SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN
17 AGUSTUS 1945 DI YOGYAKARTA
17 AGUSTUS 1945 DI YOGYAKARTA
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi
A. Pendahuluan
Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonsia berarti mengungkap kembali peristiwa yang terjadi pada sekitar tanggal 17 Agustus 1945. Dimulai dari adanya kesediaan Pemerintah Jepang memberikan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, maka pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai Dr. Radjiman Widyodiningrat. Badan ini bertujuan mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting dalam segi politik, ekonomi, dan tata negara Indonesia merdeka.
Badan tersebut kemudian diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945. Sehubungan dengan janji kemerdekaan itu pula Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman Widyodiningrat dipanggil ke Saigon oleh Jenderal Terauci menyampaikan tentang rencana kemerdekaan Indonesia yang akan dibicarakan nanti tanggal 16 Agustus 1945 di Jakarta.
Jatuhnya bom di Hirosima tanggal 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945 membua jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Hal itu membuat janji Jepang untuk kemerdekaan Indonesia tidak terlaksana. Apalagi setelah itu Sekutu meminta kepada Jepang mempertahankan “status quo” atas wilayah Indonesia sampai adanya penyerahan resmi Jepang kepda Sekutu tanggal 2 september kemudian.
Dalam situasi vacum of power itulah kemudian para pemuda mendesak para pimpinan bangsa agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Demikianlah setelah berbagai perbedaan pendapat dapat diselesaikan, maka pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilangsungkan. Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
B. Yogyakarta sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Bung Karno tersebut kemudian oleh beberapa pemuda disiarkan lewat pemancar radio Kantor Berita Domei Jakarta sehingga dapat diterima di beberapa daerah di tanah air. Di Yogyakarta berita kemerdekaan tersebut dapat diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta menjelang pukul 12.00 siang. Usaha para petugas Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta untuk menyebarluaskan berita tersebut terhalang karena adanya larangan dari Jepang.
Namun secara diam-diam berita kemerdekaan tersebut tersebar juga dari mulut ke mulut, terutama di kalangan para pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat. Karena pada hari itu kebetulan hari Jum’at, saat umat Islam melaksanakan shalat Jum’at berjamaah di masjid-masjid, maka dalam kesempatan itu oleh beberapa pemuka agama berita kemerdekaan tersebut sempat pula disampaikan melalui khotbah antara lain di Masjid Besar (Alun-Alun Utara) dan Masjid Pakualaman.
Demikian pula pada sore harinya Ki Hadjar Dewantara dengan mengendarai sepeda memimpin sejumlah murid Taman Siswa mengadakan pawai dengan membawa bendera Merah Putih melalui jalan-jalan besar dalam kota Yogyakarta untuk menyampaikan berita Proklamasi Kemerdekaan kepada masyarakat.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan ini masyarakat Yogyakarta masih dalam keadaan bingung. Baru setelah surat kabar Harian Sinar Matahari Yogyakarta yang terbit tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita Proklamasi Kemerdekan bersama Undang-Undang Dasar yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, masyarakat Yogyakarta mengetahui hal yang terjadi sebenarnya..
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang menjadi panutan masyarakat Yogyakarta juga pada tanggal 19 Agustus 1945 pukul 10.00 mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Bahkan kemudian pada surat kabar harian Sinar Matahari yang terbit tanggal 20 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan sambutan atas proklamasi kemerdekaan, yang intinya menghimbau seluruh bangsa Indonesia untuk berkorban demi kepentingan bersama, yakni menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.
Selanjutnya sebagai luapan kegembiraan rakyat menyambut proklamasi kemerdekaan adalah berkibarnya bendera Merah Putih di mana-mana. Di muka setiap rumah Indonesia, bahkan banyak di dada putra Indonesia tersemat lambang Merah Putih. Apalagi pada tanggal 31 Agustus 1945 keluar Maklumat Pemerintah yang isinya antara lain memuat perintah agar mulai tanggal 1 September 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh persada nusantara, dan agar setiiap bangsa Indonesia apabila bertemu di mana saja hendaknya mengucapkan salam nasional “Merdeka”.
Dalam rangka gerakan pengibaran bendera Merah Putih tersebut, para pemuda di Yogyakarta dengan semangat yang menyala berusaha mengibarkan bendera Merah Putih di rumah-rumah, di pabrik-pabrik, di gedung-gedung instansi dan sebagainya. Mereka tak ada perasaan takut dan gentar terhadap tentara Jepang yang masih mempunyai persenjataan lengkap.
Di samping itu terjadi juga pemasangan lencana Merah Putih oleh para pemuda kepada setiap anggota masyarakat yang lewat di jalan. Dalam pelaksanaannya mereka melakukan pencegatan di jalan-jalan kepada setiap orang yang lewat, baik laki-laki maupun perempuan, tua, muda atau anak-anak, rakyat kota atau desa, pelajar, pegawai maupun bakul (pedagang) semuanya dipasang di dadanya atau di kopiah mereka lencana Merah Putih.
Sebagai puncak kegiatan pengibaran bendera Merah Putih ini yaitu peristiwa penaikan bendera Merah Putih di gedung Cokan Kantai (Gedung Agung) yang terletak di pusat Kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945. Hari itu sekelompok pemuda berusaha menurunkan bendera Jepang Hinomaru di gedung tersebut untuk digantikan dengan bendera Merah Putih. Semula akan dilakukan secara diam-diam oleh sekelompok pemuda, tetapi segerombolan tentara Jepang datang mencegah dan membubarkan mereka.
Namun kemudian sekitar puikul 12.00 siang masa rakyat datang ke gedung Cokan Kantai dengan persenjataan bambu runcing, golok, tombak, pentung dan sebagainya. Mereka datang berlari-lari dan berdesak-desakan menuju gedung Cokan Kantai. Mereka terdiri dari ribuan para pemuda, pelajar, pegawai kantor, kaum buruh, pedagang, laki-laki maupun perempuan, dengan pekikan “siap dan merdeka” secara bersahut-sahutan, sehingga membuat suasana menjadi panas dan hangat.
Tujuan mereka hanya satu menurunkan bendera Hinomaru yang masih berkibar. Tanpa menghiraukan penjagaan ketat dari serdadu-serdadu Jepang yang bersenjata lengkap, mereka menerobos penjaga-penjaga Jepang dan dengan tidak menghiraukan bahaya maut, empat pemuda dan satu pemudi berhasil naik ke atas atap gedung. Kelima orang itu bernama Slamet, Siti Aisyah, Sutan Ilyas, Supardi, dan Rusli kemudian menurunkan bendera Hinomaru dan mengibarkan bendera Merah Putih. Setelah bendera Merah Putih berkibar kemudian diikuti dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya.
Peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di gedung Cokan Kantai tanggal 21 September 1945 kemudian diikuti gerakan pengambilalihan kekuasaan di kantor-kantor Pemerintah Jepang. Melihat situasi gencarnya gerakan massa rakyat, tanggal 23 September 1945 pihak Jepang melakukan penyitaan terhadap senjata satuan Polisi Istimewa di Gayam untuk disimpan di gudang markas mereka.
Mengetahui hal itu Komisaris Polisi Soedarsono melakukan pendekatan untuk meminta kembali senjata-senjata yang digudangkan Jepang tersebut. Tetapi karena usaha itu gagal, maka malam harinya tanggal 23 September 1945 pukul 21.00, bergeraklah massa rakyat, para pemuda dan satuan Polisi Istimewa mengepung markas Jepang tersebut dan akhirnya berhasil merebut kembali senjata yang disita tersebut yang kemudian dibagi-bagi kepada rakyat untuk modal perjuangan selanjutnya.
Keberhasilan rakyat mengambil kembali senjata-senjata yang disita dan digudangkan Jepang kemudian berada di tangan para pemuda, membuat gerakan pengambilalihan kekuasaan semakin gencar. Tanggal 26 September 1945 pukul 10.00 pagi secara serentak terjadi pengambil over kekuasaan oleh segenap pegawai kantor-kantor, baik kantor negeri maupun partikelir, perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang berada di bawah kekuasaan bangsa asing di seluruh Yogyakarta.
Insiden dan bentrokan memang terjadi, namun akhirnya sampai pada pukul 22.00 semua pimpinan kantor, perusahaan, dan pabrik sudah berada ditangan bangsa Indonesia. Sebagai langkah lanjut, ditetapkan untuk penjagaan keamanan dan ketertiban berada di bawah satu pimpinan yang diserahkan kepada Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang berkantor di Kepatihan di bawah pimpinan Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX.
Peristiwa selanjutnya adalah usaha para pemuda untuk merebut senjata Jepang yang ada di markas tentara Jepang dan juga merupakan tempat gudang senjata yang berada di Masai Butai Kotabaru. Usaha itu berlangsung pada tangal 6 Oktober 1945 dimulai dengan dilakukannya permintaan dengan melakukan perundingan dengan pihak tentara Jepang. Selaku Ketua KNID Mohammad Saleh bersama dengan beberapa tokoh rakyat lainnya menemui Mayor Utzuka yang juga didampingi pimpinan Jepang lainnya. Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 19.00 hingga pukul 03.00 pagi itu RP Soedarsono meminta agar Butaicu Mayor Utzuka menyerahkan senjata Jepang kepada pihak Indonesia.
Namun bersamaan dengan perundingan berlangsung, ribuan rakyat dan pemuda yang digerakkan oleh KNID, BPU, BKR dan Polisi Istimewa bergerak mengepung Butai Kotabaru. Para pemuda dan massa rakyat tersebut bersenjata apa saja yang mereka miliki, seperti tombak, golok, pedang, bambu runcing dan lain-lainnya. Yang membawa senjata api hanyalah para Polisi Istimewa yang dipimpin Oni Sastroatmodjo sebayak 30 pucuk karabyn, sepucuk mitraliyur, 5 pucuk leuwis machine gun dan 2 pucuk kakikanju. Sedangkan dari TKR yang dipimpin Mayor Soeharto dengan kekuatan senjata 14 pucuk karabeyn, satu pucuk kekikanyu, 7 pucuk pistol revolver dan beberapa geranat tangan dan pedang.
Kelompok rakyat bersenjata ini setelah menerima berita bahwa perundingan dengan Jepang gagal mereka segera bergerak melakukan penyerangan. Pada sekitar 03.00 pagi dengan dimulai terdengar letusan geranat maka pertempuranpun terjadi. Ketika pertempuran sedang berkobar Botaico yang bermarkas di Pingit datang dan menyerukan agar pertempuran dihentikan, dan menyatakan pihak Jepang mau menyerahkan senjata mereka dengan syarat anak buahnya tidak diganggu oleh rakyat. Pertempuran berakhir pada sekitar pukul 10.00 pagi tanggal 7 Oktober 1945 dengan disusul dikibarkannya bendera Merah Putih di atas markas tentara Jepang Masai Kotabaru.
Dalam pertempuran Kotabaru tersebut rakyat berhasil menawan tentara Jepang sebanyak 360 orang. Mereka kemudian diserahkan kepada Polisi Istimewa untuk dimasukkan kedalam penjara Wirogunan. Sedangkan senjata yang dapat diperoleh sebanyak 360 pucuk karabijn termasuk mitraliur, geranat tangan, kakikanju, leuwis dan pistol revolver.
Dalam pertempuran Kotabaru tersebut telah gugur sebagai pahlawan sebanyak 19 orang. Mereka yang dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan-pahlawan pertama di Kota Yogyakarta itu adalah Abu Bakar Ali, Soeroto, Ahmad Djazuli, Faridan M. Noto, I Dewa Nyoman, Muh. Hardani, A. Djohar Noerhadi, Soepardi, Soedjiono, Atmo Soekarto, Oemoem Kalipan, Sabirin, Djasman, Soenardjo, Soeparno, Djuwadi, dan Trimo.
Jenazah mereka umumnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, dan ada beberapa yang dimakamkan di belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan mereka, maka nama-nama mereka umumnya dijadikan nama jalan-jalan di kawasan Kotabaru Yogyakarta saat ini.
C. P e n u t u p
Peristiwa penyerangan Markas Tentara Jepang di Kotabaru oleh rakyat Yogyakarta untuk merebut senjata dari tangan tentara Jepang, merupakan peristiwa pertama di Yogyakarta dalam usaha rakyat menegakkan dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 945 yang berhasil ditawannya tentara Jepang maka kekuasaan telah berada di tangan rakyat Yogyakarta.
Selanjutnya tokoh-tokoh rakyat di Yogyakarta mulai membentuk lembaga-lembaga sebagaimana diinstruksikan Pemerintah Pusat. Ketika itu Yogyakarta sudah berstatus sebagai daerah istimewa. Status tersebut telah diakui oleh Pemerintah Pusat sejak 6 September 1945, hal ini berkaitan dengan adanya sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 20 Agustus 1945 yang mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945. Kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya amanat masing-masing oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan oleh Sri Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 yang berisi antara lain bahwa Kesunanan Ngayogyakarta dan Paku Alaman menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
Langkah selanjutnya adalah dilakukannya pembentukan dan pemberdayaan Komite Nasional Daerah (KNID) Yogyakarta. Kalau dulu bulan pertama sesudah proklamasi alam rangka menjaga ketertiban dan kesatuan tindakan, pemerintah di Yogyakarta dijalankan oleh KNI Daerah bersama dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, maka lembaga ini kemudian mengangkat anggotanya sebanyak 87 orang. Sebagai penasihat tercatat BPH Puruboyo, Ki Bagus Hadikusomo, dan Dr. Soekiman, sedangkan untuk ketua dijabat oleh Moh. Saleh. Badan yang berkantor di Hooko Kai Jalan KHA Dahlan ini kemudian mengatur langkah-langkah untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, di samping untuk menyalurkan dan memperjuangkan keinginan rakyat.
Namun perjuangan melawan penjajahan dan terhadap bangsa dan negara ini tidak berakhir sampai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari cengkeraman bangsa Jepang. Datangnya Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia membawa bangsa ini kemudian memasuki masa-masa perjuangan untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut. Tidak terhitung korban jiwa, raga dan harta benda rakyat Indonesia sehingga kemudian bangsa ini mendapatkan pengakuan dunia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Demikian kita kenang dan kita hargai pengorbanan mereka sebagai putra-putra bangsa yang mewariskan kemerdekaan tanah air ini kepada kita kini hingga kepada anak cucu kita kemudian. Semoga amal dan pengorbanan mereka diterima dan mendapat ganjaran yang berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa Taala. Amin.
.
Daftar Bacaan
Ch. Marsoedi, Peranan Militer Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI di DIY pada Priode 1945-1949. Makalah Ceramah dan Diskusi, MSI Cabang Yogyakarta, 1988.
Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek IDKDY, Yogyakarta, 1987.
Soedarisman Poerwokoesoemo, Dari Proklamasi Sampai Yogya Kembali, Makalah Ceramah dan Diskusi, MSI Cabang Yogyakarat, 1988.
Soetardono, dkk., Sejarah Monumen Yogya Kembali, Badan Pengelola Monumen Yogya Kembali, Yogyakarta, 2000.
Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Kementerian Penerangan, Yogyakarta, 1953.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar