
Jumat, 15 Mei 2009
Kamis, 14 Mei 2009
Mampir di Monumen Yogya Kembali
MAMPIR DI MONUMEN YOGYA KEMBALI
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi
Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini ada terdapat sekitar 20 buah monumen yang tersebar di 5 kabupaten/kodya. Pada umumnya monumen-monumen tersebut mengacu pada peristiwa sejarah perjuangan dan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Dari berbagai monumen tersebut pada kesempatan ini kita akan mampir dan berbicara sepintas tentang Monumen Yogya Kembali yang terletak di Jalan Lingkar Utara, Dusun Jongkang, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaklik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985. Nama tersebut diambil dari peristiwa sejarah ditarikmundurnya tentara Belanda dari Ibukota Negara RI Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan para pimpinan negara lainnya pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta.
Seperti disebutkan dalam sejarah bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 situasi di Jakarta Ibukota Negara RI tidak aman. Para pimpinan negara tidak bisa bekerja dengan baik karena adanya rongrongan tentara Sekutu (Inggeris-Gurkha). Karena itu Pemerintah Pusat memutuskan memindahkan Ibukota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta mulai tanggal 4 Januari 1946.
Namun usaha Belanda untuk berkuasa kembali terus berlangsung. Perjanjian Linggarjati tidak membawa hasil, tentara Belanda kemudian melakukan Agresi Militer I (2 Juli 1947), dan dilanjutkan dengan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Kota Yogyakarta diduduki tentara Belanda dan mereka menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, serta para Menteri yang kemudian mengasingkan mereka ke luar Pulau Jawa.
Sejak itu pula bangsa Indonesia berjuang terus. Tentara Republik melakukan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, dan juga para pemimpin negara melakukan diplomasi lewat berbagai perundingan. Kota Yogyakarta secara seporadis selalu mendapat serangan dari Tentara Republik. Sebagai puncak Tentara Republik Indonesia melakukan Serangan Umum pada tanggal 1 Maret 1949 dan berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Peristiwa ini membuka mata dunia bahwa Tentara Republik Indonesia masih ada dan masih sanggup berjuang untuk melawan tentara penjajah Belanda. Sehubungan dengan itu Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidangnya pada tanggal 23 Maret 1949 mengambil keputusan agar penjajah Belanda mengosongkan wilayah Republik Indonesia dimulai dari Kota Yogyakarta sebagai Ibukota Nerara RI.
Peristiwa tersebut kemudian dilanjutkan dengan berlangsungnya perundingan yang menghasilkan Persetujuan Roem-Royen yang salah satu isinya tentang dibebaskannya Yogyakarta dari pendudukan tentara Belanda. Sehubungan dengan itu mulai tanggal 24 Juni 1949 tentara Belanda ditarik keluar dari Kota Yogyakarta. Penarikan tentara Belanda ke luar Kota Yogyakarta tersebut berakhir pada tanggal 29 Juni 1949, sehingga tanggal tersebut dinyatakan sebagai kembalinya Kota Yogyakarta sebagai Ibukota Negara RI. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan kembalinya para pemimpin Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Monumen Yogya Kembali berbentuk kerucut dengan ketinggian 31,80m didirikan di atas lahan seluas 49920m2. Lokasi ini dipilih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, konon terletak di garis poros antara Gunung Merapi-Monumen Yogya Kembali-Tugu Pal Putih-Kraton-Panggung Krapyak-Laut Selatan. Poros yang dikenal sebagai “Sumbu Imajinir” yang sampai saat ini masih dihormati oleh masyarakat Yogyakarta. Monumen Yogya Kembali diresmikan pembukaannya oleh Presiden Suharto pada tanggal 6 Juli 1989.
Setiap pengunjung Monumen Yogya Kembali sebelum masuk ke ruang bangunan monumen, maka di plaza monumen dapat menyaksikan replika pesawat Curing dan pesawat Guntai serta beberapa meriam yang dulu pernah digunakan oleh Angkatan Perang RI. Hal yang perlu diketahui juga adalah pada dinding yang menghadap ke utara terdapat nama-nama 422 orang pahlawan dari daerah perjuangan Wehrkreis III (Yogyakarta) yakni mereka yang gugur antara tgl. 19 Desember 1948 hingga 28 Juni 1949.
Monumen Yogya Kembali merupakan sebuah monumen museum. Bangunan yang berlantai 3 ini memiliki benda koleksi yang lengkap menggambarkan berbagai peristiwa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 hingga peristiwa-peristiwa sekitar pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Lantai I, ada terdapat 4 ruang museum berisi koleksi yang berkaitan dengan perstiwa perang kemerdekaan. Bahkan sebelum kita masuk ke ruang-ruang museum tersebut, kita dihadapkan pada beberapa patung pejuang dan sarana-sarana perang lainnya. Termasuk juga ada beberapa patung pahlawan nasional yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda, seperti patung Imam Bonjol, Nyi Ageng Serang, Tengku Umar, Tyut Nya Dien, serta beberapa jenis meriam (senjata) yang pernah dipakai pada masa perang kemerdekaan.
Ruang Museum 1, merupakan ruang pamer dengan thema “Sekitar Proklamasi Kemerdekaan”, dengan benda-benda koleksi mulai sekitar Proklamasi sampai dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Di ruangan ini terdapat 28 buah panel dan vitrin dari berbagai peristiwa kegiatan perjuangan bangsa Indonesia, seperti pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17-8-1945 yang berlangsung di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, suasana Rapat Umum menyambut kemerdekaan di Lapangan Ikada Jakarta, tentang bambu runcing serta tokoh kharismatik K.H. Subchi dari Parakan, situasi Yogya sewaktu menyambut berita Proklamasi serta peristiwa-peristiwa sekitar dan sesudah proklamasi, berbagai senjata yang dipergunakan pada masa revolusi, berbagai pasukan kekuatan pendukung revolusi (PETA,TP,dll), berbagai panji divisi APRI, foto-foto perjuangan di bidang politik diplomasi, berbagai senjata api dalam perang kemerdekaan. Terakhir tentang peristiwa pemberontakan PKI Madiun (18 September-30 September 1948), foto-foto para korban serta usaha-usaha penumpasannya.
Ruang Museum 2, merupakan ruang pamer dengan thema “Ruang Gerilya dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta”. Di ruang ini terdapat barang-barang koleksi tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam membela, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan pada waktu Agresi Militer II tanggal 19-12-1948.
Dalam ruangan ini ada 17 panel dan 8 vitrin berisi antara lain foto-foto dan benda yang berkaitan dengan peristiwa setelah Agresi Militer II, seperti tentang ditawannya Presiden dan Wakil Presiden serta para pejabat lainnya (Presiden ke Prapat kemudian ke Bangka, Wakil Presiden ke Bangka), tentang peranan Tentara Pelajar (TP), peranan Media massa dan sarana komunikasi, perlengkapan/peralatan yang dipakai Jenderal Sudirman, peranan Sultan Hamengku Buwono IX, foto-foto tentang KMB dan kembalinya kekuasaan atas Ibukota Yogyakarta, pelantikan Presiden RIS tanggal 17-12-1949, serta tentang berbagai kegiatan Prresiden Soekarno.
Ruang Museum 3, merupakan ruang pamer dengan thema “Seputar Pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret 1949”, yakni berupa foto-foto, benda-benda bersejarah dan replika, seperti tentang pendudukan lapangan terbang Maguwo dan Ibukora RI Yogyakarta oleh Militer Belanda, situasi Perang Rakyat Semesta/gerilya, tentang peran Letnan Kolonel Suharto sebagai Komandan Wilayah Wehrkreis III, tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, dan berbagai barang yang dipakai pada masa perjuangan.
Ruang Museum 4, merupakan ruang pamer dengan thema “Yogya Sebagai Ibukota Negara RI”, antara lain terdapat patung Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan beberapa tokoh lainnya, teks Proklamasi, foto-foto kegiatan Presiden dan Wakil Presiden selama di Yogyakarta, serta beberapa barang yang pernah digunakan selama revolusi.
Di Lantai II, terdapat koleksi-koleksi dalam bentuk relief dan diorama. Ada terdapat 40 buah relief yang menggambarkan peristiwa dari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan Presiden Soekarno kembali dari Yogyakarta ke Jakarta tanggal 28 Desember 1949.
Sementara diorama ada 10 buah yang menggambarkan peristiwa dari penyerbuan Tentara Belanda terhadap lapangan terbang Maguwu pada Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948 hingga penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta tanggal 29 Juni 1949 dan peristiwa Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta tanggal 17 agustus 1949.
Di Lantai III, yang disebut Garbha Graha atau Ruang Hening yang luasnya 1.121m2 terdapat di bagian puncak bangunan monumen. Ruang ini berfungsi untuk kontemplasi pengunjung setelah menyaksikan berbagai penyajian dan visualisasi data sejarah perjuangan bangsa di Lantai I dan Lantai II. Diharapkan para pengunjung dapat mensyukuri karunia Tuhan dan mohon agar para syuhada yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini diterima oleh Tuhan YME. Di ruang ini terdapat juga berupa unit bendera pusaka, relief simbolik tentang perjuangan fisik dan diplomatik, serta pesan pejuang untuk generasi penerus. (HRN, peneliti sejarah&nilai tradisional)
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi
Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini ada terdapat sekitar 20 buah monumen yang tersebar di 5 kabupaten/kodya. Pada umumnya monumen-monumen tersebut mengacu pada peristiwa sejarah perjuangan dan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Dari berbagai monumen tersebut pada kesempatan ini kita akan mampir dan berbicara sepintas tentang Monumen Yogya Kembali yang terletak di Jalan Lingkar Utara, Dusun Jongkang, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaklik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985. Nama tersebut diambil dari peristiwa sejarah ditarikmundurnya tentara Belanda dari Ibukota Negara RI Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan para pimpinan negara lainnya pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta.
Seperti disebutkan dalam sejarah bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 situasi di Jakarta Ibukota Negara RI tidak aman. Para pimpinan negara tidak bisa bekerja dengan baik karena adanya rongrongan tentara Sekutu (Inggeris-Gurkha). Karena itu Pemerintah Pusat memutuskan memindahkan Ibukota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta mulai tanggal 4 Januari 1946.
Namun usaha Belanda untuk berkuasa kembali terus berlangsung. Perjanjian Linggarjati tidak membawa hasil, tentara Belanda kemudian melakukan Agresi Militer I (2 Juli 1947), dan dilanjutkan dengan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Kota Yogyakarta diduduki tentara Belanda dan mereka menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, serta para Menteri yang kemudian mengasingkan mereka ke luar Pulau Jawa.
Sejak itu pula bangsa Indonesia berjuang terus. Tentara Republik melakukan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, dan juga para pemimpin negara melakukan diplomasi lewat berbagai perundingan. Kota Yogyakarta secara seporadis selalu mendapat serangan dari Tentara Republik. Sebagai puncak Tentara Republik Indonesia melakukan Serangan Umum pada tanggal 1 Maret 1949 dan berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Peristiwa ini membuka mata dunia bahwa Tentara Republik Indonesia masih ada dan masih sanggup berjuang untuk melawan tentara penjajah Belanda. Sehubungan dengan itu Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidangnya pada tanggal 23 Maret 1949 mengambil keputusan agar penjajah Belanda mengosongkan wilayah Republik Indonesia dimulai dari Kota Yogyakarta sebagai Ibukota Nerara RI.
Peristiwa tersebut kemudian dilanjutkan dengan berlangsungnya perundingan yang menghasilkan Persetujuan Roem-Royen yang salah satu isinya tentang dibebaskannya Yogyakarta dari pendudukan tentara Belanda. Sehubungan dengan itu mulai tanggal 24 Juni 1949 tentara Belanda ditarik keluar dari Kota Yogyakarta. Penarikan tentara Belanda ke luar Kota Yogyakarta tersebut berakhir pada tanggal 29 Juni 1949, sehingga tanggal tersebut dinyatakan sebagai kembalinya Kota Yogyakarta sebagai Ibukota Negara RI. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan kembalinya para pemimpin Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Monumen Yogya Kembali berbentuk kerucut dengan ketinggian 31,80m didirikan di atas lahan seluas 49920m2. Lokasi ini dipilih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, konon terletak di garis poros antara Gunung Merapi-Monumen Yogya Kembali-Tugu Pal Putih-Kraton-Panggung Krapyak-Laut Selatan. Poros yang dikenal sebagai “Sumbu Imajinir” yang sampai saat ini masih dihormati oleh masyarakat Yogyakarta. Monumen Yogya Kembali diresmikan pembukaannya oleh Presiden Suharto pada tanggal 6 Juli 1989.
Setiap pengunjung Monumen Yogya Kembali sebelum masuk ke ruang bangunan monumen, maka di plaza monumen dapat menyaksikan replika pesawat Curing dan pesawat Guntai serta beberapa meriam yang dulu pernah digunakan oleh Angkatan Perang RI. Hal yang perlu diketahui juga adalah pada dinding yang menghadap ke utara terdapat nama-nama 422 orang pahlawan dari daerah perjuangan Wehrkreis III (Yogyakarta) yakni mereka yang gugur antara tgl. 19 Desember 1948 hingga 28 Juni 1949.
Monumen Yogya Kembali merupakan sebuah monumen museum. Bangunan yang berlantai 3 ini memiliki benda koleksi yang lengkap menggambarkan berbagai peristiwa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 hingga peristiwa-peristiwa sekitar pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Lantai I, ada terdapat 4 ruang museum berisi koleksi yang berkaitan dengan perstiwa perang kemerdekaan. Bahkan sebelum kita masuk ke ruang-ruang museum tersebut, kita dihadapkan pada beberapa patung pejuang dan sarana-sarana perang lainnya. Termasuk juga ada beberapa patung pahlawan nasional yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda, seperti patung Imam Bonjol, Nyi Ageng Serang, Tengku Umar, Tyut Nya Dien, serta beberapa jenis meriam (senjata) yang pernah dipakai pada masa perang kemerdekaan.
Ruang Museum 1, merupakan ruang pamer dengan thema “Sekitar Proklamasi Kemerdekaan”, dengan benda-benda koleksi mulai sekitar Proklamasi sampai dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Di ruangan ini terdapat 28 buah panel dan vitrin dari berbagai peristiwa kegiatan perjuangan bangsa Indonesia, seperti pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17-8-1945 yang berlangsung di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, suasana Rapat Umum menyambut kemerdekaan di Lapangan Ikada Jakarta, tentang bambu runcing serta tokoh kharismatik K.H. Subchi dari Parakan, situasi Yogya sewaktu menyambut berita Proklamasi serta peristiwa-peristiwa sekitar dan sesudah proklamasi, berbagai senjata yang dipergunakan pada masa revolusi, berbagai pasukan kekuatan pendukung revolusi (PETA,TP,dll), berbagai panji divisi APRI, foto-foto perjuangan di bidang politik diplomasi, berbagai senjata api dalam perang kemerdekaan. Terakhir tentang peristiwa pemberontakan PKI Madiun (18 September-30 September 1948), foto-foto para korban serta usaha-usaha penumpasannya.
Ruang Museum 2, merupakan ruang pamer dengan thema “Ruang Gerilya dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta”. Di ruang ini terdapat barang-barang koleksi tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam membela, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan pada waktu Agresi Militer II tanggal 19-12-1948.
Dalam ruangan ini ada 17 panel dan 8 vitrin berisi antara lain foto-foto dan benda yang berkaitan dengan peristiwa setelah Agresi Militer II, seperti tentang ditawannya Presiden dan Wakil Presiden serta para pejabat lainnya (Presiden ke Prapat kemudian ke Bangka, Wakil Presiden ke Bangka), tentang peranan Tentara Pelajar (TP), peranan Media massa dan sarana komunikasi, perlengkapan/peralatan yang dipakai Jenderal Sudirman, peranan Sultan Hamengku Buwono IX, foto-foto tentang KMB dan kembalinya kekuasaan atas Ibukota Yogyakarta, pelantikan Presiden RIS tanggal 17-12-1949, serta tentang berbagai kegiatan Prresiden Soekarno.
Ruang Museum 3, merupakan ruang pamer dengan thema “Seputar Pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret 1949”, yakni berupa foto-foto, benda-benda bersejarah dan replika, seperti tentang pendudukan lapangan terbang Maguwo dan Ibukora RI Yogyakarta oleh Militer Belanda, situasi Perang Rakyat Semesta/gerilya, tentang peran Letnan Kolonel Suharto sebagai Komandan Wilayah Wehrkreis III, tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, dan berbagai barang yang dipakai pada masa perjuangan.
Ruang Museum 4, merupakan ruang pamer dengan thema “Yogya Sebagai Ibukota Negara RI”, antara lain terdapat patung Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan beberapa tokoh lainnya, teks Proklamasi, foto-foto kegiatan Presiden dan Wakil Presiden selama di Yogyakarta, serta beberapa barang yang pernah digunakan selama revolusi.
Di Lantai II, terdapat koleksi-koleksi dalam bentuk relief dan diorama. Ada terdapat 40 buah relief yang menggambarkan peristiwa dari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan Presiden Soekarno kembali dari Yogyakarta ke Jakarta tanggal 28 Desember 1949.
Sementara diorama ada 10 buah yang menggambarkan peristiwa dari penyerbuan Tentara Belanda terhadap lapangan terbang Maguwu pada Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948 hingga penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta tanggal 29 Juni 1949 dan peristiwa Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta tanggal 17 agustus 1949.
Di Lantai III, yang disebut Garbha Graha atau Ruang Hening yang luasnya 1.121m2 terdapat di bagian puncak bangunan monumen. Ruang ini berfungsi untuk kontemplasi pengunjung setelah menyaksikan berbagai penyajian dan visualisasi data sejarah perjuangan bangsa di Lantai I dan Lantai II. Diharapkan para pengunjung dapat mensyukuri karunia Tuhan dan mohon agar para syuhada yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini diterima oleh Tuhan YME. Di ruang ini terdapat juga berupa unit bendera pusaka, relief simbolik tentang perjuangan fisik dan diplomatik, serta pesan pejuang untuk generasi penerus. (HRN, peneliti sejarah&nilai tradisional)
Minggu, 10 Mei 2009
PENYAKIT HATI
Sahabatku,
Dalam Al Qur’anul Karim surah Asy Syuaraa, ayat 87,88,89 Allah SWT berfirman:
ولا تخزنى يوم يبعثون * يوم لا ينفع ما ل ولا بنون * الا من اتى الله بقلب
سليم *
“Dan janganlah aku dihinakan pada hari kebangkitan, pada hari itu tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
Begitulah Allah menyatakan pentingnya peranan hati dalam mendapatkan keredhaan-Nya. Sehingga kebersihan hati merupakan password atau kunci untuk membuka pintu surga. Sehingga sedikit apapun amal, tetap akan bisa memasukkan orang ke suirga, asal ia memiliki hati yang bersih. Sebaliknya, sebanyak apapun amal, tidak akan berarti sama sekali bila kita memiliki hati yang penuh penyakit.
Sahabatku,Karena itu, semogalah di samping kita memperbanyak amal kebaikan, kita pun perlu menjaga hati dari penyakit-penyakit yang menghanguskan amal ibadah kita. Rasulullah mengingatkan ada tiga penyakit hati yang berbahaya yang akan menghancurkan amal ibadah seseorang.
