Senin, 15 Agustus 2011

BENTENG MADANG







Benteng Gunung Madang



Demang Lehman




Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.

Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2.

Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.

Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari.

Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.

Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya.

Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.

Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia.

Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas


Benteng ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini.

Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.

Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang.

Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.

Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.

Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.

Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.

Sementara itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.

Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda

Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.

Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.

Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang. (HRN: disusun dari barbagai sumber).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
 

Senin, 25 Juli 2011

MONUMEN NGOTO





(Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara)

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Monumen Perjuangan TNI AU (Angkatan Udara) dahulu dikenal dengan nama Monumen Ngoto karena monumen ini terletak di dekat Dukuh Ngoto, Kelurahan Tamanan, Kecamatan Bangun Tapan, Kabupaten Bantul, sebelah selatan kota Yogyakarta.


Monumen yang dibangun tanggal 1 Maret 1948 ini berupa sebuah bangunan tugu setinggi 7 m yang terbuat dari bahan semen cor dengan batang tubuh bersegi enam kerucut. Bangunan ini di topang lapik segi empat bersusun dua mengecil. Pada puncak tugu terdapat patung burung garuda setinggi 1,5 m yang sedang merentangkan sayapnya terbuat dari bahan tembaga. Tugu Monumen Perjuangan TNI AU ini berada dalam areal tanah yang berpagar terali besi. Pada bagian belakang tugu terdapat dinding yang berelief tentang rangkaian peristiwa sejarah Hari Bakti TNI AU tanggal 29 Juli 1947.

Monumen ini pernah dipugar pada tahun 1981 ketika Marsekal Ashadi Tjahjadi menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Kemudian tahun 2000 kembali mengalami renovasi, bahkan kemudian berdasarkan Surat Kepala Staf TNI Angkatan Udara No. Skep/78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000 monumen ini diresmikan dengan nama Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara.

Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) dibangun untuk mengenang semangat juang, semangat berbakti, pengorbanan serta kepahlawanan putra-putra di lingkungan Angkatan Udara Republik Indonesia dalam membela Proklamasi 17 Agustus 1945 demi kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Putra-putra terbaik bangsa dari kalangan TNI AU yang gugur di tempat ini dalam penerbangan menjalankan tugas perjuangan waktu itu adalah Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, serta Opser Muda Udara I Adi Sumarno Wiryokusumo.

Kini dalam areal Monumen Perjuangan TNI AU ini, di bawah cungkup yang lebarnya 40 m2, terdapat 2 buah makam di antara para pejuang yang gugur tersebut. Sesuai dengan permintaan keluarga para pahlawan tersebut, maka makam mereka didampingi oleh makam isteri masing-masing. Dua orang pahlawan bangsa yang makamnya di pindahkan dari Pemakaman Umum Kuncen I dan Kuncen II ke areal monumen ini adalah Bapak Agustinus Adisutjipto bersama isteri bernama Ny. Yosephina Rahayu Adisutjipto dan Bapak Abdulrachman Saleh beserta isteri yang bernama Ny. Ismudiati Abdulrachman Saleh. Sedangkan makam AdisumarmoWiryokusumo tetap berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki.

Inisiatif pemindahan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dan makam Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dari pemakaman Kuncen I dan II ke lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) ini datang dari Marsekal TNI Hanafie Asnan ketika beliau menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Gagasan pemindahan kedua makam tersebut dilatarbelakangi karena pada setiap tahun yakni tanggal 29 Juli, TNI Angkatan Udara selalu melaksanakan upacara militer di kedua makam yang berada di Kuncen I dan II tersebut. Namun karena sempitnya lokasi makam, maka tata upacara militer tidak dapat dilaksanakan dengan hidmat, sehingga mengurangi kemegahan dan kebesaran kedua tokoh sesuai dengan jasa dan pengabdiannya.

