Sahabatku,
Agama Islam ialah agama yang
mewajibkan kita kaum Muslimin di manapun juga, agar selalu hidup rukun,
memegang teguh silaturrahmi dalam suasana persaudaraan. Karena itu sejauh mana
ada perbedaan-perbedaan dalam Islam sepatutnyalah ditanggapi dengan
“husnuzh-zhan” (prasangka yang baik).
Banyak kasus perpecahan dalam
Islam karena perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis oleh para ulama.
Sehingga timbul bermacam-macam aliran dalam Islam. Semua itu sudah diprideksi
oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, sebagaimana sabdanya yang
diriwayatkan oleh beberapa perawi Hadis,
seperti : Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim: Wataparraqa ummati ‘ala salasa wa sab’ina farqah
(Dan umatku terpecah menjadi 73 golongan).
Bahkan ada Hadis lain yang
berkaitan dengan perpecahan tersebut Yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tarmizi, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, yang menerangkan bahwa dari 73
farqah tersebut: hum fin naar, illa
millati wahidah (mereka di dalam neraka, kecuali satu millah). Dan ketika
para sahabat bertanya: Millah yang mana ya Rasulullah?, Beliau menjawab: ma ana ‘alaihi wa ashabi (yang aku
berada di atasnya dan juga para sahabatku. Lalu bagaimana sikap farqah-farqah
tersebut. Semua menyatakan bahwa farqah merekalah yang dimaksudkan Nabi bersama
beliau dalam Hadis tersebut.
Sahabatku,
Pemerintah kita pernah menjadi
tuan rumah Konferensi Negara-Negara Islam (2007) dalam rangka mencari sulosi
perdamaian di Iraq
sehubungan dengan terjadinya pertentangan antara Muslim Suny dan Muslim Syiah. Pertentangan
paham golongan di Iraq
yang sudah bermuatan politik tersebut telah melahirkan perang fisik yang banyak
menimbulkan qurban jiwa. Padahal sebanyak apapun golongan paham dalam Islam,
Rasululullah s.a.w. seperti Hadis tersebut di atas, tetap menyebut semuanya
sebagai “ummatii”, kalimat yang
menjamin bahwa semuanya akan mendapatkan safaat
(perlindungan) pada hari perhitungan ketika semua manusia dibangkitkan kembali dari
kuburnya nanti. Sehingga mereka yang tergolong dalam ummati Muhammad dimaksud tidaklah seburuk nasibnya orang-orang yang
mensekutukan Allah.
Lalu siapakah orang-orang yang
akan dihukum Allah dengan siksa yang pedih, mereka adalah orang-orang yang
secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang diharamkan Allah. Misalnya
keharaman minuman khamar (minuman keras), berzina, membunuh nyawa orang yang
bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya, serta secara sengaja
meninggalkan segala yang dipardhukan oleh Allah. Semua itu adalah keharaman
yang sudah muttafaqun alaih (sudah
diketahui) oleh semua lapisan umat Islam. Mereka tahu bahwa semua itu haram,
tapi tetap melakukannya. Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan, dengan
sengaja, dengan sadar, dan tahu risikonya, maka orang-orang seperti itulah yang
akan disiksa di neraka.
Saudaraku,
Lalu bagaimana dengan hukum yang
masih menjadi perdebatan para ulama. Sebagian ulama mengatakan haram, tetapi
sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih
mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan
berbagai pemahaman.
Dalam masalah hilafiah ini, di
mana aturannya tidak jelas dan masih multi tafsir, maka Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, tidaklah menghakimi hambanya dengan semena-mena. Siapakah
seorang Mujtahid yang boleh diikuti
fatwanya. Tentunya setiap orang awam seperti kita tidak ada kewajiban untuk
melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau
belum terpenuhi pada diri kita.
Menurut ulama besar Imam An
Nawawi dan Ibnu Hajar, untuk dalil-dalil yang multi tafsir ijtihad halal
dilakukan oleh para ulama mujtahid yang
mu’tabar (diakui kapasitasnya).
Sedangkan bagi kaum awam dibolehkan mengikuti fatwa para ulama mujtahid yang
mu’tabar dimaksud. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah An Nahal Ayat 43:
Fas aluu ahlaz zikri in kuntum laa ta’
lamun, artinya: maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. Dalam hal ini Allah tidak mengatakan: “Bertanyalah kepada orang yang pasti benar
ijtihadnya”. Karena kita telah bertanya kepada mujtahid (ulama), kita telah
mengikuti firman Allah, maka kita sudah dapat pahala.
Perkara ijtihadnya seorang ulama mu’tabar salah, maka tidak ada ayat Al
Qur’an dan Hadis yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan
melahirkan dosa dan siksa. Sedangkan yang akan mendapat siksa itu adalah orang
dengan kapasitas bukan mujtahid, tapi berlagak sebagai mujtahid dan salah.
Sahabatku,
Berikut ada dua masalah hilafiah penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis di
antara banyak masalah yang berkembang di kalangan masyarakat Muslim di negeri
kita.
Pertama: penafsiaran Hadis yang diriwayatkan Bukhari yang berbunyi: “Maa aspala minal ka’baini minal izari fa fin
naar” (Sarung yang dipakai hingga bawah mata kaki, maka yang demikian di
dalam neraka). Hadis ini diberi keterangan: Keputusan yang demikian menurut
sabda Nabi tersebut karena merupakan satu tanda kesombongan.
Keterangan tersebut terkait dengan Hadis lain yang diriwayatkan Bukhari-Muslim,
yang berbunyi: ” Laa yanzurul laahu
yaumal kiyaamati ilaa man jarraa-i
zaazahu bathara (n)”, (Allah tidak akan melihat pada hari kiamat terhadap
seseorang yang menarik (menyeret) sarungnya untuk kesombongan).
Terhadap kedua Hadis yang berkaitan ini telah lama terdapat hilafiah antara
para ulama. Sebagian ulama mengharamkan
secara mutlak sarung atau celana yang ujungnya di bawah mata kaki, tanpa
memperhatikan niat dan motivasinya. Sementara sebagian ulama lainnya mengharamkannya selama niat dan motivasi riya ikut mengiringinya, tapi tidak
mengharamkannya bila tanpa disertai rasa sombong.
Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing
diikuti pendapatnya. Bagi kita orang awam seyogianyalah dapat memahami dan
bisa menghargai.
Saudaraku,
Masalah lain yang juga banyak dipertanyakan adalah tentang ayat Al Qur’an,
Surah Al Waqiah ayat: 79, yang berbunyi: “ Laa
yamassuhu illal mutahharun” (Tidaklah menyentuhnya ( Al Qur’an) kecuali
mereka yang disucikan).
Di antara ulama yang mengharuskan berwudhu sebelum menyentuh mushaf Al
Qur’an adalah Imam Abu Hanifa, Imam
Malik, dan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan para ulama dari kalangan
Mazhab Zhahiri tidak mengharuskan berwudhu untuk menyentuh mushaf Al Qur’an.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pendekatan. Kelompok yang
mengharuskan berwudhu, menafsirkan kata “al muthahharun’ (mereka yang disucikan), kata mereka dalam ayat ini yang dimaksud
adalah manusia, dan lafadz “laa yamassuhu” bernilai larangan, bukan sekedar pemberitahuan. Jadi
kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh
mashaf Al Qur’an kecuali bila telah disucikan, yakni orang tersebut sudah
berwudhu. Termasuk Al Qur’an yang dilengkapi dengan terjemahannya, karena masih
ada lafadz arabnya, menyentuhnya harus dengan bersuci.
Sementara kelompok yang tidak mewajibkan wudhu menafsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan), kata
mereka yang dimaksud dalam ayat ini adalah para malaikat, sehingga tidak ada
kewajiban bagi manusia untuk berwudhu ketika menyentuh mushaf Al-Qur’an. Selain
itu lafadz laa yamassuhu tidak
bernilai larangan melainkan bernilai pemberitahuan
bahwa tidak ada yang menyentuh Al Qur’an selain para malaikat. Maka tidak ada
larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan
berwudhu.
Perbedaan pemahaman tersebut adalah hilafiah para ulama yang masing-masing
diikuti pendapatnya. Juga seyogianyalah kita saling memahami dan menghargai adanya
perbedaan-perbedaan tersebut.
Uraian tentang lahirnya
perbedaan-perbedaan dalam kalangan kaum Muslimin diuraikan lebih jauh bisa
didapatkan dalam Era Muslim. Kita angkat hal ini dengan harapan semoga kita
menjadi kaum Muslimin yang selalu memelihara persatuan sesama Muslim. (HRN).
1 komentar:
Maaf eyang ..mo ngerusuhin nich..Saya tu kan minggu depan dapat jatah ceramah tarowih (naik tingkat nich,biasanya subuh trs...he he).Pokok bahasan yang di anjurkan "Mengharap Ampunan Allah SWT". nah klo Eyang ada sempatnya(he he he maaf eyang jadi ketularan sempatnya), boleh dong di share di blog ini biar nanti jadi panduan ceramah saya..Terima Kasih sebelumnya ya eyang.
Posting Komentar