Pertama: Takabur (sombong). Orang sombong akan selalu mendustakan kebenaran, mengangap rendah orang lain, dan meninggikan dirinya. Jangankan banyak, sedikit saja di hati kita ada sikap sombong, maka surga akan menjauh, amal-amal jadi tidak berarti. Disabdakan Rasulullah: “Tidak akan masuk sorga seseorang yang dalam hatinya terdapat sikap takabur, walaupun sebesar debu” (HR Muslim)
Kedua: Hasad atau iri dengki. Ciri has seorang pendengki adalah adanya ketidakrelaan ketika orang lain mendapat nikmat, dan sangat berharap nikmat tersebut segera lenyap dari orang dimaksud. Kedengkian sangat efektif menghancurkan kebaikan. Rasulullah SAW menegaskan: “Dengki itu dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”. (HR Ibnu Daud dan Ibnu Majah).
Ketiga adalah riya, atau beramal karena mengharap pujian orang lain. Rasul SAW menyebut ria sebagai syirik kecil yang juga efiktif menghapuskan kebaikan. Dalam Al Qur’an llah:
فويل للمصلين * الدين هم عن صلا تهم سا هون * الين هم يراءعون *
“Maka celakalah bagi orang yang shalat, yaitu yang lalai shalatnya, yaitu orang-orang yang berbuat ria”, (QS Al-Maun: 4,5,6). Demikian salah satu hotbah kita yang pernah dsampaikan i
Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita, sehingga kita dapat menjaga hati dan ibadah kita dari kebinasaan.
Amin ya RabbalAlamin
Minggu, 03 Mei 2009
Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17-8-45 di Yogyakarta
SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN
17 AGUSTUS 1945 DI YOGYAKARTA
17 AGUSTUS 1945 DI YOGYAKARTA
Oleh:
Drs. H. Ramli Nawawi
A. Pendahuluan
Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonsia berarti mengungkap kembali peristiwa yang terjadi pada sekitar tanggal 17 Agustus 1945. Dimulai dari adanya kesediaan Pemerintah Jepang memberikan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, maka pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai Dr. Radjiman Widyodiningrat. Badan ini bertujuan mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting dalam segi politik, ekonomi, dan tata negara Indonesia merdeka.
Badan tersebut kemudian diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945. Sehubungan dengan janji kemerdekaan itu pula Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman Widyodiningrat dipanggil ke Saigon oleh Jenderal Terauci menyampaikan tentang rencana kemerdekaan Indonesia yang akan dibicarakan nanti tanggal 16 Agustus 1945 di Jakarta.
Jatuhnya bom di Hirosima tanggal 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945 membua jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Hal itu membuat janji Jepang untuk kemerdekaan Indonesia tidak terlaksana. Apalagi setelah itu Sekutu meminta kepada Jepang mempertahankan “status quo” atas wilayah Indonesia sampai adanya penyerahan resmi Jepang kepda Sekutu tanggal 2 september kemudian.
Dalam situasi vacum of power itulah kemudian para pemuda mendesak para pimpinan bangsa agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Demikianlah setelah berbagai perbedaan pendapat dapat diselesaikan, maka pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilangsungkan. Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
B. Yogyakarta sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Bung Karno tersebut kemudian oleh beberapa pemuda disiarkan lewat pemancar radio Kantor Berita Domei Jakarta sehingga dapat diterima di beberapa daerah di tanah air. Di Yogyakarta berita kemerdekaan tersebut dapat diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta menjelang pukul 12.00 siang. Usaha para petugas Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta untuk menyebarluaskan berita tersebut terhalang karena adanya larangan dari Jepang.
Namun secara diam-diam berita kemerdekaan tersebut tersebar juga dari mulut ke mulut, terutama di kalangan para pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat. Karena pada hari itu kebetulan hari Jum’at, saat umat Islam melaksanakan shalat Jum’at berjamaah di masjid-masjid, maka dalam kesempatan itu oleh beberapa pemuka agama berita kemerdekaan tersebut sempat pula disampaikan melalui khotbah antara lain di Masjid Besar (Alun-Alun Utara) dan Masjid Pakualaman.
Demikian pula pada sore harinya Ki Hadjar Dewantara dengan mengendarai sepeda memimpin sejumlah murid Taman Siswa mengadakan pawai dengan membawa bendera Merah Putih melalui jalan-jalan besar dalam kota Yogyakarta untuk menyampaikan berita Proklamasi Kemerdekaan kepada masyarakat.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan ini masyarakat Yogyakarta masih dalam keadaan bingung. Baru setelah surat kabar Harian Sinar Matahari Yogyakarta yang terbit tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita Proklamasi Kemerdekan bersama Undang-Undang Dasar yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, masyarakat Yogyakarta mengetahui hal yang terjadi sebenarnya..
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang menjadi panutan masyarakat Yogyakarta juga pada tanggal 19 Agustus 1945 pukul 10.00 mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Bahkan kemudian pada surat kabar harian Sinar Matahari yang terbit tanggal 20 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan sambutan atas proklamasi kemerdekaan, yang intinya menghimbau seluruh bangsa Indonesia untuk berkorban demi kepentingan bersama, yakni menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.
Selanjutnya sebagai luapan kegembiraan rakyat menyambut proklamasi kemerdekaan adalah berkibarnya bendera Merah Putih di mana-mana. Di muka setiap rumah Indonesia, bahkan banyak di dada putra Indonesia tersemat lambang Merah Putih. Apalagi pada tanggal 31 Agustus 1945 keluar Maklumat Pemerintah yang isinya antara lain memuat perintah agar mulai tanggal 1 September 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh persada nusantara, dan agar setiiap bangsa Indonesia apabila bertemu di mana saja hendaknya mengucapkan salam nasional “Merdeka”.
Dalam rangka gerakan pengibaran bendera Merah Putih tersebut, para pemuda di Yogyakarta dengan semangat yang menyala berusaha mengibarkan bendera Merah Putih di rumah-rumah, di pabrik-pabrik, di gedung-gedung instansi dan sebagainya. Mereka tak ada perasaan takut dan gentar terhadap tentara Jepang yang masih mempunyai persenjataan lengkap.
Di samping itu terjadi juga pemasangan lencana Merah Putih oleh para pemuda kepada setiap anggota masyarakat yang lewat di jalan. Dalam pelaksanaannya mereka melakukan pencegatan di jalan-jalan kepada setiap orang yang lewat, baik laki-laki maupun perempuan, tua, muda atau anak-anak, rakyat kota atau desa, pelajar, pegawai maupun bakul (pedagang) semuanya dipasang di dadanya atau di kopiah mereka lencana Merah Putih.
Sebagai puncak kegiatan pengibaran bendera Merah Putih ini yaitu peristiwa penaikan bendera Merah Putih di gedung Cokan Kantai (Gedung Agung) yang terletak di pusat Kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945. Hari itu sekelompok pemuda berusaha menurunkan bendera Jepang Hinomaru di gedung tersebut untuk digantikan dengan bendera Merah Putih. Semula akan dilakukan secara diam-diam oleh sekelompok pemuda, tetapi segerombolan tentara Jepang datang mencegah dan membubarkan mereka.
Namun kemudian sekitar puikul 12.00 siang masa rakyat datang ke gedung Cokan Kantai dengan persenjataan bambu runcing, golok, tombak, pentung dan sebagainya. Mereka datang berlari-lari dan berdesak-desakan menuju gedung Cokan Kantai. Mereka terdiri dari ribuan para pemuda, pelajar, pegawai kantor, kaum buruh, pedagang, laki-laki maupun perempuan, dengan pekikan “siap dan merdeka” secara bersahut-sahutan, sehingga membuat suasana menjadi panas dan hangat.
Tujuan mereka hanya satu menurunkan bendera Hinomaru yang masih berkibar. Tanpa menghiraukan penjagaan ketat dari serdadu-serdadu Jepang yang bersenjata lengkap, mereka menerobos penjaga-penjaga Jepang dan dengan tidak menghiraukan bahaya maut, empat pemuda dan satu pemudi berhasil naik ke atas atap gedung. Kelima orang itu bernama Slamet, Siti Aisyah, Sutan Ilyas, Supardi, dan Rusli kemudian menurunkan bendera Hinomaru dan mengibarkan bendera Merah Putih. Setelah bendera Merah Putih berkibar kemudian diikuti dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya.
Peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di gedung Cokan Kantai tanggal 21 September 1945 kemudian diikuti gerakan pengambilalihan kekuasaan di kantor-kantor Pemerintah Jepang. Melihat situasi gencarnya gerakan massa rakyat, tanggal 23 September 1945 pihak Jepang melakukan penyitaan terhadap senjata satuan Polisi Istimewa di Gayam untuk disimpan di gudang markas mereka.
Mengetahui hal itu Komisaris Polisi Soedarsono melakukan pendekatan untuk meminta kembali senjata-senjata yang digudangkan Jepang tersebut. Tetapi karena usaha itu gagal, maka malam harinya tanggal 23 September 1945 pukul 21.00, bergeraklah massa rakyat, para pemuda dan satuan Polisi Istimewa mengepung markas Jepang tersebut dan akhirnya berhasil merebut kembali senjata yang disita tersebut yang kemudian dibagi-bagi kepada rakyat untuk modal perjuangan selanjutnya.
Keberhasilan rakyat mengambil kembali senjata-senjata yang disita dan digudangkan Jepang kemudian berada di tangan para pemuda, membuat gerakan pengambilalihan kekuasaan semakin gencar. Tanggal 26 September 1945 pukul 10.00 pagi secara serentak terjadi pengambil over kekuasaan oleh segenap pegawai kantor-kantor, baik kantor negeri maupun partikelir, perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang berada di bawah kekuasaan bangsa asing di seluruh Yogyakarta.
Insiden dan bentrokan memang terjadi, namun akhirnya sampai pada pukul 22.00 semua pimpinan kantor, perusahaan, dan pabrik sudah berada ditangan bangsa Indonesia. Sebagai langkah lanjut, ditetapkan untuk penjagaan keamanan dan ketertiban berada di bawah satu pimpinan yang diserahkan kepada Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang berkantor di Kepatihan di bawah pimpinan Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX.
Peristiwa selanjutnya adalah usaha para pemuda untuk merebut senjata Jepang yang ada di markas tentara Jepang dan juga merupakan tempat gudang senjata yang berada di Masai Butai Kotabaru. Usaha itu berlangsung pada tangal 6 Oktober 1945 dimulai dengan dilakukannya permintaan dengan melakukan perundingan dengan pihak tentara Jepang. Selaku Ketua KNID Mohammad Saleh bersama dengan beberapa tokoh rakyat lainnya menemui Mayor Utzuka yang juga didampingi pimpinan Jepang lainnya. Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 19.00 hingga pukul 03.00 pagi itu RP Soedarsono meminta agar Butaicu Mayor Utzuka menyerahkan senjata Jepang kepada pihak Indonesia.
Namun bersamaan dengan perundingan berlangsung, ribuan rakyat dan pemuda yang digerakkan oleh KNID, BPU, BKR dan Polisi Istimewa bergerak mengepung Butai Kotabaru. Para pemuda dan massa rakyat tersebut bersenjata apa saja yang mereka miliki, seperti tombak, golok, pedang, bambu runcing dan lain-lainnya. Yang membawa senjata api hanyalah para Polisi Istimewa yang dipimpin Oni Sastroatmodjo sebayak 30 pucuk karabyn, sepucuk mitraliyur, 5 pucuk leuwis machine gun dan 2 pucuk kakikanju. Sedangkan dari TKR yang dipimpin Mayor Soeharto dengan kekuatan senjata 14 pucuk karabeyn, satu pucuk kekikanyu, 7 pucuk pistol revolver dan beberapa geranat tangan dan pedang.
Kelompok rakyat bersenjata ini setelah menerima berita bahwa perundingan dengan Jepang gagal mereka segera bergerak melakukan penyerangan. Pada sekitar 03.00 pagi dengan dimulai terdengar letusan geranat maka pertempuranpun terjadi. Ketika pertempuran sedang berkobar Botaico yang bermarkas di Pingit datang dan menyerukan agar pertempuran dihentikan, dan menyatakan pihak Jepang mau menyerahkan senjata mereka dengan syarat anak buahnya tidak diganggu oleh rakyat. Pertempuran berakhir pada sekitar pukul 10.00 pagi tanggal 7 Oktober 1945 dengan disusul dikibarkannya bendera Merah Putih di atas markas tentara Jepang Masai Kotabaru.
Dalam pertempuran Kotabaru tersebut rakyat berhasil menawan tentara Jepang sebanyak 360 orang. Mereka kemudian diserahkan kepada Polisi Istimewa untuk dimasukkan kedalam penjara Wirogunan. Sedangkan senjata yang dapat diperoleh sebanyak 360 pucuk karabijn termasuk mitraliur, geranat tangan, kakikanju, leuwis dan pistol revolver.