Karena itulah kemudian TNI AU menawarkan kepada pihak keluarga Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh untuk memindahkan kedua makam tersebut ke Taman Makam Pahlawan Semaki. Tetapi pihak keluarga kedua pahlawan tersebut merasa keberatan kalau makam mereka dipisahkan dengan makam isteri masing-masing yang ada di sampingnya. Sehubungan dengan masalah tersebut ditempuh jalan keluar setelah mendapat persetujuan pihak kedua keluarga, yakni jasad kedua pahlawan tersebut beserta dengan jasad isteri masing-masing dipindahkan ke lokasi Monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena mendapat serangan pesawat Belanda. Pada waktu itu para pahlawan kita tersebut sedang membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya (Malaysia).

Dalam lokasi Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) selain terdapat bangunan tugu dan makam yang berada dalam cungkup, juga terdapat bangunan dinding relief yang menggambarkan kegiatan penyerangan yang dilakukan pesawat-pesawat milik Angkatan Udara RI terhadap tangsi-tangsi Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga serta relief peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa bantuan obat-obatan dari Malaya (Malaysia) karena mendapat serangan pesawat Belanda ketika akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.

Pesawat Dakota yang jatuh di dekat Dukuh Ngoto, tiga km selatan kota Yogyakarta ini selain membawa obat-obatan bantuan dari Malaya (Malaysia) juga membawa penumpang yang terdiri dari Komodor Muda Udara (Kolonel) Agustinus Adisustjipto, Komodor Udara Muda (Kolonel) Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opser Muda Udara I (Lettu) Adisumarmo Wiryokusumo, pilot Alexander Noel (Australia), co pilot Roy Hazelhurst (Inggeris), juru mesin Bhidaram, Zainal Arifin (Konsol Dagang RI di Malaya) dan Ny. Noel Constantine. Semua penumpang tersebut meninggal dunia, kecuali seorang penumpang yang selamat bernama A. Gani Handoyotjokro. Nama-nama mereka yang menjadi korban jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA karena diserang pesawat tempur Belanda tersebut diabadikan pada salah satu sisi Tugu Monumen Perjuangan TNI AU (Monumen Ngoto) tersebut.

Peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA merupakan rangkayan dari peristiwa Agresi Militer Belanda terhadap wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu beribu kota di Yogyakarta, yakni setelah penandatangan Persetuan Linggar jati tanggal 25 Maret 1947, dimana Belanda hanya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia hanya terdiri atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan daerah-daerah lainnya akan dibentuk negara-negara bagian yang masuk dalam Negara Indonesia Serikat. Bahkan sesudah itu Belanda mendaratkan militer besar-besaran, tanggal 21 Juli 1947 melakukan Agresi Militer terhadap wilayah Negara RI tanpa memperdulikan Persetujuan Linggarjati, sehingga wilayah RI dalam waktu singkat hanya tinggal sebagian Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam penyerangan yang dilakukan tentara Belanda tanggal 21, kemudian juga tanggal 25 dan 27 Juli 1947 dalam Agresi Militer Belanda tersebut, hampir seluruh Pangkalan Udara RI menjadi sasaran penyerangan, termasuk Pangkalan Udara Magowo yang diketahui sebagai pusat kekuatan udara RI waktu itu. Namun karena Pangkalan Udara Magowo yang waktu penyerangan Belanda pagi itu tertutup kabut tebal maka luput dari serangan, sehingga puluhan pesawat yang menjadi modal untuk melatih calon-calon penerbang dapat diselamatkan.

Sebagai balasan atas serangan-serangan pesawat Belanda tersebut, maka Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma waktu itu memerintahkan untuk menyerang tangsi-tangsi Belanda yang ada di Salatiga dan Semarang. Penyusun rencana operasi adalah Komodor Udara (Kolonel) Halim Perdana Kusuma, sedangkan pelaksana penyerangan dilakukan oleh empat kadet Sekolah Penerbang AURI, yakni Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, dan Bambang Saptoadji. Empat pesawat yang disiapkan adalah dua buah Curen, satu Hayabusha, dan satu Guntei. Namun pada hari keberangkatan Hayabusha yang akan diterbangkan Bambang Saptoadji rusak, sehingga ia tidak ikut melaksanakan misi tersebut.

Peristiwa serangan balasan yang ditujukan ke tangsi-tangsi Belanda tersebut dilakukan pada Selasa dinihari, tanggal 29 Juli 1947. Tepat pukul 03.45 WIB tiga pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Magowo. Kadet Mulyono didampingi penembak udara Durachman menggunakan pesawat Guntei, melakukan lepas landas yang pertama. Di belakangnya dua pesawat Curen menyusul lepas landas. Kadet Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sutarjo, dan Kadet Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Kaput. Kadet Mulyono bertugas menyerang pelabuhan laut Semarang, sementara Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Suharnoko Harbani menyerang Salatiga.

Kadet Sutardjo Sigit dan Kadet Mulyono berhasil melakukan operasi udara sesuai dengan rencana. Sedangkan Kadet Suharnoko Harbani, karena kegelapan pagi kehilangan pesawat yang dikemudikan Kadet Sutardjo Sigit yang menjadi leader-nya. Sehingga ia memutuskan untuk terbang ke Salatiga ia menyusuri lereng timur Gunung Merapi. Namun dari ketinggian terbang ia kemudian melihat lampu kota Ambarawa. Ia kemudian mengarahkan pesawat ke arah timur kota tersebut, di mana tangsi Belanda dibangun. Pagi itu serangan udara dilakukan oleh para kadet tersebut. Dua bom seberat 50 kg dijatuhkan, sehingga tampak asap mengepul. Setelah itu pesawat udara Curen kembali ke Pangkalan Udara Magowo melalui rute pertama, dan tiba paling awal. Kemudian disusul pesawat udara yang dikemudikan Kadet Sutardjo dan Kadet Mulyono.

Sementara itu pada hari yang sama tanggal 29 Juli 1947 juga sebuah pesawat terbang Dakota VT-CLA pukul 1.00 siang waktu setempat meninggalkan lapangan terbang Singapura dengan membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Ketika mendekati Pangkalan Udara Magowo saat roda-roda pesawat mulai keluar, pesawat Dakota VT- CLA membuat satu kali putara untuk persiapan mendarat, tetapi tiba-tiba muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk Belanda dan melakukan penembakan dengan gencar. Dakuta VT-CLA kemudian terbang ke arah selatan dalam keadaan terbakar dan jatuh di Jatingarang dekat Dusun Ngoto, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seperti disebutkan di atas bahwa peristiwa itu menewaskan 8 orang penumpangnya, yang 2 orang di antaranya makamnya terdapat di areal Monumen Ngoto, yang sekarang disebut Monumen Perjuangan TNI AU.

Peristiwa gugurnya para perintis dan tokoh TNI AU dalam peristiwa ini semula diresmikan dan diperingati sebagai hari berkabung. Kemudian sejak tahun 1962 peristiwa tanggal 29 Juli 1947 tersebut ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, dan diperingati setiap tahun di Lapangan Udara Adisutjipto.

Sampai peristiwa tersebut terjadi perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan Indonesia masih terus berlangsung. Perjuangan tidak lagi tergantung hanya pada seorang tokoh atau pimpinan. Satu gugur tampil penggantinya. Perjuangan melawan Belanda juga terjadi di seluruh tanah air dalam waktu yang bersamaan. Di mana-mana terjadi perang, rakyat melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, sehingga akhirnya mendapat perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

(Drs. H.Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional, disusun dari berbagai sumbar).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Selasa, 12 Juli 2011

SEKILAS TENTANG KERATON BANJAR


KERATON BANJAR

Dari: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keraton Banjar adalah Istana Kesultanan Banjar sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

KERATON KUIN

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai :

Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibukota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut :

Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.

Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.

Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.

Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur.

Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.

Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.

Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.

Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.

Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.

Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.

Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

BERITA DINASTI MING

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

KERATON DI KAYU TANGI (KARANG INTAN)

Pada tahun 1612 keraton Kuin mendapat serangan dari VOC, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pemerintahan dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah ke hulu sungai Martapura. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya Keraton Bumi Kencana yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1806.

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi :

" .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia".

PERUBAHAN NAMA BUMI KENCANA MENJADI BUMI SELAMAT:

Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) memindah keraton Banjar dari Kayutangi ke Bumi Kencana (Martapura).[1] Bumi Selamat adalah sebutan untuk kompleks keraton Sultan Banjar di Martapura. Kediaman Sultan atau nDalem Sultan disebut Dalam Sirap. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban dalam negeri Bumi Kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun 1806 (seribu delapan ratus enam).

BALAI SEBA

Balai Seba adalah sebuah bangunan dalam kompleks keraton Bumi Kencana yang dibangun tahun 1780 oleh Panembahan Batuah dengan ukuran lebar 50 kaki, panjang 120 kaki dan tinggi 25 kaki.

DALEM SULTAN TAMJIDULLAH II DI KAMPUNG SUNGAI MESA

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan, Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II. Berseberangan (sungai) dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amerongan, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amerongan merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu.

Referensi
1. The New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge, Volume 2, D. Appleton, 1865

2. Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, Penerbit Fadjar, 1953

3. H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota BanjarmasinDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986

4. Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Sumber "http: id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Banjar"

Senin, 27 Juni 2011

Drs.H. RAMLI NAWAWI: PENGALAMAN KERJA & KARYA TULIS

Nama: Drs. H. Ramli Nawawi, alumnus Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah UNLAM Banjarmasin (1977). Pengalaman: Guru SMP Simpur 1961-1962, Guru SMPN 1 Barabai 1963-1964, Guru SMPN 1 Kandangan 1965-1967, Guru SMPN 7 Bjm 1968-1969, Guru SMPN 6 Bjm 1970-1976, Guru SMAN 3 Bjm 1977-1980, Kasi TT PSK/Jarahnitra 1981-1988, Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional Kanwil Depdikbud Prop. Kalsel. 1989-1996, Peneliti Muda, Peneliti Madya, Ahli Peneliti Muda, Ahli Peneliti Madya Jarahnitra pada BKSNT Yogyakarta 1967-2006.

KARYA-KARYA TULIS YANG DITERBITKAN

BUKU KARYA TULIS SENDIRI:

1.Dewan Banjar, Penerbit Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-02-1, th. 2000.

2.Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Penerbit Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Yogyakarta, ISBN: 979-8971-02-7, th. 1998.

3.Ekspedisi Laut Dari Jawa Ke Kalimantan Selatan Pada Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Penerbit BKSNT Yogyakarta, ISBN: 979-8971-01-9, th.1998.

4.Masjid Ampel, Sejarah, Fungsi dan Peranannya, Penerbit dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No. 018/P/1999, th. 1999.

5.Kehidupan Suku Bukit Loksado Di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-01-3, th. 2000.

6.Perjuangan Kaum Republikein Menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-00-5, th. 2001.

7..Masjid Besar Semarang Peranannya Dalam Pengembangan Islam, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-10-7, th. 2001.

8.Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan Unsur Supra Natural Pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1945-1949, Penerbit MSI Cabang Yoyakarta, ISBN:979-9419-09-3, th. 2001.

9.Pondok Pesantren Tahaffudzul Qur'an Semarang Perkembangan dan Peranannya, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-16-6. th. 2004.

10.Masjid Gala Peninggalan Sunan Bayat Keadaan dan Peranannya (1980-2002), Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-15-8, th. 2004.

11.Dugderan Di Semarang Suatu Kajian Sejarah Tradisi Budaya Sebagai Aset Wisata, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-17-4, th. 2004.

12.K.H. Abdullah Umar Al Hafdz, Kehidupan, Pengabdian dan Pemikirannya, Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2004.

13.Quwwatul Islam Masjid Para Pedagang Banjar Di Kota Yogyakarta, Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2005.


KETUA TIM PENULIS BUKU:

1.Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (IDSN) Jakarta, 1984.

2.Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga Dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Banjarmasin, 1984.

3.Sejarah Kota Banjarmasin, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.

4.Tingkat Kesadaran Sejarah Siswa SMTA dan Masyarakat di Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.

5.Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (IPNB) Banjarmasin, 1989..

6.Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IPNB Banjarmasin, 1991.

7.Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P3NB) Banjarmasin, 1992.

8.Sejarah Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Di Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1993.

.9.Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Kelurahan Pelambuan Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek P3NB Banjarmasin, 1993.

10.Sisitem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB) Banjarmasin, 1994.

ANGGOTA TIM PENULIS BUKU:

1.Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1983.

2.Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P3NB Banjarmasin, 1992.

3.Pembinaan Disiplin Di Lingkungan Masyarakat Kota Banjarmasin, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1994.

4.Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Kalimantan Selatan (Periode 1945-1949), Penerbit Pemda Tingkat 1 Kalimantan Selatan, 1994.

5.Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas sumber Daya Manusia Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1995.

6.Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1996.

7.Dampak Globalisasi Informasi Dan Komunikasi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, ISBN 979-95571-1-9, th. 1998.

(HRN: Banjarmasin-Yogyakarta)

Rabu, 08 Juni 2011

MAKNA BELAJAR SEJARAH

Disusun: Ramli Nawawi
Belajar sejarah membuat orang menjadi pandai menyesuaikan diri dengan masanya. Sejarah dengan segala peristiwanya yang sudah lewat dapat dijadikan sebagai cermin kehidupan. J. Russel mengatakan dengan belajar sejarah orang tidak akan tertumbuk pada satu tiang yang sama untuk kedua kalinya. Kesalahan-kesalahan masa lampau dijaga agar tidak terulang lagi.

Belajar sejarah dengan cara tiga dimensi menjadikan seseorang mampu melihat jauh ke depan. Dengan mengetahui peristiwa atau peroses kejadian yang telah berlalu, mempelajari dan menganalisa keadaan yang sedang berlaku, maka orang akan dapat mengetahui bagaimana masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu seseorang dapat menentukan sikap apa yang perlu dilakukannya.

Dengan belajar sejarah membuat orang bersikap hati-hati pada masanya. Seorang yang idealis ingin kalau hidupnya dapat memberikan “sesuatu” yang berarti bagi orang lain. Ia banyak belajar dari sejarah bahwa banyak tokoh-tokoh dunia yang hidup abadi dalam sejarah. Jasadnya hancur tapi namanya menghias lembaran sejarah sebagai orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dipaksa untuk tetap menceritakan sesuatu yang keliru. Ia terus berproses sehingga kebenaran telah menang. Sejarahlah yang menilai siapa sebenarnya seseorang itu pada zamannya. Ia akan mewariskan kebanggaan atau kebencian.

Dan dengan belajar sejarah kita tahu bahwa ada priode-priode dalam kehidupsn ini. Generasi ke generasi ada kaitan dan hubungan yang berantai. Apa y ang diwarisi oleh suatu generasi adalah hasil kegiatan perbuatan generasi sebelumnya. Apakah kita menaruh hormat atau merasa mempunyai tanggung jawab morel terhadap hasil perjuangan generasi terdahulu banyak ditentukan bagaimana pengertian sejarah bagi generasi pada masanya.

Sehubungan dengan itu mempelajari sejarah bukan untuk menghafal nama-nama dan tahun-tahun, akan tetapi melihat gejala-gejala dan kejadian-kejadian serta rangkaian sebab akibat suatu peristiwa. Demikian juga harus menanamkan pengertian “kenapa” dan “apa” sebab suatu terjadi dalam ruang, tempat dan waktu yang tertentu. (HRN).

(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).

Rabu, 25 Mei 2011

LINTASAN SEJARAH BANJAR

(Kalimantan Selatan)

Menurut Hikayat Banjar, pada abad ke 14 di tanah Banjar berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh seorang saudagar dari Negeri Keling yang bernama Empu Jatmika. Ia datang ke daerah ini memenuhi wasiat almarhum ayahnya yang bernama Mangkubumi. Empu Jatmika disuruh agar sepeninggal ayahnya supaya meninggalkan Negeri Keling dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum (pen: subur dan aman).

Empu Jatmika dan keluarganya setelah berlayar ke utara kemudian sampai di suatu daerah bernama Hujung Tanah. Di sinilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum tersebut. Empu Jatmika bersama anak-anak dan pembantunya kemudian mendirikan tempat tinggal dan membangun daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Kahuripan atau Kuripan, yakni daerah Kota Amuntai sekarang. Untuk upacara keagamaan, ia mendirikan sebuah candi, yang kemudian dikenal dengan Candi Agung.

Sebagai tokoh pimpinan, yang kemudian diakui pula oleh penduduk di daerah tersebut, Empu Jatmika kemudian bergelar Maharaja di Canndi. Bahkan Kerajaan Negara Dipa ini semakin bertambah kuat dan wilayahnya semakin bertambah luas berkat usaha penaklukan terhadap daerah-daerah sekitarnya oleh para patih yang bernama Patih Magatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa.

Empu Jatmika memandang dirinya tidak lebih dari seorang saudagar. Ketaatannya memegang ajaran Trimurti, merupakan tonggak kukuh atas pandangannya bahwa kasta Waisye tidak mempunyai hak untuk memerintah. Sehubungan pandangannya itulah ia berwasiat kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat, bahwa sepeninggalnya nanti supaya dicari seorang raja yang sebenarnya.

Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa setelah Empu Jatmika meninggal, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat segera mencari orang yang berhak memerintah di Negara Dipa sesuai wasiat orang tua mereka. Disebutkan bahwa Lambung Mangkurat akhirnya menemukan seorang putri penjelmaan yang keluar dari pusaran air yang berbuaih, sehingga ia dikenal dengan sebutan Putri Junjung Buih.

Selanjutnya untuk mendapatkan seorang raja yang berhak memerintah di Negara Dipa, Patih Lambung Mangkurat menjodohkan Putri Junjung Buih dengan seorang putra raja Majapahit yang bernama Suryanata.

Pusat Kerajaan Negara Dipa yang dibangun oleh Empu Jatmika tersebut kemudian oleh raja yang ketiga sesudah Suryanata, yang bernama Sari Kaburungan dipindahkan ke daerah selatan. Pusat kerajaan yang baru ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Negara Daha. Bandar perdagangan juga dipindahkan dari bandar lama di Muara Rampiau ke bandar baru di Muara Bahan (Marabahan). Tidak lama setelah perpindahan kerajaan inilah Patih Lambung Mangkurat meninggal dan kemudian digantikan oleh Patih Aria Trenggana.

Sari Kaburungan kemudian digantikan oleh anaknya bernama Maharaja Sukarama (lihat silsilah Lambung Mangkurat, posting: 18-2-09). Raja yang baru ini mempunyai tiga orang anak, dua orang putra yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung serta seorang putri bernama Ratu Intan (Putri Galuh). Dari anak putrinya ini Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu bernama Raden Samudera.

Diterangkan bahwa menjelang akhir hayatnya Maharaja Sukarama telah mewasiatkan kepada Patih Trenggana, bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Karena itulah sepeninggal Sukarama di Negara Dipa terjadi perebutan tahta. Maka untuk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Trenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Sehingga Raden Samudera harus hidup menyamar sebagai anak nelayan di daerah orang Serapat, Belandian, Kuwen di muara Sungai Kuwen.

Sebagai anak yang tertua maka Pangeran Mangkubumi kemudian naik tahta mengganikan Sukarama. Namun karena suatu fitnah Pangeran Mangkubumi dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri.

Sementara itu seorang penguasa bandar di daerah di mana Raden Samudera menyamar sebagai anak nelayan bernama Patih Masih kemudian menemukan putra mahkota yang terbuang tersebut. Dan atas kesepakatan 5 orang patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwen dan Patih Balitung, maka Raden Samudera dirajakan di daerah Banjarmasin.

Tindakan para patih ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dan Banjarmasin. Pertentangan yang timbul antara paman dan kemanakan (keponakan) ini membuat sejarah baru dengan adanya permintaan (atas usul Patih Masih) bantuan oleh Raden Samudera kepada Sultan Demak. Sultan Demak waktu itu (Sultan Trenggono) bersedia membantu dengan syarat kalau sudah menang Raden Samudera harus beragama Islam. Dan persyaratan ini diterima baik oleh Raden Samudera.

Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera terdiri atas 1000 orang Demak; serta rakyat di daerah yang dahulu merupakan daerah kekuasaan Maharaja Sukarama seperti Sambas, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Asam-asam, Kintap, Takisung, Tabanio, dan beberapa daerah lainnya; juga terdapat kelompok pedagang yakni orang Melayu, Cina, Bugis, Makasar dan orang Jawa yang ada di Banjarmasin

Perang ini berakhir dengan pengakuan secara tulus yang diberikan oleh Pangeran Tumenggung terhadap keponakannya (Raden Samudera) yang memang berhak atas kerajaan waktu itu. Atas pengakuan dan ketulusan Pangeran Tumenggung menyerahkan kerajaan kepada keponakannya tersebut, maka Raden Samudera kemudian menyerahkan daerah Batang Alai dan Batang Amandit untuk tetap diperintah oleh pamannya yang tetap bermukim di Negara Dipa.

Selanjutnya sesuai dengan perjanjian dengan Sultan Demak, maka Raden Samudera kemudian memeluk agama Islam. Ia kemudian bernama Sultan Suriansyah, dan sebagai pusat kerajaan ditetapkan di Banjarmasin yakni di daerah Desa Kuwen. Karena itulah Sultan Suriansyah dikenal sebagai raja pertama pendiri Kerajaan Banjar (Banjarmasin) yang beragama Islam. Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526-1550.

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) ini selanjutnya oleh Sultan Mustainullah (Sultan yang ke 4) ibu kotanya dipindahkan ke daerah Martapura. Perpindahan ini berlangsung pada tahun 1612. Perpindahan tersebut didasari pertimbangan bahwa ditempat baru itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang asing (Inggeris dan Belanda yang waktu itu kapal-kapalnya sudah sampai di Banjarmasin).

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801) penyebaran Islam di Kerajaan Banjar mengalami penyebaran pesat. Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang telah kembali setelah belajar agama selama 32 tahun di Mekah.

Salah seorang sultan yang pada masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857). Sultan Adam telah memberlakukan suatu undang-undang yakni Undang-Undang Sultan Adam yang mewajibkan rakyatnya menjalankan syaria’at Islam dalam kehidupannya di masyarakat.

Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah pada abad ke 16 dan bermula dari cikal bakal di Negara Dipa ini akhirnya dihapuskan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, dengan terlebih dahulu menurunkan dari tahta kerajaan sultan terakhir ialah Sultan Tamjidillah.

Namun Perang Banjar yang dicetuskan Pangeran Antasari bersama dengan Pangeran Hidayatullah (1859-1905) terus berlangsung secara sepuradis di bumi Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah kemudian diasingkan ke Cianjur dan Pangeran Antasari meninggal karena sakit tahun 1862, perlawanan terus berkobar di bawah pimpinan Gusti Muhammad Seman putra Pangeran Antasari. ( Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta)..