PERIHAL KEBERADAAN NILAI BUDAYA ORANG
BANJAR
(Kalimantan Selatan)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Dalam hal
mengungkap berbagai nilai budaya yang sejak dulu berkembang di masyarakat
Banjar. Apakah aspek budaya itu masih utuh atau sudah mengalami
modefikasi, dan apakah juga nilai-nilainya tidak bergeser sebagaimana makna
yang dikandungnya.
Aspek-aspek budaya dimaksud setidak-tidaknya terdapat dalam unsur-unsur
budaya: 1.unsur kepercayaan, 2.unsur kemasyarakatan, 3.unsur ekonomi, 4.unsur
teknologi, 5.unsur pengetahuan, 6.unsur bahasa, 7.unsur seni.
Perlu pula disadari bahwa dari
kebudayaan tiap suku bangsa, termasuk kebudayaan Banjar, terdapat aspek budaya
yang telah dinyatakan sebagai Kebudayaan Nasional. Secara lengkap yang disebut Kebudayaan
Nasional adalah setiap karya orang Indonesia
dari suku bangsa manapun yang mempunyai sifat khas dan bermutu tinggi sehingga
sebagian besar orang Indonesia
lainnya mau mengidentifikasikan diri serta merasa bangga dengan hasil karya
orang tersebut.
Aspek-aspek budaya dari berbagai suku yang dapat diterima oleh umumnya
suku-suku bangsa lainnya dimaksud biasa disebut sebagai “puncak-puncak
kebudayaan daerah”. Puncak-puncak dari kebudayaan daerah inilah yang dinamakan Kebudayaan
Nasional. Sementara indikator aspek-aspek budaya yang disebut sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti: a. komunikatif, dapat diterima oleh
sebagian besar suku bangsa lainnya, b. merupakan kebanggaan nasional, c.
mengandung nilai-nilai Pancasila, d. mencerminkan kualitas, mutu, e. menuju
tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan, f. terbuka untuk pengayaan,
penyempurnaan, g. sebagai ungkapan identitas Indonesia.
Puncak-puncak budaya daerah yang diakui sebagai Kebudayaan Nasional ini
meliputi berbagai unsur budaya, antara lain: motif pakaian, bentuk bangunan,
organisasi kemasyarakatan, peralatan hidup, bahasa, seni, dll.
Dalam hal melakukan pembinaan dan pengembangan Kebudayaan Banjar, maka aspek-aspek
Budaya Banjar yang telah termasuk sebagai Budaya Nasional perlu dikenalkan dan
diwariskan kepada masyarakat dan generasi
muda Banjar, agar di kelak kemudian hari tidak justeru hidup dan berakar
di luar bumi dan masyarakat Banjar.
Perlu juga disadari bahwa setiap suku bangsa
mempunyai kebanggaan budaya masing-masing. Mungkin pula ada daerah-daearah yang
ketika masyarakatnya dihadapkan pada
pilihan-pilihan berdasarkan kepentingan apalagi masalah keyakinan, maka orang
akan terbawa pada kenyataan munculnya “in group” dan “out group” (kelompok
dalam dan kelompok luar). Bahkan dari 24 etnis yang tercatat saat ini yang
mendiami berbagai daerah di Indonesia,
juga tampaknya ada daerah-daerah yang sebagian masyarakatnya memiliki sikap
yang dinamakan “etnosentris”. Kelompok masyarakat ini mempunyai kecenderungan
untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan
kelompoknya sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan
kebiasaan-kebiasaan kelompok di luarnya. Maka ketika ada kelompok orang Banjar
berada di daerah perantauan dalam situasi dimaksud, sejauh mana keberadaan
aspek-aspek budaya Banjar, apakah luntur atau justeru menjadi semakin kukuh dan
tetap berkembang.
Berbicara perihal kelompok-kelompok
keberadaan orang Banjar yang saat ini sudah
berdiam di berbagai daerah di Indonesia, “madam ka banua orang” meninggalkan
daerah kelahiran, umumnya mempunyai latar belakang yang beragam Memang orang
madam ke benua orang sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Banjar dulu. Sementara
keperluan madam seseorang, baik sendiri bersama keluarga atau kelompok lainnya,
sebabnya bermacam-macam.
Kalau pada masa Kerajaan
Banjar orang madam umumnya semula berawal dari keperluan berdagang dan kemudian
sebagian menetap di kota
perdagangan. Ada
pula karena terdampar atau sengaja singgah di kota-kota pelabuhan sepulang dari
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam zaman penjajahan ditambah lagi dengan mencoba
mencari penghidupan yang lebih baik, atau menghindar dari tuntutan-tuntutan
kewajiban yang dibebankan penguasa setempat, dan ada juga yag bersekolah ke
daerah-daerah yang memiliki pesantren agama yang dikenal kesuhurannya, atau
alasan lainnya. Sedangkan waktu revolusi merebut kemerdekaan ada pula mereka
yang madam untuk menghindar dari kejaran dan penangkapan-penangkapan tentara
Belanda. Mereka kelompok-kelompok yang madam dalam masa-masa tersebut di atas, merupakan komunitas orang Banjar yang saat ini
terdapat di berbagai daerah di Indonesia.
Sedangkan tentang kegiatan
dan usaha komunitas warga Banjar keturunan mereka yang madam zaman Kerajaan
Banjar dan zaman penjajahan mungkin sudah beragam sebagaimana penduduk asli
setempat. Yang perlu diungkap dalam kehidupan komunitas Banjar keturunan ini
sejauhmana karakter kekhasan budaya Banjar masih terdapat dalam pola kehidupan
mereka.
Satu hal yang perlu
dicatat bahwa orang Banjar dikenal masyarakat luar sebagai orang agamis. Memang
dalam sejarah sejak Kerajaan Banjar lahir, Islam mulai berkembang di banua
Banjar. Bahkan Islam di Negeri Banjar mencapai puncak ketenaran ketika mendapat
pembinaan dan penyebarannya yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari seorang ulama Banjar setelah mendalami pengetahuan keislaman selama 32
tahun di Mekah dan Madinah. Karena itulah maka baik masyarakat zaman Kerajaan
Banjar, maupun masyarakat Banjar zaman penjajahan, serta masyarakat Banjar
zaman kemerdekaan, tetap dikenal sebagai masyarakat agamis.
Lalu bagaimana karakter
masyarakat agamis, ajaran Islam mengajarkan dan mewariskan sikap berhati-hati
(wara’) dengan apa yang menjadi hak diri pribadi dan hak orang lain. Namun
masyarakat Banjar sejak zaman Kerajaan Banjar juga dikenal sebagai masyarakat
dagang yang mewariskan kelompok kebebasan berkompetisi. Kedua karakter
masyarakat Banjar tersebut yakni wara’ dengan hak pribadi dan hak orang lain serta
bebas dalam berkompetisi, memberikan gambaran bahwa orang Banjar aslinya
berkarakter jujur. Selain itu apakah masyarakat Banjar mewarisi karakter
masyarakat feodal zaman Kerajaan Banjar, tampaknya tidak banyak mempengaruhi
perkembangan budaya masyarakat Banjar. Karakter masyarakat feodal
yang menonjolkan asal usul dan asesori diri serta memandang martabat dari
peranan dan kekuasaan, tampaknya tidak terwariskan karena memang tokoh
sentralnya (sultan atau raja) tak berlanjut sejak dihapuskannya Kerajaan Banjar
oleh Belanda sejak abad ke 19, juga tidak sejalan dengan ajaran Islam yang
dianut masyarakat, yang memandang manusia sama di hadapan Allah kecuali dari segi ibadahnya.
Di beberapa daerah atau kota-kota besar di berbagai propinsi di Indonesia
tampaknya sudah sejak lama ada wadah komunitas orang Banjar. Mereka memberi
nama organisasi dengan tidak meninggalkan label Banjar. Bagi komunitas perantau
yang telah terwadahi ini umumnya aspek-aspek Budaya Banjar masih hidup dan
terjaga, karena sering teraktualisasi dalam kesempatan- kesempatan pertemuan
yang mereka lakukan, walaupun tentu saja terbatas pada apa-apa saja yang sempat
diwariskan oleh nenek-kakek mereka.
Ada juga komunitas Banjar di perantauan yang
diikat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti kegiatan pengajian, yasinan,
dan lainnya. Bahkan ada daerah-daerah yang mempunyai masjid yang dibangun warga
Banjar sendiri, walaupun kemudian dalam pengelolaannya dilakukan bersama-sama
dengan masyarakat penduduk sekitarnya, sebagai bukti bahwa masyarakat Banjar
tidak berkarakter in-group dan out-group. Sebagai pribadi-pribadi yang berasal
dari daerah Banjar Kalimantan Selatan yang dikenal agamis dan berpengatahuan
keagamaan yang cukup, umumnya di manapun mereka bermukim akan diminta bahkan dipercaya
untuk memimpin kegiatan keagamaan.
Kita mungkin belum pernah mendengar ada
komunitas Banjar di perantauan yang keberadaannya ditolak masyarakat setempat.
Tetapi kalau kasus-kasus individu orang Banjar diperantauan mungkin suatu
kekecualian, karena kita sadari juga bahwa ada orang-orang Banjar yang
melenceng dari karakter budaya asalnya.
Perlu juga digambarkan
ketika keturunan warga Banjar di perantauan dalam pembauran telah terjadi
kawin-mawin dengan suku-suku asal daerah lain. Memang tidak dapat dimungkiri akan terjadi akulturasi budaya antara kedua
pendukung budaya. Banyak hal yang bisa terjadi bagi keturunan mereka, seperti
bahasa yang banyak dipakai dalam rumah tangga, istilah-istilah pengganti nama
yang dipakai, sejauh mana kesanggupan mengenalkan dan mewariskan budaya Banjar
bagi generasi penerusnya, dan sebagainya.
(HRN: Harap naskah ini tidak diposting kr blog
lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar