(sambungan mengenal Ki Ageng Pandanaran II)
Ki Ageng PandanaranII pergi ke Jabalkat
Oleh: Ramli Nawawi
Bagaimana Ki Ageng
Pandanang II pergi ke Jabalkat dan selanjutnya belajar ilmu keislaman kepada
Sunan Kalijaga yang mengaku sebagai Syekh Malaya tersebut diuraikan dalam Babad
Demak pada pupuh Kinanti. Uraian tersebut dimulai dari kepergian Ki Ageng
Pandanarang II ke Jabalkat diikuti oleh salah seorang isterinya. Kalau Ki Ageng
Pandanarang II tidak membawa sesuatu apapun, maka isterinya dengan diam-diam
membawa tongkat yang berisi harta benda berupa emas dan bermacam-macam permata.
Harta benda isterinya tersebut kemudian dalam perjalanan dirampok para
penyamun, sehingga kedua laki isteri tersebut sama-sama sampai di Jabalkat
tanpa membawa bekal apapun.
Dalam Babad Demak,
yakni pada pupuh Kinanti tersebut banyak digambarkan peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman Ki Ageng
Pandanaran II selama dalam perjalanan dari Semarang menuju Jabalkat. Disebutkan
antara lain bahwa Ki Agung Pandanarang II telah berhasil menyadarkan salah
seorang dari penyamun yang bernama Sambang Dalan, sehingga yang bersangkutan
kemudian mengabdikan diri kepadanya.
Sambang Dalan kemudian juga menjadi murid Sunan Kalijaga dan mengabdikan
hidupnya untuk perkembangan ajaran Islam. Karena Sambang Dalan dulu pernah
dikatakan sebagai domba oleh Ki Ageng
Pandanarang ketika ia mencoba merampas tongkatnya sewaktu dalam perjalanan dari
Semarang ke Jabalkat, sehingga Sambang Dalan kemudian mendapat julukan sebagai
Syekh Domba.
Setelah 35 hari Ki
Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan berada di Jabalkat Sunan
Kaljaga datang. Dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan juga bahwa
ketika Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan sampai di
Jabalkat, di puncak gunung itu mereka menemukan bangunan kecil yang disebut
sebagai “masjid” serta sebuah padasan kosong. Di bangunan itulah mereka bertemu
dan bersujud kepada Sunan Kalijaga. Ada
dua hal yang kemudian digambarkan dalam pupuh tersebut, yakni Sunan Kalijaga
menyuruh Sambang Dalan untuk bertobat kepada Yang Maha Kuasa agar kutukan
“sebagai kambing” hilang dan bisa kembali sebagai mana biasa. Di samping itu semenjak kedatangan
Sunan Kalijaga ke puncak Jabalkat, telah didapat sumber mata air yang airnya
mengalir dari puncak Jabalkat ke kaki gunung
tersebut.
Sesuai tujuan Ki
Ageng Pandanarang datang ke Jabalkat untuk menimba ilmu kepada Sunan Kalijaga,
maka ketika bertemu dengan Sunan Kalijaga tersebut Ki Ageng Pandanarang memohon
untuk mendapatkan penjelasan tentang “hakikat manusia yang sesungguhnya”. Di
samping itu Ki Ageng Pandanarang juga ingin tahu tentang asal–tujuan-akhir
hidup manusia ini. Sehubungan dengan itu dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan pula bahwa Sunan Kalijaga kemudian mewariskan apa yang
dinamakan “ilmu hakiki” kepada
Ki Ageng Pandanarang II.
Dalam masyarakat
Jawa yang disebut ilmu hakiki adalah ajaran yang berkaitan dengan asal dan
tujuan ciptaan Tuhan yang lebih populer dengan istilah ajaran mengenai
sangkan paraning dumadi atau pamoring Kawula Gusti, artinya ajaran
mengenai perpaduan antara hamba dan tuhannya. Ilmu tersebut diberikan Sunan
Kalijaga kepda Ki Ageng Pandanarang sehubungan tugas khusus yang diberikan
untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya. Sebagai seorang
mubalig di Jawa, khususnya di daerah Tembayat, yang merupakan sebuah daerah
mistik, sudah barang tentu memerlukan bekal berupa wejangan-wejangan mengenai
ilmu tasawuf, di antaranya mengenai sangkan paraning dumadi dan pamoring
Kawula Gusti, yang pada masa itu merupakan ajaran-ajaran yang populer di
kalangan masyarakat Islam.
Kata hakiki sendiri
berasal dari kata hak yang berarti benar. Sedangkan hakiki berarti yang
sebenarnya atau sesungguhnya. Karena itulah apabila Ki Ageng Pandanarang telah
mewarisi ilmu hakiki dari Sunan Kalijaga, maka ia telah menerima segala ilmu
tentang makhluk dan tentang Tuhan serta hubungan antara keduanya. Dalam Islam
ilmu dimaksud meliputi ilmu syari’at, hakikat, dan makrifat. Ilmu syari’at
mengatur segla perbuatan manusia. Bagi orang mukmin, Al Qur’an merupakan sumber
utama dari syari’at Islam. Sedangkan ilmu hakikat, secara sederhana berati
dasar atau sebenarnya. Seseorang yang senantiasa berpegang pada ilmu ini selalu
mengembalikan segala akibat perbuatannya
atau hasil uasahanya kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Sementara dalam ilmu
makrifat seseorang bisa meningkatkan penyerahan diri kepada Tuhan sehingga
mencapai tingkat keyakinan yang kuat, yang disebut sufi.
Setelah berhasil
mewarisi ilmu dari Sunan Kalijaga dan mendapat tugas untuk mengislamkan
penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya, sebelum meninggalkan Jabalkat Sunan
Kalijaga memberikan nama kepada kepada Ki Ageng Pandanarang sebagai Sunan Bayat
atau Tembayat.
Dalam masa kegiatan menyebarkan
ajaran Islam di masyarakat Sunan Bayat juga mempunyai beberapa orang murid.
Dalam Babad Nagri Semarang disebutkan bahwa ketika menetap di Tembayat, Sunan
Bayat telah mempunyai banyak santri yang di antaranya juga mereka yang berasal
dari Semarang. Salah seorang dari santri tersebut bernama Kyai Ageng Gribig
putra Prabu Brawijaya V. Sedangkan dalam Serat Centini disebutkan pula seorang
murid Sunan Bayat yang bernama Syekh Sekar Delima. Nama tersebut adalah julukan
yang diberikan Sunan Bayat, sedangkan nama aslinya adalah Raden Jaka Bluwo,
yakni juga salah seorang dari putra Prabu Brawijaya V.
Kepada
murid-muridnya tersebut Sunan Bayat memberikan pelajaran meliputi mengaji Al
Qur’an, juga mengajarkan ilmu usuludin, ilmu fikih dan tasawuf. Sedangkan untuk
mengislamkan masyarakat di daerah Tembayat dan sekitarnya Sunan Bayat lebih
dahulu menyamar sebagai penduduk biasa. Dalam Babad Demak pada pupuh
Dhandhanggula disebutkan suatu ketika Sunan Bayat pergi menyamar sebagai
seorang abdi kepada seorang penjual serabi di Desa Wedi bernama Nyahi Tesik.
Suatu hari ia ikut membantu berjualan di pasar Wedi. Ia membawa adonan dan air
dalam tempayan, tetapi sebagian dari kayu api tidak terbawa. Karena jualannya
laku, Nyahi Tesik kehabisan kayu bakar. Karena itu ia marah kepada abdinya yang
ternyata tidak banyak membawa kayu api, sehingga ia berucap apakah tanganmu
yang akan kau pakai untuk menggantikan kayu api tersebut. Abdinya ternyata siap
tangannya dijadikan kayu api, sehingga Nyahi Tesik gemetar dan besegera
menghabiskan jualannya. Peristiwa luar biasa itu menjadi perhatian orang banyak
yang ada di pasar. Setelah di rumah, Nyahi Tesik menceritakan peristiwa itu
kepada suaminya. Ki Tesik merenung, kemudian ia menyadari kalau mereka diabdi
oleh seorang wali. Sehingga Ki Tesik dan Nyahi Tesik memohon ampun kepada Sunan
Bayat. Sunan Bayat menerima dan memaafkannya dan mendoakan agar dagangannya
selalu laris, serta berpesan kepada Ki Tesik agar anak cucunya beriman kepada
Tuhan. Ketika Sunan Bayat kembali ke
Tembayat, Ki Tesik beserta isteri dan anak cucunya mengikutinya. Di Tembayat Ki
Tesik dan keluarganya diajari tata cara syari’at Islam. Setelah dianggap cukup,
Sunan Bayat menyuruh Ki Tasik dan keluarganya kembali ke Wedi dan menugaskannya
untuk mengislamkan anak cucu penduduk di Wedi dan sekitarnya.
(Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta, disusun dari berbagai
sumber).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
1 komentar:
Membaca tulisan Eyang yang ini , jadi teringat buku saya yang hilang dan sampai sekarang belum ketemu penggantinya.Judul bukunya Babad Tanah Jawi (Galuh- Mataram) karangan Dr.Soewito Santoso (1979). Barangkali Eyang Kagungan Koleksinya atau referensi dimana buku ini,saya akan meminjam untuk di Foto Copy.Trmksh.
Posting Komentar