Kamis, 20 Maret 2014

PERIHAL KEBERADAAN NILAI BUDAYA ORANG BANJAR (Kalimantan Selatan)



 PERIHAL KEBERADAAN NILAI BUDAYA ORANG BANJAR
(Kalimantan Selatan)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

 Dalam hal mengungkap berbagai nilai budaya yang sejak dulu berkembang di masyarakat Banjar. Apakah aspek budaya itu masih utuh atau sudah mengalami modefikasi, dan apakah juga nilai-nilainya tidak bergeser sebagaimana makna yang dikandungnya.
Aspek-aspek budaya dimaksud setidak-tidaknya terdapat dalam unsur-unsur budaya: 1.unsur kepercayaan, 2.unsur kemasyarakatan, 3.unsur ekonomi, 4.unsur teknologi, 5.unsur pengetahuan, 6.unsur bahasa, 7.unsur seni.
 Perlu pula disadari bahwa dari kebudayaan tiap suku bangsa, termasuk kebudayaan Banjar, terdapat aspek budaya yang telah dinyatakan sebagai Kebudayaan Nasional.  Secara lengkap yang disebut Kebudayaan Nasional adalah setiap karya orang Indonesia dari suku bangsa manapun yang mempunyai sifat khas dan bermutu tinggi sehingga sebagian besar orang Indonesia lainnya mau mengidentifikasikan diri serta merasa bangga dengan hasil karya orang tersebut.
Aspek-aspek budaya dari berbagai suku yang dapat diterima oleh umumnya suku-suku bangsa lainnya dimaksud biasa disebut sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Puncak-puncak dari kebudayaan daerah inilah yang dinamakan Kebudayaan Nasional. Sementara indikator aspek-aspek budaya yang disebut sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti: a. komunikatif, dapat diterima oleh sebagian besar suku bangsa lainnya, b. merupakan kebanggaan nasional, c. mengandung nilai-nilai Pancasila, d. mencerminkan kualitas, mutu, e. menuju tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan, f. terbuka untuk pengayaan, penyempurnaan, g. sebagai ungkapan identitas Indonesia.
Puncak-puncak budaya daerah yang diakui sebagai Kebudayaan Nasional ini meliputi berbagai unsur budaya, antara lain: motif pakaian, bentuk bangunan, organisasi kemasyarakatan, peralatan hidup, bahasa, seni, dll.
Dalam hal melakukan pembinaan dan pengembangan Kebudayaan Banjar, maka aspek-aspek Budaya Banjar yang telah termasuk sebagai Budaya Nasional perlu dikenalkan dan diwariskan kepada masyarakat dan generasi  muda Banjar, agar di kelak kemudian hari tidak justeru hidup dan berakar di luar bumi dan masyarakat Banjar.      
            Perlu juga disadari bahwa setiap suku bangsa mempunyai kebanggaan budaya masing-masing. Mungkin pula ada daerah-daearah yang ketika masyarakatnya  dihadapkan pada pilihan-pilihan berdasarkan kepentingan apalagi masalah keyakinan, maka orang akan terbawa pada kenyataan munculnya “in group” dan “out group” (kelompok dalam dan kelompok luar). Bahkan dari 24 etnis yang tercatat saat ini yang mendiami berbagai daerah di Indonesia, juga tampaknya ada daerah-daerah yang sebagian masyarakatnya memiliki sikap yang dinamakan “etnosentris”. Kelompok masyarakat ini mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan kelompok di luarnya. Maka ketika ada kelompok orang Banjar berada di daerah perantauan dalam situasi dimaksud, sejauh mana keberadaan aspek-aspek budaya Banjar, apakah luntur atau justeru menjadi semakin kukuh dan tetap berkembang.
       Berbicara perihal kelompok-kelompok keberadaan orang Banjar yang saat ini sudah  berdiam di berbagai daerah di Indonesia, “madam ka banua orang” meninggalkan daerah kelahiran, umumnya mempunyai latar belakang yang beragam Memang orang madam ke benua orang sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Banjar dulu. Sementara keperluan madam seseorang, baik sendiri bersama keluarga atau kelompok lainnya, sebabnya bermacam-macam.
        Kalau pada masa Kerajaan Banjar orang madam umumnya semula berawal dari keperluan berdagang dan kemudian sebagian menetap di kota perdagangan. Ada pula karena terdampar atau sengaja singgah di kota-kota pelabuhan sepulang dari menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam zaman penjajahan ditambah lagi dengan mencoba mencari penghidupan yang lebih baik, atau menghindar dari tuntutan-tuntutan kewajiban yang dibebankan penguasa setempat, dan ada juga yag bersekolah ke daerah-daerah yang memiliki pesantren agama yang dikenal kesuhurannya, atau alasan lainnya. Sedangkan waktu revolusi merebut kemerdekaan ada pula mereka yang madam untuk menghindar dari kejaran dan penangkapan-penangkapan tentara Belanda. Mereka kelompok-kelompok yang madam dalam masa-masa tersebut di atas,  merupakan komunitas orang Banjar yang saat ini terdapat di berbagai daerah di Indonesia.
         Sedangkan tentang kegiatan dan usaha komunitas warga Banjar keturunan mereka yang madam zaman Kerajaan Banjar dan zaman penjajahan mungkin sudah beragam sebagaimana penduduk asli setempat. Yang perlu diungkap dalam kehidupan komunitas Banjar keturunan ini sejauhmana karakter kekhasan budaya Banjar masih terdapat dalam pola kehidupan mereka.
         Satu hal yang perlu dicatat bahwa orang Banjar dikenal masyarakat luar sebagai orang agamis. Memang dalam sejarah sejak Kerajaan Banjar lahir, Islam mulai berkembang di banua Banjar. Bahkan Islam di Negeri Banjar mencapai puncak ketenaran ketika mendapat pembinaan dan penyebarannya yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari seorang ulama Banjar setelah mendalami pengetahuan keislaman selama 32 tahun di Mekah dan Madinah. Karena itulah maka baik masyarakat zaman Kerajaan Banjar, maupun masyarakat Banjar zaman penjajahan, serta masyarakat Banjar zaman kemerdekaan, tetap dikenal sebagai masyarakat agamis.
          Lalu bagaimana karakter masyarakat agamis, ajaran Islam mengajarkan dan mewariskan sikap berhati-hati (wara’) dengan apa yang menjadi hak diri pribadi dan hak orang lain. Namun masyarakat Banjar sejak zaman Kerajaan Banjar juga dikenal sebagai masyarakat dagang yang mewariskan kelompok kebebasan berkompetisi. Kedua karakter masyarakat Banjar tersebut yakni wara’ dengan hak pribadi dan hak orang lain serta bebas dalam berkompetisi, memberikan gambaran bahwa orang Banjar aslinya berkarakter jujur. Selain itu apakah masyarakat Banjar mewarisi karakter masyarakat feodal zaman Kerajaan Banjar, tampaknya tidak banyak mempengaruhi perkembangan budaya   masyarakat Banjar. Karakter masyarakat feodal yang menonjolkan asal usul dan asesori diri serta memandang martabat dari peranan dan kekuasaan, tampaknya tidak terwariskan karena memang tokoh sentralnya (sultan atau raja) tak berlanjut sejak dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda sejak abad ke 19, juga tidak sejalan dengan ajaran Islam yang dianut masyarakat, yang memandang manusia sama di hadapan Allah kecuali dari segi ibadahnya.
Di beberapa daerah atau kota-kota besar di berbagai propinsi di Indonesia tampaknya sudah sejak lama ada wadah komunitas orang Banjar. Mereka memberi nama organisasi dengan tidak meninggalkan label Banjar. Bagi komunitas perantau yang telah terwadahi ini umumnya aspek-aspek Budaya Banjar masih hidup dan terjaga, karena sering teraktualisasi dalam kesempatan- kesempatan pertemuan yang mereka lakukan, walaupun tentu saja terbatas pada apa-apa saja yang sempat diwariskan oleh nenek-kakek mereka.
        Ada juga komunitas Banjar di perantauan yang diikat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti kegiatan pengajian, yasinan, dan lainnya. Bahkan ada daerah-daerah yang mempunyai masjid yang dibangun warga Banjar sendiri, walaupun kemudian dalam pengelolaannya dilakukan bersama-sama dengan masyarakat penduduk sekitarnya, sebagai bukti bahwa masyarakat Banjar tidak berkarakter in-group dan out-group. Sebagai pribadi-pribadi yang berasal dari daerah Banjar Kalimantan Selatan yang dikenal agamis dan berpengatahuan keagamaan yang cukup, umumnya di manapun mereka bermukim akan diminta bahkan dipercaya untuk memimpin kegiatan keagamaan.
                 Kita mungkin belum pernah mendengar ada komunitas Banjar di perantauan yang keberadaannya ditolak masyarakat setempat. Tetapi kalau kasus-kasus individu orang Banjar diperantauan mungkin suatu kekecualian, karena kita sadari juga bahwa ada orang-orang Banjar yang melenceng dari karakter budaya asalnya.
          Perlu juga digambarkan ketika keturunan warga Banjar di perantauan dalam pembauran telah terjadi kawin-mawin dengan suku-suku asal daerah lain. Memang tidak dapat dimungkiri akan terjadi akulturasi budaya antara kedua pendukung budaya. Banyak hal yang bisa terjadi bagi keturunan mereka, seperti bahasa yang banyak dipakai dalam rumah tangga, istilah-istilah pengganti nama yang dipakai, sejauh mana kesanggupan mengenalkan dan mewariskan budaya Banjar bagi generasi penerusnya, dan sebagainya.

(HRN: Harap naskah ini tidak diposting kr blog lain).           


Tidak ada komentar: