Selasa, 25 Maret 2014

TAKDIR CINTA



(Ceritera ini fiksi, kalau ada kesamaan nama, tempat dan lainnya dibuat hanya kebetulan, entri ini sambungan  dari entri posting  tgl. 23 Januari 2014),  oleh: Ramli Nawawi.

17. LIKA-LIKU KESEPAKATAN CINTA (1)
Seperti biasa sekitar pukul satu siang Ana dengan kendaraannya tiba di rumah setelah selesai mengajar di sekolahnya. Ketika ia memasuki pekarangan rumahnya, Ana melihat ada mobil di rumah sebelah milik pamannya yang biasanya kosong, karena pemiliknya lebih banyak tinggal di Banjarmasin.
Setelah masuk rumah dan berganti pakaian di kamarnya, Ana menemui ibunya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.
”Sudah siap Na, makan yu...”, sapa ibunya mengajak Ana makan bersama.
”Sebentar ma, tadi di sekolah belum sempat shalat”, jawab Ana sambil terus ke tempat mengambil wudhu dekat kamar mandi.
”O ya, selesaikan shalat dulu, mama tunggu”, bilang ibunya.
”Ya ma”, jawab Ana singkat.

Selesai mengambil wudhu Ana langsung masuk kamarnya dan melaksanakan shalat Zuhur. Setelah selesai berdoa dan mengganti pakaian shalatnya, ia keluar kamar menemui ibunya yang sudah duduk di kursi meja makannya.
”Masak apa ma”, sapa Ana kepada ibunya sambil duduk di kursi makan berhadapan dengan ibunya.
”Lihat dan terka sendiri nih”, sahut ibunya sambil menyenduk nasi ke piring di depannya.
”Wah masak sayur asam ya ma, enak nih”, cetus Ana sambil mencermati sayur masakan ibunya.
”Sudah, makan yang banyak Na supaya kamu tidak kelihatan kurus”, bilang ibunya.
”Ya ma”, jawab Ana sambil menyenduk nasi ke piringnya. Ana terkesan dengan ucapan ibunya, apa memang  saat ini ia tampak kurus. padahal ia makan tetap seperti pursi biasa. Apa iya aku tampak kurus, nanti akan kutanyakan kepada Ali bila ia datang menemuiku, kata hatinya.

”Oo ya Na, apa sudah kau lihat ada mobil di samping rumah pamanmu tu”, tanya ibu Ana membuka percakapan, sambil melihat Ana yang diam dan juga belum menyuap nasi di piringnya.
”Ya ma, tadi lihat ada”, jawab Ana sepontan, besamaan dengan sadarnya dari lamunan hatinya tadi, ”paman datang sendiri ma”, sambung Ana.
”Sendiri, tadi langsung datang menemui mama”, jawab ibunya.
”Bagaimana ma”, tanya Ana, ia ingin tahu apa sudah bicara soal hubungan dengan masalah kedatangan utusan orang tua Ali.
”Ya habis bicara menanya tentang rumah pamanmu yang lama ditinggalkan sebelah itu, dan mama bilang selalu diawasi dan dijagakan, akhirnya pamanmu tanya juga soal hubungan kamu dengan Ali itu”, jelas ibunya.
”Apa bilang paman ma”, desak Ana.
”Pamanmu tanya siapa teman dekat kamu itu, bagaimana orang tuanya, dan sebagainyalah”, jawab ibunya.
”Lalu?”, desak Ana lagi ingin tahu benar.
”Mama ya ceritera seperti yang mama tahu dari kamu dan yang mama lihat langsung bagaimana kedekatan kamu dengan Ali lah”, sahut mama.nya Ana.
”Paman juga tanya tentang Ali ya ma”, tanya Ana serius, takut pamannya salah penilaian tentang Ali.
”Ya mama juga bilang, Ali itu teman sekolah Ana, tapi saat ini ia meneruskan sekolahnya tiga tahun lagi, Ana sudah akrab dengan dia dan sering menamu ke rumah ini, Ana juga sudah pernah menamu ke rumah orang tua Ali, lalu dua minggu yang lalu ada utusan orang tua Ali ingin membuat ikatan resmi antara Ali dengan kamu, begitulah”, jelas ibunya.
”Bagaimana riaksi paman ma”, ujar Ana.
“Pamanmu bilang ya kalau Ana sanggup menunggu dan yakin pertunangan nanti itu bisa saling menjaga kelangsungannya, kita restui sajalah, bilang pamanmu”, ujar ibunya.

Ana tidak menanyakan apa-apa lagi kepada ibunya, hanya ia merasakan matanya basah dan tanpa terucapkan hatinya ia bersyukur kepada Allah yang telah memberi jalan lurus terhadap perjalanan cintanya bersama Ali.
“Ada pesan paman apa ma selanjutnya”, tanya Ana.
“Beliau bilang esok juga harus pulang ke Banjarmasin, dan kalau sudah ditentukan hari bakal ada pertemuan utusan orang tua Ali untuk keluarga kita bisa diberi kabar saja, itu saja tadi permntaan pamanmu”, ujar ibunya.
“Maksudnya apa ya ma?”, bilang Ana.
”Mungkin nih, bibimu atau Arta anaknya mau ikut hadir dalam pertemuan nanti”, sungka ibunya.

Ana diam lagi, ia berpikir semoga keikutsertaan mereka nanti juga tidak menjadi duri perintang dalam pertemuan nanti, mengingat memang ada gelagat dari di antara bibinya, saudara mamanya yang tidak menyukai hubungan dia dengan Ali
”Sudah Na, sudah selesai kan makannya”, ujar ibunya melihat Ana tampak masih diam.
”O ya ma”, sahut Ana sedikit terkejut, ”Sudah ma, Ana aja yang memberesin semuanya, mama biar istirahat saja”, ujar Ana.
”Oh gitu, giliranmu yang kerja Na”, bilang ibunya sambil bangkit dari duduk dan menuju kursi tempat istirahat di teras pavilliun samping rumah..
”Beres aja ma”, sahut Ana bersemangat.                  

Sambil bekerja memberesi piring-piring dan gelas yang habis dipakai selesai makan dan mencucinya, hati Ana terus berpikir bagaimana kelanjutan jalan pertemuan antara utusan keluarga Ali dengan keluarganya nantinya. ”Semoga cepat berlanjut dan berjalan mulus lah”, gumamnya.
Ana juga tidak akan mendesak ibunya, bahkan ia juga berjanji dalam hatinya tidak akan menanyakan kapan dan bagaimana ibunya menghubungi pihak keluarga Ali dan menetapkan kapan pertemuan akan berlangsung.
Selesai menyimpan lauk pauk dan nasi yang masih ada di meja makan ke lemari makan, Ana berjalan menuju teras pavilliun di mana ibunya masih beristirahat.
”Tidur aja yu ma”, ajak Ana yang melihat ibunya masih duduk santai.
”Sebentar lagi Na, masih terasa panas nih”, jawab ibunya.
“Ana duluan ya ma”, bilang Ana sambil berjalan menuju kamarnya dan kemudian merebahkan badannya.
”Aku tidak akan kirim surat dulu kepada Ali tentang perkembangan yang sudah terjadi, biar nanti kalau sudah beres semua baru aku ceritera dan mudahan nanti dia datang menamu sehingga aku bisa ceritera langsung”, gumam Ana.
Secara tak sengaja Ana teringat masa-masa perkenalannya dengan Ali, kadang ia tersenyum bila terbayang hal-hal lucu yang mereka alami, juga merasa bersyukur bisa mengatasi peristiwa-peristiwa kesalahpahaman yang juga pernah terjadi di antara mereka berdua. Kenangan lama dan panjang ini kemudian membuat ia terlelap tidur di sore hari itu.       

Berbeda dengan ibunya yang masih duduk di kursi di teras pavilliun rumahnya. Tadinya ibunya pada saat berpikir dalam menghadapi rencana pertunangan Ana ini, sempat teringat almarhum bapaknya Ana yang meninggal ketika Ana baru berumur empat tahun. Seandainya bapaknya Ana masih ada, tentu ibunya tidak berpikir sendirian dalam menghadapi persoalan Ana  anak mereka.
Tapi ibunya yang sudah biasa menghadapi sendiri berbagai masalah dalam membesarkan dan membimbing anak-anaknya kemudian bisa saja menetapkan langkah yang akan dilakukan. Agar persoalan Ana ini sebaiknya hanya menjadi persoalan dalam keluarga, maka ibunnya Ana cukup menugaskan saudara perempuan Ana untuk mengundang keluarga orang tua Ali yang ada di Jalan Merdeka untuk merundingkan kapan pertemuan antara wakil kedua keluarga Ana dan Ali bisa dilangsungkan.
”Sudah itu saja dulu”, gumamnya. Ibunya Ana juga kemudian bangkit menuju kamarnya. Sebelum masuk kamar dia melihat pintu kamar Ana sudah tertutup rapat. ”Aku coba tidur juga”, bilang ibunya Ana sambil merebahkan badannya.    

Pada sore itu paman Ana tampak sibuk menamu ke rumah-rumah bibi Ana yang tinggal di kota Kandangan. Paman Ana yang bernama H. Hanafi tersebut seorang pengusaha yang tinggal di Banjarmasin. Dia paman Ana yang tertua, kemudian ada tiga saudara perempuan ibunya Ana. Sedangkan ibunya Ana adalah yang paling bungsu di antara lima bersaudara.

Sore hari menjelang Magrib tampak ada mobil masuk ke pekarangan rumah pamannya. Kebetulan Ana yang sudah rapi setelah tidur sore itu sedang berada di pekarangan rumahnya.
Setelah pamannya memarkir mobilnya dan turun dari mobil langsung berjalan menemui Ana. Melihat pamannya berjalan menuju ke arahnya, Ana sepontan juga berjalan ke arah pamannya.
”Assalamualaikum, paman”, Ana lebih dahulu menyapa paman nya dan mencium tangan pamannya.
”Wa alaikum salam Na, apa kabar nih”, sahut pamannya.
“Alhamdulillah, baik paman”, sahut Ana pendek.
”Sudah kerja kan, bagaimana”, tanya pamannya lagi.
”Sudah paman, tapi masih belajar lah jadi guru”, sahut Ana.
”Mengapa tadinya tidak langsung melanjutkan sekolahnya lagi”, tanya pamannya lagi.
”Insya Allah nanti mengikuti pendidikan jalur kursus saja paman, juga sama tiga tahun juga”, jelas Ana.
”Ujar ada kawan kamu yang sering menamu, kini langsung melanjutkan sekolahnya”, sungka pamannya. 
Ana tersipu malu, ia hanya senyum.
”Sudah yakin ya Na pilihannya, dan memang sudah yakin bisa melalui waktu tiga tahun, mungkin ada cobaan-cobaan dalam waktu cukup lama itu”, tanya paman Ana sambil senyum.
”Insya Allah paman”, jawab Ana pendek.
”Sudah yu masuk rumah, sudah hampr Magrib nih”, bilang paman Ana mengakhiri percakapan mereka.
”Baik paman”, jawab Ana sambil mereka sama-sama berjalan menuju pintu rumah masing-masing.

Pada malamnya sehabis menjalankan shalat Isya, Ana minta ijin ibunya untuk tidur lebih duluan. Disamping merasa bahagia dengan mendapat restu dari pamannya, hatinya juga masih bertanya-tanya tentang lika-liku yang mungkin terjadi sebelum sampai kepada kesepakatan antara pihak keluarganya dengan keluarga Ali.
”Ya Allah, berikanlah jalan kemulusan dalam menuju pertunangan aku dengan Ali”, bisik hatinya berulang-ulang, hingga membawanya tertidur.

Sudah terbiasa seperti sewaktu tinggal di asrama dulu, Ana selalu bangun lebih pagi dari teman-temannya. Ia selalu menyempatkan sesegeranya menjalankan shalat Subuh setelah mendengar azan yang dikumandangkan di salah satu surau dekat asramanya dulu. Demikian juga saat Ana sudah tinggal bersama ibunya, juga kebetulan rumah Ana tidak jauh dari Masjid Jami yang ada di kotanya, sehingga setiap azan berkumandang di masjid tersebut selalu terdengar sampai ke rumahnya.

Sudah juga terbiasa bangun lebih pagi bagi Ana sehingga ia tidak pernah terlambat tiba di sekolah tempatnya mengajar. Tapi hari itu ada sesuatu yang tak pernah diduganya. Pada saat anak-anak istirahat belajar, Ana lagi berada di ruang guru bersama-sama dengan guru-guru lainnya, Kepala Sekolah memanggilnya untuk menghadapnya. Kepala Sekolah memberi tahu kalau beliau telah menerima SK kepindahan ke sekolah yang berada di kota. Karena sekolah yang bakal dipimpinnya itu masih kurang jumlah gurunya, beliau menawarkan kepada Ana apakah Ana mau ikut pindah ke sekolah yang baru itu bersama dia. Karena letak sekolah yang ditawarkan tersebut lebih dekat dengan tempat tinggalnya, Ana spontan saja menerima tawaran tersebut. Sehingga jelas Kepala Sekolah awal bulan nanti Ana sudah bertugas di sekolah yang baru tersebut.
Tawaran kepindahan tempat bekerjanya yang saat itu berada di desa  untuk pindah ke sekolah di kota yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya tersebut, saat makan malam disampaikannya kepada ibunya.
”Teman-teman guru kamu tidak ada yang iri ya Na”, reaksi ibunya.
”Teman-teman guru Ana kayanya sudah tahu ma, karena waktu Ana kembali ke ruang guru, beberapa mereka langsung bilang ”diterima tawarannya ya Na”, kata mereka. Jadi kayanya Kepala Sekolah sudah lebih dahulu berbicara kepada mereka”, jelas Ana.
”Mungkin ada pertimbbangan-pertimbangan mengapa kamu yang diajak pindah”, tukas ibunya.
”Yang Ana tahu ma di sekolah itu selain Ana hanya ada satu guru perempuannya, dan dia rumahnya dekat sekolah tersebut, sedangkan yang lainnya semua laki-laki”, sambung Ana.
”O kalau begitu pertimbangannya mungkin untuk keselamatan dan keamanan kamu di jalan  pulang-pergi yang jaraknya cukup jauh”, bilang ibunya.
”Memang kayanya begitu ma, dan tawaran itu sudah lebih dahulu dibicarakan bapak dengan teman-teman guru laki-laki, yang diantara mereka juga rumahnya ada yang lebih jauh daripada Ana”, ujar Ana.

”Sudahlah Na, semoga nanti berjalan mulus aja. Juga Na, mama  tadi menyuruh Ruhma kakakmu, pergi ke rumah  keluarga Ali yang tinggal di Jln. Merdeka memberi tahu kapan bisa bertemu dengan mama. Kenyataannya begitu Ruhma bertemu dengan keluarga Ali di rumah mereka,  sepupunya Ali langsung bersama Ruhma datang menemui mama. Sudah ada kesepakatan waktu pertemuan pihak keluarga Ali akan datang nanti di minggu pertama bulan depan ini. Tentang harinya masih akan dibicarakan dulu di keluarga Ali, sesudah itu kepastian harinya baru nanti akan dibicarakan lagi bersama mama. Kan pesan pamanmu kemaren bibimu atau Arta sepupumu yang di Banjarmasin mungkin ingin ikut dalam pertemuan itu nanti”, jelas mamanya Ana.
”Oh jadi mama tadi sudah lakukan semua itu”, tukas Ana.
”Ya mama juga tidak ingin nanti dikira oleh keluarga Ali seperti sengaja membuat masalah ini dibiarkan begitu saja”, bilang ibu Ana.
”Ya ma, semoga semuanya lancar ya ma”, kata Ana, yang merasa bangga akan dukungan ibunya untuk segera selesainya masalah ini.
”Sudah Na, kita beresi you ini”, bilang ibunya sambil menunjuk makanan yang masih ada di atas meja makan. 
”Ya ma”, bilang Ana pendek.
      
(bersambung)

Tidak ada komentar: