Minggu, 15 Maret 2009

PERANAN MADRASAH PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA DI KALIMANTAN SELATAN

PERANAN MADRASAH PADA MASA PENJAJAHAN
BELANDA DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi

PENGANTAR

Makalah yang berjudul Peranan Madrasah Pada Masa Penjajahan Belanada di Kalimantan Selatan ini dibuat dalam rangka kegiatan Seminar Sejarah Lokal yang diselenggarakan pada tanggal 1 s.d. 4 September 1982 di Denpasar Bali.

Penyusunan makalah ini berdasarkan metode perpustakaan dan wawancara. Kepustakaan diambil dari berbagai sumber berupa buku, catatan, dan tulisan-tulisan pada mass media. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap tokoh yang banyak mengerahui masalah daerah Kalimantan Selatan.

Makalah disiapkan dalam waktu yang relatif singkat ini tentu saja jauh dari sempurna. Mudah-mudahan makalah yang sederhana ini dapat memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha yang bermaksud menghimpun pengetahuan tentang sejarah tanah air Indonesia ini.

PENGAJIAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Pengajian yang diselenggarakan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1802) seorang ulama Islam dari daerah Kalimantan Selatan yang telah memiliki kealiman setelah belajar selama 30 tahun di Mekah dan Madinah, merupakan kegiatan pendidikan yang pertama diselenggarakan dalam rangka pembaharuan dan penyebaran lebih jauh agama Islam yang masuk ke daerah ini pada pertengahan abad ke 16.

Sistem yang dipakai dalam pengajian ini adalah sistem balagan (bandengan), namun di samping itu dilakukan juga sistem sorogan. Pada sistem balagan seorang guru membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab dikelilingi oleh sejumlah muridnya yang masing-masing memperhatikan kitabnya. Sedangkan sistem sorogan seorang guru hanya memberikan pelajaran ( tuntunan) pada seorang murid (santri) sehingga dapat memahami isi sebuah kitab.

Pada masa permulaan dari pengajian ini beliau secara khusus membimbing kedua cucunya yang bernama Muhammad As'ad dan Fatimah, sehingga keduanya tampil pertama kali sebagai ulama dan alamah yang kemudian menjadi guru bagi sekalian murid laki-laki dan sekalian murid perempuan.

Melalui pengajian ini Muhammad Arsyad mencontohkan kehidupan kepada anak cucu dan murid-muridnya sesuatu pandangan hidup yang menyeimbangkan "hakekat dan syari'at". Di mana dalam segala tindakan kehidupan terdapat keseimbangan antara kegiatan dunia dan akhirat. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar penyelenggaraan pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dalam pengajian ini selain diberika pengajian agama juga muridnya dilatih bekerja sama menyelenggarakan tanah pertanian.

Bahkan kemudian untuk memungkinkan dapat dilakukannya penggarapan sebidang tanah yang sebelumnya tidak dapat dikerjakan di daerah tersebut, beliau memelopori penggalian sebuah saluran air guna mengalirkan air yang selalu menggenangi tanah kosong tersebut. Saluran inilah yang kemudian dikenal dengan nama "Sungai Tuan", yakni sebuah sungai yang bermuara ke Sungai Martapura yang pembuatannya dahulu dipelopori oleh Tuan Syekh Muhammad Arsyad.

Sistem belajar sambil bekerja inilah yang seterusnya diwariskan untuk dilanjutkan kepada generasi selanjutnya. Di mana setiap anak cucu dan muridnya yang sudah memperoleh kealiman diwajibkan hidup berkeluarga di daerah-daerah pedalaman di mana mereka kemudian menyelenggarakan pengajian pula.

Demikianlah pengajian yang sudah diselenggarakan sejak sekitar tahun 1790 Masehi tersebut kemudian secara berangsur-angsur melahirkan satu kelompok baru yang selanjutnya dikenak sebagai "kelompok ulama" di daerah ini. Kelompok ini selanjutnya mempunyai peranan besar dalam perkembangan masyarakat Kalimantan Selatan.

Fatwa-fatwa golongan ulama sangat besar pengaruhnya terhadap segala tindak usaha setiap anggota masyarakat. Keterikatan kepada pribadi-pribadi para ulama tersebut menyebabkan timbulnya "charisma" kelompok ini.

Selanjutnya ketika Sultan Adam berkuasa (1825-1857) golongan ulama mendapat tempat terhormat di masyarakat. Pada masa itu sultan memandang perlu dalam tata pemerintahan Kerajaan Banjar ada jabatan Qadhi dan Mufti. Dalam jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi dengan orang-orang dari kelompok ulama.

Qadhi atau Penghulu adalah seorang yang diangkat oleh sultan untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Sedangkan Mufti adalah hakim tertinggi yang bertugas mengawasi pengadilan. Adanya jabatan-jabatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam telah ditrapkan di masyarakat Banjar pada waktu itu. Ini merupakan gambaran suatu perkembangan di mana ketentuan-ketentuan hukum agama yang sebelumnya telah disebarkan melalui pengajian telah dijadikan norma-norma dalam kehidupan masyarakat.

Di dalam Undang-Undang Sultan Adam itu antara lain ditegaskan bahwa rakyat diharuskan untuk::
1. Beri'tikad Ahlus Sunnah wal Jama'ah
2. Tetuha-tetuha kampung mendirikan langgar untuk bersemnbahyang berjamaah pada waktunya dan supaya mengajak anak buahnya bersembahyang berjamaah pada setiap hari Jum'at.
3. Kepada Mufti dan Qadhi agar menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum Islam menurut Mazhab Imam Syafi'i.

Demikianlah pengajian yang diselenggarakan Syekh Muhammad Arsyad sebagai suatu sistem pendidikan/pengajaran yang petrtama dilakukan di daerah ini dan yang kemudian dikembangkan lebih luas oleh anak cucu dan murid-muridnya di mana ditanamkan ajaran-ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan pandanga hidup yang berdasarkan keseimbangan antara kegiatan duniawi dan ukhrawi ternyata kemudian banyak mempengaruhi perkembangan masyarakat yang berlangsung sesudahnya di daerah ini.

MASUKNYA PENDIDIKAN BARAT DAN REAKSI MASYRAKAT

Apabila sistem pendidikan/pengajaran yang berlangsung sebelumnya dikenal dengan istilah pengajian, maka pendidikan Barat yang masuk ke daerah Kalimantan Selatan pada awal abad ke 20 lebih ditekankan pada sistem klassikal di mana diberikan pelajaran-pelajaran pengerahuan umum. Pemerintah Kolonial Belanda merasa perlu menyelenggarakan pendidikan Barat di samping untuk memenuhi permintaan tenaga-tenaga administrasi yang mereka perlukan di daerah jajahan ini ternyata juga untuk membentengi Belanda dari volkano Islam yang mereka anggap sebagai suatu ancaman terhadap pemerintahan kolonial di Indonesia ini. Jadi sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang mereka sebut Inlander. Sehingga seorang Inlander baru dapat menikmati pendidikan ini setelah melewati seleksi ketat, yang pada kenyataannya bukan seleksi kecerdasan yang dilakukan tetapi seleksi ras dan status.

Kalau dalam masyarakat kolonial yang dijadikan patokan untuk menentukan tinggi rendahnya status tersebut adalah besar kecilnya penghasilan atau dalam kepegawaian berdasarkan tinggi rendahnya pangkat/jabatan, maka dalam masyarakat Inlander telah diatur atas 3 kategori sebagai berikut: (1) kategori A adalah para kaum bangsawan, pejabat tinggi pemerintah serta pengusaha kayu yang berpenghasilan 75 golden/bulan., (2) kategori B adalah orang tua yang memperoleh pendidikan MULO dan Kweekschool ke atas, sedangkan (3) kategori C adalah para pegawai kecil, militer atau orang tua yang telah memperoleh pendidikan HIS.

Bahwa sebelum Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di daerah ini (1860) struktur masyarakat Banjar terdiri atas: (1) golongan raja dan keluarganya, (2) kaum bangsawan, (3) kaum ulama, (4) pegawai tinggi kerajaan, (5) orang-orang kaya/pedagang, (6) penduduk biasa, dan (7) orang-orang terlibat hutang. Dan setelah Kerajaan Banjar dihapuskan sejak 11 Juni 1860 maka dalam masyarakat kolonial ini lahir struktur baru, di mana raja, kaum bangsawan dan pegawai tinggi kerajaan tidak mempunyai peranan lagi. Inti sosial pada waktu itu terdiri dari kelompok kecil yang disebut yang disebut "elite Hindia Belanda". Kelompok kecil yang baru muncul tersebut terdiri atas:
(1) Kepala-kepala distrik.
(2) Pegawai yang telah dilatih untuk suatu pekerjaan tertentu.
(3) Beberapa orang ulama yang diangkat untuk keperluan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama, hukum perdata/adat, yang juga berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan keinginan-keinginan pemerintah kepada penduduk.

Pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tumbuh bersama munculnya elite Hindia Belanda seperti tersebut di atas tidak banyak memberi arti langsung bagi kemajuan rakyat jajahan di daerah ini.
Adanya ketentuan-ketentuan mengenai seleksi yang ketat bagi anak-anak orang Indonesia yang dapat memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda tersebut serta munculnya elite Hindia Belanda yang tidak dapat diterima oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebencian kepada Belanda merupakan hal-hal yang menyebabkan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh Belanda tersebut sekedar untuk memenuhi keperluan mendesak untuk kepentingan Hindia Belanda di Indonesia.

Berkembangnya peranan kaum ulama yang dahulu lahir dan menjadi kuat sejak adanya pengajian-pengajian Syekh Muhammad Arsyad memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berusaha menyaingi sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pendidikan swasta yang lahir menyaingi sekolah-sekolah Belanda ini juga telah menggunakan sistem klassikal.

Jadi timbulnya pendidikan Hindia Belanda ini menggugah bangkitnya golongan ulama yang merupakan kelompok elite religius untuk bergerak menandingi kegiatan Belanda. Kelompok ulama dengan kharismanya di samping menyelenggarakan sekolah-sekolah agama/madrasah secara klassikal juga tetap melakukan pengajian-pengajian seperti yang digariskan oleh Syekh Muhammad Arsyad. Sehingga pada waktu Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan Barat di daerah ini, masyarakat bersama golongan ulama melakukan kegiatan pula membangun sekolah-sekolah swasta sebagai tandingan di mana khusus diberikan pengetahuan keagamaan.

Pada waktu itu kegiatan pendidikan dan pengajaran antara yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak terdapat hubungan kerja sama. Apabila pendidikan swasta (keagamaan) yang merupakan bentuk baru dari pengajian mendapat dukungan dari masyarakat, maka sekolah-sekolah pemerintah tidak mendapat simpati dari masyarakat. Untuk ini ada pernyataan pihak pemerintah Belanda tentang sikap masyarakat yang lebih condong memilih sekolah swasta yang mereka sebut sebagai "sekolah liar".

Berikut ini dugaan pihak pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan besarnya perhatian masyarakat terhadap sekolah-sekolah swasta. "Ada beberapa sebab yang mendorong orang bumiputra memilih "sekolah liar", antara lain sebagai berikut. Menurut dugaan pertama usaha para guru sekolah liar yang dengan rajin dan gigih mempengaruhi orang tua bakal murid untuk memasukkan anak ke sekolah mereka. Yang kedua, mungkin pembahasan mengenai "Ordonansi Sekolah Liar" dalam Dewan Rakyat berakibat timbulnya pendapat dalam masyarakat penduduk bumiputra, bahwa sekolah liar adalah milik rakyat dan ada di luar urusan pemerintah. Sentimen nasionalisme ikut memberi kesan kehormatan kepada kebangsaan atau kemuliaan "sekolah Liar".

Tetapi bagaimanapun kenyataan sejarah membuktikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membatasi sekolah tipe HIS itu hanya untuk anak elite bumiputra saja. Di sampingg ada dorongan kuat bagi sementara orang untuk menyekolahkan anaknya di HIS atau tipe sekolah seperti itu walaupun harus berkorban mengeluarkan biaya hidup tinggi, maka di antara masyarakat mulai timbul juga kesadaran bahwa untuk rakyat bumiputra perlu juga mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Ini tidak diartikan untuk mencapai posisi sosial yang lebih tinggi, tetapi agar nantinya dapat menggantikan orang-orang Barat dalam banyak jabatan.

Pemikiran ini pun tumbuh di masyarakat Kalimantan Selatan sehingga ada lulusan HIS dan MULO yang kemudian tampil sebagai tokoh pergerakan dalam masa perjuangan kemerdekaan. Ini merupakan sesuatu yang muncul di antara sikap keras masyarakat yang menentang pendidikan Barat di daerah ini.

Demikianlah sampai pada momen ini pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda hanyalah memberikan tempat bagi sementara anak-anak Indonesia pada sekolah-sekolah tingkat dasar seperti Volkschool dan Vervolgschool yang pada tahun 1840-an telah tersebar di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Sementara HIS sebagai sekolah yang ditentukan berdasarkan status bagi orang tua muridnya, hanya ada di tiga tempat yakni di kota Banjarmasin 1 buah, di kota Kandangan 1 buah, dan Kotabaru 1 buah. Sedangkan untuk tingkat MULO baru ada pada tahun 1927 sebanyak satu buah di Banjarmasin.

Yang lainnya hanyalah sekolah-sekolah kejuruan yang mempersiapkan tenaga-tenaga khusus, seperti Schakelschool, Ambachtschool, Klein Handel School, Meisjevervolgschool dan Kweekschool. Di samping itu ada juga sekolah-sekolah khusus untuk orang Belanda dan Cina, seperti FLS dan HCS.

BERDIRINYA SEKOLAH-SEKOLAH SWASTA

Ada dua motif yang mendorong masyarakat untuk membangun sekolah sewasta di daerah ini. Yang pertama adalah motifasi keagamaan dan yang kedua motifasi nasional. Motifasi keagamaan didasari perasaan tanggung jawab keagamaan, di mana menurut ajaran Islam masalah pendidikan anak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan di kemudian hari. Sehingga begitu kerasnya pandangan masyarakat terhadap setiap pendidikan yang tidak dilandasi keislaman, maka ia dicap sebagai ingin mengkristenkan anak-anak mereka.

Sementara motifasi nasional yang tumbuh berdampingan dengan motifasi keagamaan, di mana terdapat semangat kebebasan dan tanggung jawab agar anak-anak Indonesia terhindar dari pengaruh jiwa kolonial dan tetap menjadi putra tanah air yang memiliki semangat patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Sehubungan dengan motifasi-motifasi tersebut di atas di Kalimantan Selatan lahir lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berdasarkan Islam dan kemudian diikuti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang didasari jiwa kebangsaan.

Pelopor-pelopor yang mendirikan lembaga pendidikan agama adalah kelompok ulama yang selama ini menyelenggarakan pengajian-pengajian tradisional dengan sistem pengajian. Dan menghadapi perkembangan yang terjadi dalam dunia pendidikan tersebut, para ulama yang pernah melanjutkan pendidikan di luar negeri (Qairodan Mekkah) dalam rangka memperdalam pengetahuan Islam, kemudian terpanggil untuk menyelenggarakan pendidikan sistem kelasikal. Gagasan ini timbul terutama dari kelompok ulama yang pernah mengikuti pendidikan di Mesir di mana sistem klassikal sudah lama ditrapkan.

Dengan tenaga-tenaga pengajar dari hasil pengajian yang berlangsung sebelumnya, mula-mula sekali dibangun 2 madrasah di Pantai Hambawang dan Jatuh di Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang. Dan dalam waktu singkat di beberapa kota di Kalimantan Selatan berdiri madrasah-madrasah serupa.

Menyadari bahwa dasar pembangunan madrasah ini mempunyai latar belakang yang sama, maka oleh beberapa tokoh ulama dibentuk organisasi antara madrasah-madrasah tersebut. Organisasi ini disebut Persatuan Perguruan Islam (PPI), yang terbentuk secara resmi pada tahun 1935 dengan jumlah madrasah:
- Madrasah Ibtidaiyah ada 23 buah dengan murid 2.305 orang.
- Madrasah Tsanawiyah ada 6 buah dengan jumlah murid 502 orang.

Madrasah-madrasah PPI dapat maju dan bertahan lama yakni sampai masuknya Jepang di daerah ini, karena pandangan bahwa anak-anak mereka harus memasuki sekolah agama dari pada bersekolah di Volkschool atau Vervolgschool kepunyaan Belanda yang dianggap masyarakat sebagai sekolah kapir.

Berdirinya Syarikat Islam (SI) pada tahun 1914 di Banjarmasin segera diikuti oleh berdirinya cabang-cabang SI di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Di tiap cabang SI didirikan madrasah Syarikat Islam. Madrasah-madrasah itu adalah:
(1) Sekolah Darussalam di Martapura tahun 1914.
(2) Arabische School yang kemudian menjadi Ma'adah Rasyidiah di Amuntai tahun 1928.
(3) Madrasah Tsanawiyah Islam Pandai di Kandangan tahun 1930.
(4) Madrasah Diniah Islamiah di Barabai tahun 1932 (sumber: Syekh M. Arsyad….
Madrasah-madrasah SI ini diperkuat dengan timbulnya organisasi Musyawaratutthalibin (1930) yang mempunyai madrasah tersebar di kota-kota di Kalimantan Selatan. Demikian pula berdirinya Muhammadiyah (1932) di Alabio, yang dalam kegiatannya di bidang pendidikan telah menyelenggarakan sekolah-sekolah agama juga merupakan dukungan pula bagi kemajuan pendidikan swasta di daerah ini.

Sekolah-sekolah agama yang diselenggarakan dengan sistem klassikal tersebut setelah berselang beberapa tahun telah menghasilkan pemimpin-pemimpin pemuda Islam, baik yang bergiat dalam bidang politik, menjadi guru madrasah di kampung-kampung, melakukan pengajian di surau-surau atau menjadi muballig yang giat melakukan tablig-tablig agama Islam.

Lembaga-lembaga pendidikan swasta yang bermotif nasional yang timbul di Kalimantan Selatan adalah Sekolah Taman Siswa di Marabahan pada tahun 1931. Ajaran kebangsaan yang diterapkan di sekolah ini diwujudkan dengan terbentuknya organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Kemudian pada tahun 1937 di Kandangan lahir organisasi pergerakan PARINDRA (Partai Indonesia Raya) yang telah menyelenggarakan persekolahan bernama Perguruan Rakyat Parindra. Di sekolah ini ditanamkan perasaan cinta terhadap bangsa dan Tanah Air Indonesia.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa kurangnya minat masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya untuk memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah pemerintah Belanda, di samping pesatnya perkembangan sekolah-sekolah swasta yang bermotivasi agama, maka seperti telah disebutkan di atas keadaan ini mempunyai kaitan erat dengan peranan dan jiwa orang-orang yang sebelumnya telah mengenal sistem pengajian yang sudah banyak dipakai sejak sekitar pertengahan abad ke 18.

Demikian pula halnya adanya sekolah-sekolah yang bermotivasi nasional merupakan perwujudan dari jiwa pergerakan yang di samping memiliki dasar keagamaan yang mereka terima dalam bentuk pengajian, dan sejak mengenal pendidikan Barat dapat menyadari jarak dan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada apa yang mereka namakan Inlander ini.

PENDIDIKAN ZAMAN KEMERDEKAAN DAN PANDANGAN KEAGAMAAN

Keadaan terganggunya pendidikan pada zaman Jepang berlangsung terus hingga pada masa revolusi kemerdekaan. Ini terjadi karena situasi perang. Apalagi pada zaman revolusi di mana para pemuda dan para siswa banyak ikut bergerilya untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan. Dalam masa kemerdekaan bidang pendidikan di daerah ini mengalami perkembangan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga baru. Di Banjarmasin tahun 1954 dibangun perkampungan pelajar Mulawarman di mana untuk tahap pertama di kompleks ini terdapat 17 buah sekolah mulai dari TK sampai dengan SMTA dengan jumlah murid sebanyak 5.500 orang pelajar. Di antara sejumlah lembaga-lembaga pendidikan kejuruan selanjutnya dibangun sekolah pendidikan agama 6 tahun. Ini sesuatu yang tidak pernah diselenggarakan sebelumnya. Bahkan sejak tahun 1956 lembaga perguruan tinggi mulai muncul di daerah ini. Pertama kali yang lahir adalah Akademi Perniagaan Kalimantan. Dan mulai tahun 1958 dibangun lembaga perguruan tinggi Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) di Banjarmasin. Lembaga ini tahun 1960 diresmikan sebagai universitas negeri dengan 5 fakultas (Hukum, Ekonomi, Sospol, Pertanian dan FKIP).

Sementara itu bidang pendidikan swasta yang umumnya terdiri dari madrasah-madrasah dan pesantren, di antaranya ada yang merupakan lanjutan kegiatan dari sekolah-sekolah yang ada sebelum zaman Jepang. Tetapi ada pula yang baru dibentuk, seperti SNIP Masjid Jami Banjarmasin, Madrasah Mualimin di Barabai, Pesantren Ibnul Amin Pemangkih di Barabai. Sehingga menurut data tahun 1961 di Kalimantan Selatan terdapat 146 madrasah tingkat ibtidaiyah dengan jumlah murid 9.067 orang, dan madrasah tingkat tsanawiyah 40 buah sekolah dengan jumlah muridnya 4.903 orang, serta madrasah tingkat aliyah sebanyak 8 buah dengan murid 1.618 orang. Pada tahun 1961 ini kalau dibandingkan jumlah murid aliyah dengan sekolah menengah umum tingkat atas (SMAN) terdapat angka, aliyah 1.618 orang dan SMAN 265 orang. Dari perbandingan ini jelas sampai pada saat itu pandangan masyarakat terhadap pendidikan dalam bidang agama lebih banyak mendapatkan perhatian masyrakat.

Dari kenyataan inilah sehingga lahirnya Fakultas Islamologi pada tahun 1958 sebagai bagian dari UNLAM mendapat sambutan baik dari masyarakat. Kemudian Kandangan berdiri Akademi Agama Islam Bahasa Arab (4 Januari 1961), di Barabai juga berdiri yang serupa, sedangkan di Amuntai berdiri Fakultas Usuluddin. Di Martapura sebagai kota yang terkenal dengan pendidikan agama karena banyaknya alim ulama dan lahirnya Madrasah Darussalam yang merupakan madrasah tertua, juga mengambil inisiatif mendidrikan Akademi Ilmu Hadist. Sehubungan dengan lahirnya beberapa akademi dan fakultas tersebut, sehingga pada tanggal 22 September 1961 secara resmi digabungkan dalam suatu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ANTASARI Banjarmasin.

Apabila sampai tahun 1960-an data kemajuan sekolah-sekolah agama masih di atas jumlah siswa sekolah negeri, ini merupakan bukti bahwa pandangan/jiwa keagamaan yang sudah tertanam sejak zaman pengajian Syekh Muhammad Arsyad telah mendasari pandangan kehidupan orang Banjar.

Sesuai pandangan keagamaan yang tertanam di masyarakat maka pada masa awal kemerdekaan para orang tua murid umumnya menyekolahkan anaknya sekaligus untuk 2 jenis pendidikan. Yakni pagi masuk sekolah rakayat/pemerintah, dan sore masuk sekolah madrasah. Ini merupakan tindakan agar anak mereka tidak hanya mempunyai pengetahuan umum saja tetapi juga mempunyai pengetahuan agama. Pandangan masyarakat yang berlandaskan ajaran agama ini kemudian selaras dengan kurikulum pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pendidikan di Indonesia di mana pada setiap jenjang sekolah yang diselenggarakan pemerintah, pendidikan agama diberikan sesuai kurikulum. Demikian pula halnya di mana semua madrasah baik negeri maupun swasta telah diisi pula dengan mata pelajaran pengetahuan umum. Kalau pada masa penjajahan Belanda dahulu masyarakat membangun madrasah-madrasah untuk menyaingi sekolah-sekolah Belanda, maka pada zaman kemerdekaan sekolah-sekolah swasta tersebut justru menunjang sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.

KESIMPULA

Pengajian yang dirintis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam rangka pembangunan dan penyebaran agama Islam di daerah ini telah menghasilkan dasar-dasar pandangan hidup yang berakar kuat dalam masyarakat Kjalimantan Selatan.

Timbulnya golongan ulama sebagai hasil yang diperoleh melalui pengajian ini merupakan modal yang berperanan besar dalam perkembangan masyarakat di daerah ini. Melalui kelompok ulama inilah pengajian terus berkembang dan meluas. Dan dari kelompok inilah timbul gagasan pelaksanaan sistem irigasi persawahan, pentrapan hukum agama melalui pemerintahan sehingga ditetapkannya jabatan Mufti dan Qadhi untuk penyelenggaraan pengadilan kerajaan serta ditekankannya penyeleggaraan ibadah agama seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kerajaan.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan kolonialnya, golongan ulama menyadari adanya tantangan yang dapat berakibat negatif. Maka untuk menjaga agar tidak terdapat jurang dalam masyarakat, sehubungan dengan struktur masyarakat Banjar dan munculnya kelompok Hindia Belanda yang dapat bertambah kuat dengan ditrapkannya pendidikan kolonial di daerah ini, maka golongan ulama berusaha mengangkat rakyat dengan membangun madrasah-madrasah sebagai lanjutan dari pengajian yang sebelumnya telah berkembang di daeah ini.

Pengasuh charisma golongan ulama di daerah ini ternyata dapat merebut hati masyarakat untuk memihak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berupa madrasah-masdarah yang tersebar di seluruh daerah Kalimantan Selatan ini. Sementara ada di antara segelintir masyarakat yang berkesempatan memasuki sekolah-sekolah kolonial, tetapi sebagai anggota masyarakat yang menyadari kedudukan sebagai orang bumiputra.

Dari perkembangan tersebut di atas lahir bentuk-bentuk kegiatan yang bermotivasi agama dan nasional. Dari setiap organisasi yang dibentuk lahirlah kegiatan pendidikan swasta yang merupakan saingan terhadap pendidikan kolonial yang diselenggarakan Belanda. Secara berturut-turut terbentuklah Persatuan Perguruan Islam (PPI), Syarikat Islam (SI), Musyawaratutthalibin, PARINDRA dan Taman Siswa yang masing-masing menyelenggarakan kegiatan pengajaran di masyarakat.

Demikianlah memasuki masa kemerdekaan pengaruh dari ajaran para ulama melalui pengajian dan madrasah-madrasah ini masih terasa dan menjadi pegangan masyarakat dalam menghadapi perkembangan yang terjadi. Dan perasaan keagamaan yang tertanam kuat ini tetap harus perlu diperhatikan, khususnya untuk setiap kegiatan yang menyangkut masyarakat di Kalimantan Selatan.


DAFTAR BACAAN
Amir Hasan Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, Fajar, Banjarmasin, 1953.
A. Gazali Usman, Benteng Tabanio, Banjarmasin Post, 17 Desember 1980.
BP3K, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, Depdikbud, Jakarta, 1977.
Johansyah, Sebuah Tinjauan Singkat Mengenai Peranan Darussalam Dalam Pendidikan di Kalsel, Thesis UNLAM, Banjarmasin, 1974.
H. Ramli Nawawi, et. al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Proyek IDKD Kalsel, Banjarmasin, 1981.
H. Ramli Nawawi, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah abad ke 18 di Kalimantan Selatan, Thesis UNLAM, Banjarmasin, 1977.
Sudjoko Prasodjo cs., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al Falah & Delapan Pesantren di Bogor, LP3ES, Jakarta, 1974.
Zafry Zamzam, Riwayat Syekh M. Arsyad Al Banjari, Harian Utama, 26-28 September 1972.
Hasil wawancara dengan Bapak Syahran, Pengawas sekolah zaman Hindia Belanda.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus pak. selagi mampu teruslah berkarya, karena tidak banyak yang peduli dengan sejarah dan nilai tradisional banjar....salam hormat wajidi