Dalam pertempuran Kotabaru tersebut telah gugur sebagai pahlawan sebanyak 19 orang. Mereka yang dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan-pahlawan pertama di Kota Yogyakarta itu adalah Abu Bakar Ali, Soeroto, Ahmad Djazuli, Faridan M. Noto, I Dewa Nyoman, Muh. Hardani, A. Djohar Noerhadi, Soepardi, Soedjiono, Atmo Soekarto, Oemoem Kalipan, Sabirin, Djasman, Soenardjo, Soeparno, Djuwadi, dan Trimo.
Jenazah mereka umumnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, dan ada beberapa yang dimakamkan di belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan mereka, maka nama-nama mereka umumnya dijadikan nama jalan-jalan di kawasan Kotabaru Yogyakarta saat ini.
C. P e n u t u p
Peristiwa penyerangan Markas Tentara Jepang di Kotabaru oleh rakyat Yogyakarta untuk merebut senjata dari tangan tentara Jepang, merupakan peristiwa pertama di Yogyakarta dalam usaha rakyat menegakkan dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 945 yang berhasil ditawannya tentara Jepang maka kekuasaan telah berada di tangan rakyat Yogyakarta.
Selanjutnya tokoh-tokoh rakyat di Yogyakarta mulai membentuk lembaga-lembaga sebagaimana diinstruksikan Pemerintah Pusat. Ketika itu Yogyakarta sudah berstatus sebagai daerah istimewa. Status tersebut telah diakui oleh Pemerintah Pusat sejak 6 September 1945, hal ini berkaitan dengan adanya sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 20 Agustus 1945 yang mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945. Kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya amanat masing-masing oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan oleh Sri Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 yang berisi antara lain bahwa Kesunanan Ngayogyakarta dan Paku Alaman menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
Langkah selanjutnya adalah dilakukannya pembentukan dan pemberdayaan Komite Nasional Daerah (KNID) Yogyakarta. Kalau dulu bulan pertama sesudah proklamasi alam rangka menjaga ketertiban dan kesatuan tindakan, pemerintah di Yogyakarta dijalankan oleh KNI Daerah bersama dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, maka lembaga ini kemudian mengangkat anggotanya sebanyak 87 orang. Sebagai penasihat tercatat BPH Puruboyo, Ki Bagus Hadikusomo, dan Dr. Soekiman, sedangkan untuk ketua dijabat oleh Moh. Saleh. Badan yang berkantor di Hooko Kai Jalan KHA Dahlan ini kemudian mengatur langkah-langkah untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, di samping untuk menyalurkan dan memperjuangkan keinginan rakyat.
Namun perjuangan melawan penjajahan dan terhadap bangsa dan negara ini tidak berakhir sampai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari cengkeraman bangsa Jepang. Datangnya Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia membawa bangsa ini kemudian memasuki masa-masa perjuangan untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut. Tidak terhitung korban jiwa, raga dan harta benda rakyat Indonesia sehingga kemudian bangsa ini mendapatkan pengakuan dunia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Demikian kita kenang dan kita hargai pengorbanan mereka sebagai putra-putra bangsa yang mewariskan kemerdekaan tanah air ini kepada kita kini hingga kepada anak cucu kita kemudian. Semoga amal dan pengorbanan mereka diterima dan mendapat ganjaran yang berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa Taala. Amin.
.
Daftar Bacaan
Ch. Marsoedi, Peranan Militer Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI di DIY pada Priode 1945-1949. Makalah Ceramah dan Diskusi, MSI Cabang Yogyakarta, 1988.
Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek IDKDY, Yogyakarta, 1987.
Soedarisman Poerwokoesoemo, Dari Proklamasi Sampai Yogya Kembali, Makalah Ceramah dan Diskusi, MSI Cabang Yogyakarat, 1988.
Soetardono, dkk., Sejarah Monumen Yogya Kembali, Badan Pengelola Monumen Yogya Kembali, Yogyakarta, 2000.
Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Kementerian Penerangan, Yogyakarta, 1953.
Pernik-Pernik
Pernik-Pernik di Sekitar Pra Kongres Budaya Banjar II
(Hanya untuk orang yang bisa berbahasa Banjar)
Bubuhan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan, hintadi tanggal 1 wan 2 Mei 2009 mengumpulakan urang-urang nang bagalut di kebudayaan. Ada jua keturunan urang Banjar nang wayahini badiam di Tambilahan Riau, di Deli Sumatera Utara, di Jambi dan urang Banjar nang bagana di Yogyakarta, datang mahadiri kagiatan ngarannya Pra Kongres Budaya Banjar II di Banjarmasin. Jar katarangan nang dipadahakan ungkara ini tujuannya gasan mangsuksisakan Kongres Budaya Banjar II nang cagar diadaakan tahun 2010 kaina.
Kabatulan (ba ulun kah atawa ba unda kah nih, ba unda hajalah karana nang tuha-tuha jarang jua nang mambuka blog) unda tanggal 7 April 2009 di SMS ading Drs.H. Syarifuddin R kawan nang jadi panitia gawi, bunyinya kaya ini: “Pa tgl. 27-28 April 09 nanti dilaksanakan Pra Kongres Budaya Banjar II . Rencana pian sebagai salah satu nara sumber untuk topik Sejarah Orang Banjar di Perantauan yang intinya kira2 uot line/TOR nya baiknya kaya apa. Mudahan pian bisa. Makasih. Catatan gambar dan tulisan2 pian di blog sudah ulun lihat n baca”. SMS nang itu lalu unda jawab kaya ini: “Aku tgl 11 April hari sabtu ka Bjr (tgl 8 maconteng pamilu dulu), bisa aja ikut kegiatan2, kalu TOR utk itu ya mungkin mulai asal muasalnya, mengapa dan bagaimana dtng, sendiri2 atau rombongan/keluarga, selanjutnya kegiatan /usaha, komunitas, pembauran, dll, itu a.l. bahas ajalah dg teman2, maksh sampai ketemu d bjr”. Ini balasan Syarifuddin: “Inggih pas aja hasil rapat semalam kaya itu, kaena hasilnya untuk penulisan/pembahasan makalah Kongres Kebudy Banjar II 2010. Makasih”.
Singkat kisah tanggal 11 April 09 Sabtu imbah tanghari ulun wan bini sudah sampai di rumah nang di Komplek Beruntung Jaya di Banjarmasin. Kada lawas pang di jalan karana tarabang dibawa Mandala.Tanggal 20 April 09 ada urang bapakaian dinas kantoran datang ka rumah maatar surat: salambar surat Undangan Peserta Prakongres Budaya Banjar II, sabuting lagi Undangan pembukaan Prakongres Budaya Banjar II, lalu ada salambar lagi nang batanggal 14 April 2009, perihal: Mohon menjadi Nara Sumber Prakongres Budaya Banjar II wan lampirannya naskah Proposal Pra Kongres Kebudayaan banjar II. Baik surat maupun naskah proposal sama haja isinya intinya babunyi mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara untuk berperan sebagai Nara Sumber, tantang:
1. Sejarah Orang Banjar di Peantauan disampaikan oleh Drs. H. Ramli Nawawi.
2. Tradisi Adat Istiadat disampaikan oleh Suriansjah Ideham.
3. Bahasa dan Sastra Banjar disampaikan oleh Prof.DR. Djantera Kawie
4. Pemuda dan Kebudayaan Banjar disampaikan oleh Drs. M. Kasim Abdurrahman MA
5. Membangun Komunitas Orang Banjar dan Kemaslahatan Warga di Perantauan disampaikan oleh Drs. H. Bihman Muliansyah.
Kerangka acuan/draf dimaksud diharapkan dapat disampaikan kepada panitia selambat-lambatnya April 2009. Tgl 22 April 09 unda SMS sdr Syarifuddin makalah bisa diambil, siang ada nang maambil. Lalu lanjut kisah hari Jumahat tgl 24 Mai ada nang maatar surat Penundaan Prakongres Kebudayan Banjar II karana sesuatu hal ke hari Jumahat dan Sabtu tgl. 1 dan 2 Mei 2009. Jam tatap mulai jam 8.00 (sesuai jadwal) wan tampat tatap jua Gedung Dekranasda.
Lanjut kisah lagi pukul 8.00 hari Jumahat sudah takumpul urang-urang nang diundang. Panitya ti sudahnya siap badahulu. Undangan nang hadir bah parak sabarataan babaju sasirangan bamacam-macam warna. Nang bapidato cagar mambuka jar gubernur. Lawas jua pang mahadangi bajam-jam labih hanyar sidin datang. Maklum hajalah karana sidin banyak gawian nang lain. Pidato sidin baik pang, antara lain jar sidin jangan tarjadi akulturasi nang maulah budaya kita Banjar bisa hilang.
Imbah tuntung bapidatu lalu maunjuki hadiah panghargaan budaya kapada 5 urang nang banyak bajasa dalam bakabudayaan wan sudah tuaha-tuha. Lima orang saniman wan budayawan itu adalah abah-abah H. Anang Ardiansyah, H. Anggeraini Antemas, Drs. H. Syamsiar Seman, H. Adjim Arijadi wan Mat Nyarang. Ujar jua nih selain tanda panghargaan ada jua amplopnya nang baisi duit. Sidin-sidin umumnya pinandu haja lawan unda (tuh di bawah ada gambar unda wan sidin nang badua).
Imbah ini lalu kisah nang manyampaiyakan makalah kerangka acuan. Imbah unda baca jadual acara nara sumbar nya ada tujuh jadi batambah badua. Saikung dari Indragiri Hilir Riau, judul makalah Sejarah Orang Banjar di Perantauan (Kabupaten Indragiri Hilir, Riau), di catatan batis halaman pertama ada tatulis Makalah Pembahas (pembanding). Wan isinya bagus sudah meuraiyakan banyak tantang orang Banjar nang badiam di Tambilahan. Nang jalas bukan barupa TOR atau Kerangka Acuan, sahingga panitia nang mambacakan kasimpulan kongres baucap kaina untuk sajarah orang Banjar di perantauan tu kada usah talalu ……contohnya nang kaya ampun sidin dari Tambilahan tu haja.
Tambahan satunya lagi makalah bajudul Selayang Pandang Potret Budaya Orang Banjar di Tanah Deli Sumatera Utara. Unda baca, juga mauraiyakan keadaan orang Banjar di Tanah Deli. Tambahannya nang dari Deli ini di bagian buntut ada Rekomendasi Untuk Kongres Budaya Banjar II. Banyak rekomendasinya hampir 2 halaman.
(sampai di sini dulu lah kaina mun rajin ditarusakan…, sambil latihan maulah makalah basa banjar, karana samalam tu ada nang mausul handak banar makalah supaya ditulis mamakai basa banjar, maka basa banjar tu kadada aksaranya, dulu datu nini kita mamakai aksara /huruf Arab. Maaflah mun ada salah kata, paramisi dulu lah…..Eh satumat kalupaan lagi ini mun handak mambaca TOR/Kerangka panulisan nang ulun tawarakan gasan sampian-sampian urang Banjar di parantauan nang handak maulah sajarah bubuhan sampian lihati di blog ini nang ulun kirim tgl. 21 April 2009 wan ada tatulis tidak mangikat, karana jar panitia gasan Kongres Budaya Banjar II kaina tu siapa haja bulih maulah, jadi kada nang bamirik budayawan atawa saniman haja atawa sarjana haja, ya... kaina dipilhi oleh panitia mana-mana nang bakal disampayakan/dibacaakan di hadapan para pasarta. Kayanya kaya tu kasimpulan samalam. Nah ...sampai di sini dulu lah.. sakali lagi maaf lah kalu ada salah kata. Paramisi................. (HRN)
) HRN.
(Hanya untuk orang yang bisa berbahasa Banjar)
Bubuhan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan, hintadi tanggal 1 wan 2 Mei 2009 mengumpulakan urang-urang nang bagalut di kebudayaan. Ada jua keturunan urang Banjar nang wayahini badiam di Tambilahan Riau, di Deli Sumatera Utara, di Jambi dan urang Banjar nang bagana di Yogyakarta, datang mahadiri kagiatan ngarannya Pra Kongres Budaya Banjar II di Banjarmasin. Jar katarangan nang dipadahakan ungkara ini tujuannya gasan mangsuksisakan Kongres Budaya Banjar II nang cagar diadaakan tahun 2010 kaina.
Kabatulan (ba ulun kah atawa ba unda kah nih, ba unda hajalah karana nang tuha-tuha jarang jua nang mambuka blog) unda tanggal 7 April 2009 di SMS ading Drs.H. Syarifuddin R kawan nang jadi panitia gawi, bunyinya kaya ini: “Pa tgl. 27-28 April 09 nanti dilaksanakan Pra Kongres Budaya Banjar II . Rencana pian sebagai salah satu nara sumber untuk topik Sejarah Orang Banjar di Perantauan yang intinya kira2 uot line/TOR nya baiknya kaya apa. Mudahan pian bisa. Makasih. Catatan gambar dan tulisan2 pian di blog sudah ulun lihat n baca”. SMS nang itu lalu unda jawab kaya ini: “Aku tgl 11 April hari sabtu ka Bjr (tgl 8 maconteng pamilu dulu), bisa aja ikut kegiatan2, kalu TOR utk itu ya mungkin mulai asal muasalnya, mengapa dan bagaimana dtng, sendiri2 atau rombongan/keluarga, selanjutnya kegiatan /usaha, komunitas, pembauran, dll, itu a.l. bahas ajalah dg teman2, maksh sampai ketemu d bjr”. Ini balasan Syarifuddin: “Inggih pas aja hasil rapat semalam kaya itu, kaena hasilnya untuk penulisan/pembahasan makalah Kongres Kebudy Banjar II 2010. Makasih”.
Singkat kisah tanggal 11 April 09 Sabtu imbah tanghari ulun wan bini sudah sampai di rumah nang di Komplek Beruntung Jaya di Banjarmasin. Kada lawas pang di jalan karana tarabang dibawa Mandala.Tanggal 20 April 09 ada urang bapakaian dinas kantoran datang ka rumah maatar surat: salambar surat Undangan Peserta Prakongres Budaya Banjar II, sabuting lagi Undangan pembukaan Prakongres Budaya Banjar II, lalu ada salambar lagi nang batanggal 14 April 2009, perihal: Mohon menjadi Nara Sumber Prakongres Budaya Banjar II wan lampirannya naskah Proposal Pra Kongres Kebudayaan banjar II. Baik surat maupun naskah proposal sama haja isinya intinya babunyi mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara untuk berperan sebagai Nara Sumber, tantang:
1. Sejarah Orang Banjar di Peantauan disampaikan oleh Drs. H. Ramli Nawawi.
2. Tradisi Adat Istiadat disampaikan oleh Suriansjah Ideham.
3. Bahasa dan Sastra Banjar disampaikan oleh Prof.DR. Djantera Kawie
4. Pemuda dan Kebudayaan Banjar disampaikan oleh Drs. M. Kasim Abdurrahman MA
5. Membangun Komunitas Orang Banjar dan Kemaslahatan Warga di Perantauan disampaikan oleh Drs. H. Bihman Muliansyah.
Kerangka acuan/draf dimaksud diharapkan dapat disampaikan kepada panitia selambat-lambatnya April 2009. Tgl 22 April 09 unda SMS sdr Syarifuddin makalah bisa diambil, siang ada nang maambil. Lalu lanjut kisah hari Jumahat tgl 24 Mai ada nang maatar surat Penundaan Prakongres Kebudayan Banjar II karana sesuatu hal ke hari Jumahat dan Sabtu tgl. 1 dan 2 Mei 2009. Jam tatap mulai jam 8.00 (sesuai jadwal) wan tampat tatap jua Gedung Dekranasda.
Lanjut kisah lagi pukul 8.00 hari Jumahat sudah takumpul urang-urang nang diundang. Panitya ti sudahnya siap badahulu. Undangan nang hadir bah parak sabarataan babaju sasirangan bamacam-macam warna. Nang bapidato cagar mambuka jar gubernur. Lawas jua pang mahadangi bajam-jam labih hanyar sidin datang. Maklum hajalah karana sidin banyak gawian nang lain. Pidato sidin baik pang, antara lain jar sidin jangan tarjadi akulturasi nang maulah budaya kita Banjar bisa hilang.
Imbah tuntung bapidatu lalu maunjuki hadiah panghargaan budaya kapada 5 urang nang banyak bajasa dalam bakabudayaan wan sudah tuaha-tuha. Lima orang saniman wan budayawan itu adalah abah-abah H. Anang Ardiansyah, H. Anggeraini Antemas, Drs. H. Syamsiar Seman, H. Adjim Arijadi wan Mat Nyarang. Ujar jua nih selain tanda panghargaan ada jua amplopnya nang baisi duit. Sidin-sidin umumnya pinandu haja lawan unda (tuh di bawah ada gambar unda wan sidin nang badua).
Imbah ini lalu kisah nang manyampaiyakan makalah kerangka acuan. Imbah unda baca jadual acara nara sumbar nya ada tujuh jadi batambah badua. Saikung dari Indragiri Hilir Riau, judul makalah Sejarah Orang Banjar di Perantauan (Kabupaten Indragiri Hilir, Riau), di catatan batis halaman pertama ada tatulis Makalah Pembahas (pembanding). Wan isinya bagus sudah meuraiyakan banyak tantang orang Banjar nang badiam di Tambilahan. Nang jalas bukan barupa TOR atau Kerangka Acuan, sahingga panitia nang mambacakan kasimpulan kongres baucap kaina untuk sajarah orang Banjar di perantauan tu kada usah talalu ……contohnya nang kaya ampun sidin dari Tambilahan tu haja.
Tambahan satunya lagi makalah bajudul Selayang Pandang Potret Budaya Orang Banjar di Tanah Deli Sumatera Utara. Unda baca, juga mauraiyakan keadaan orang Banjar di Tanah Deli. Tambahannya nang dari Deli ini di bagian buntut ada Rekomendasi Untuk Kongres Budaya Banjar II. Banyak rekomendasinya hampir 2 halaman.
(sampai di sini dulu lah kaina mun rajin ditarusakan…, sambil latihan maulah makalah basa banjar, karana samalam tu ada nang mausul handak banar makalah supaya ditulis mamakai basa banjar, maka basa banjar tu kadada aksaranya, dulu datu nini kita mamakai aksara /huruf Arab. Maaflah mun ada salah kata, paramisi dulu lah…..Eh satumat kalupaan lagi ini mun handak mambaca TOR/Kerangka panulisan nang ulun tawarakan gasan sampian-sampian urang Banjar di parantauan nang handak maulah sajarah bubuhan sampian lihati di blog ini nang ulun kirim tgl. 21 April 2009 wan ada tatulis tidak mangikat, karana jar panitia gasan Kongres Budaya Banjar II kaina tu siapa haja bulih maulah, jadi kada nang bamirik budayawan atawa saniman haja atawa sarjana haja, ya... kaina dipilhi oleh panitia mana-mana nang bakal disampayakan/dibacaakan di hadapan para pasarta. Kayanya kaya tu kasimpulan samalam. Nah ...sampai di sini dulu lah.. sakali lagi maaf lah kalu ada salah kata. Paramisi................. (HRN)
) HRN.
Langganan:
Postingan (Atom)