat, 28 Januari 2011

APAKAH SEJARAH SUBYEKTIF ITU

Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi

Di sini saya tidak akan berbicara tentang sejarah secara detail. Umumnya semua orang sudah pernah belajar sejarah, karena sejarah diajarkan di semua tingkat pendidikan di negara kita Indonesia ini. Semua yang kita terima dari pelajaran sejarah di bangku pendidikan tersebut umumnya ceritera tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Seperti tentang raja dengan segala aktifitasnya, tentang perang antar bangsa, tentang kebudayaan manusia pada masa lalu, dan sebagainya.

Memang ada, tetapi jarang guru-guru sejarah tersebut di samping berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lalu juga kemudian menelaah masa kini, dan selanjutnya mencoba memberikan alternatif-alternatif yang akan terjadi di masa yang akan datang. Padahal mempersoalkan materi sejarah, yakni tentang peristiwa-peristiwa masa lampau di abad modern saat ini sebagai tujuan, mungkin tidak begitu penting lagi. Rekontruksi masa lalu untuk kepentingan masa lalu juga sangat tidak banyak gunanya.

Sejarah sebenarnya ibarat seorang yang naik kereta duduk menghadap ke belakang, juga dapat melihat ke kiri dan melihat ke kanan. Satu-satunya kendala ia tidak begitu saja dapat melihat ke depan. Tetapi dengan memperhatikan situasi yang terdapat di belakang, dan memperhatikan pula situasi-situasi yang terdapat di samping kiri dan di samping kanannya, maka ia setidaknya dapat memperkirakan bagaimana keadaan yang terdapat di depannya.

Pada umumnya istilah sejarah dipakai untuk ceritera sejarah, pengetahuan sejarah, gambaran sejarah, yang semuanya itu sebenarnya adalah sejarah dalam arti subyektif. Disebut subyektif karena merupakan hasil penggambaran atau rekonstruksi dari pengarang, yang mau tidak mau dipengaruhi oleh sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya.

Sementara sejarah dalam arti obyektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Dalam hal ini kejadian tersebut hanya terjadi sekali, tidak diulang atau terulang lagi. Bahkan orang yang mengalami kejadian tersebut-pun hanya terlibat dalam sebagian kecil dari peristiwa tersebut. Sehingga dia waktu itu tidak mungkin mempunyai gambaran secara umum. Sampai dengan demikian proses itu berlangsung terlepas dari subyek manapun juga. Jadi obyektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur dari pengamat atau pencerita.

Hakekat pelajaran sejarah bahwa peristiwa yang terjadi pada masa lampau dapat terjadi lagi pada masa kini dan masa depan. Tentu saja peristiwa yang menyenangkan yang ingin kita alami lagi. Sedangkan peristiwa yang tidak menyenangkan tentunya kita usahakan untuk menghindarinya.

Kemungknan terjadinya lagi peristiwa-peristiwa masa lampau, seperti yang dikatakan orang “sejarah berulang”, maka kalau peristiwa-peristiwa itu dapat berulang maka itu tidak merupakan suatu “unikum” atau suatu yang unik, melainkan merupakan anggota sesuatu jenis umum peristiwa.

Dalam sejarah juga dikenal ada mazhab-mazhab dengan kelompok-kelompok pendukungnya. Sehubungan dengan keterkaitan dengan pembahasan kita saat ini, kita hanya akan menyinggung 2 mazhab.

Pertama, mazhab Generalisasi yang terbatas dengan ketat, yang terdiri atas sejarawan narratif-deskriptif. Mereka hanya melukiskan peristiwa-peristiwa sejarah, dan tidak akan menyatakan pendapat mengenai antar hubungan antara peristiwa-peristiwa yang mereka lukiskan, juga tentang pentingnya pelbagai peristiwa itu dibandingkan satu sama lainnya.

Kedua, adalah mazhab Interpretatif yang berusaha untuk menemukan benang merah di dalam sejarah yang akan memungkinkan mereka membuat sintesa dari peristiwa-peristiwa sejarah yang saling berhubungan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, juga dengan pandangan tentang sejarah obyektif dan sejarah subyektif, sesuai dengan pendapat Gottschalk bahwa sejarawan dapat dibagi atas 2 golongan, yakni golongan sejarawan deskriptif dan golongan sejarawan teoretis.

Selanjutnya dapat kita ketahui bahwa dari para sejarawan teoretislah dapat kita harapkan penulisan sejarah yang mempunyai guna pendidikan dan dapat memberikan pelajaran-pelajaran masa lampau kepada kita yang hidup pada masa kini untuk selanjutnya berusaha menyoroti masa depan yang gelap yang kita hadapi. Sedangkan dari pihak sejarawan deskriptif hal itu tidak dapat kita harapkan, kecuali jika kisah mereka itu kita tafsirkan sendiri.

Satu hal lagi yang berkaitan dengan sejarah, bahwa buku sejarah yang dapat dicatat sebagai karya yang memang khusus direncanakan untuk diterbitkan secara mandiri ialah biografi. Sekarang banyak sekali buku biografi yang beredar, hampir sebanyak tokoh-tokoh nasional kita. Bahkan dari seorang tokoh masih terdapat lagi yang diterbitkan, seperti buku kenangan 50 tahunan, 80 tahunan, dan sebagainya.

Buku-buku seperti yang disebutkan terakhir ini biasanya berisi riwayat singkat sang tokoh, dan selebihnya kesan-kesan dan kenangan dari orang-orang yang mengenalnya. Menurut DR. Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, banyak biografi seperti yang disebutkan di atas bukanlah buku sejarah yang baik, karena banyak yang tidak memperhatikan aturan kerja yang benar, seperti data-data dokumentasi yang diperlukan. Namun tentu saja penulis biografi tidak dapat dipersalahkan, karena kebanyakan mereka bukan sejarawan, tetapi umumnya para jurnalis dan pengarang yang banyak menulis biografi.

Bahkan sekarang banyak tokoh yang meminta kepada penulis atau sejarawan untuk dibuatkan biografinya. Namun sampai seberapa jauh kebenaran sejarah dari tulisan tentang orang yang ditokohkan tersebut, kita perlu tahu lebih banyak.

Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa biografi yang ditulis “secara baik” sangat mampu membangkitkan inspirasi kepada pembaca, sehingga dipandang dari sudut ini biografi mempunyai fungsi penting dalam pendidikan. (bahan dari berbagai sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).