Selasa, 25 Maret 2014

FATWA



(FATWA
Cuplikan dari tabloid Republika 24 juli 2009

Apakah sebenarnya riba itu?
Dijelaskan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, cendekiawan Muslim terkemuka asal Mesir, bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta.

“Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka termasuk riba, dan tidak boleh disedekahkan,”tandasnya.

Sejatinya, keharaman bunga juga telah ditetapkan dalam berbagai forum dan lembaga Islam, baik nasional maupun internasional. Majma’ul Buhuts-al-Islamy di Al-Azhar, Mesir misalnya, sudah memutuskan hal ini pada Mei 1965.

Majma’al Fiqh al-Islamy negara-negara OKI yang berlangsung di Jeddah tanggal 22-28 Desember 1985 juga serupa. Keputusan dari Dar Al-Itfa, kerajaan Arab Saudi, bahkan sejak tahun 1979.
bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan.
Dari dalam negeri, ada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000 yang menyatakan bunga tidak sesuai dengan syari’ah. Juga keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1967 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaedah Islam. (keliping).         

Kamis, 20 Maret 2014

PERIHAL KEBERADAAN NILAI BUDAYA ORANG BANJAR (Kalimantan Selatan)



 PERIHAL KEBERADAAN NILAI BUDAYA ORANG BANJAR
(Kalimantan Selatan)
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

 Dalam hal mengungkap berbagai nilai budaya yang sejak dulu berkembang di masyarakat Banjar. Apakah aspek budaya itu masih utuh atau sudah mengalami modefikasi, dan apakah juga nilai-nilainya tidak bergeser sebagaimana makna yang dikandungnya.
Aspek-aspek budaya dimaksud setidak-tidaknya terdapat dalam unsur-unsur budaya: 1.unsur kepercayaan, 2.unsur kemasyarakatan, 3.unsur ekonomi, 4.unsur teknologi, 5.unsur pengetahuan, 6.unsur bahasa, 7.unsur seni.
 Perlu pula disadari bahwa dari kebudayaan tiap suku bangsa, termasuk kebudayaan Banjar, terdapat aspek budaya yang telah dinyatakan sebagai Kebudayaan Nasional.  Secara lengkap yang disebut Kebudayaan Nasional adalah setiap karya orang Indonesia dari suku bangsa manapun yang mempunyai sifat khas dan bermutu tinggi sehingga sebagian besar orang Indonesia lainnya mau mengidentifikasikan diri serta merasa bangga dengan hasil karya orang tersebut.
Aspek-aspek budaya dari berbagai suku yang dapat diterima oleh umumnya suku-suku bangsa lainnya dimaksud biasa disebut sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Puncak-puncak dari kebudayaan daerah inilah yang dinamakan Kebudayaan Nasional. Sementara indikator aspek-aspek budaya yang disebut sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti: a. komunikatif, dapat diterima oleh sebagian besar suku bangsa lainnya, b. merupakan kebanggaan nasional, c. mengandung nilai-nilai Pancasila, d. mencerminkan kualitas, mutu, e. menuju tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan, f. terbuka untuk pengayaan, penyempurnaan, g. sebagai ungkapan identitas Indonesia.
Puncak-puncak budaya daerah yang diakui sebagai Kebudayaan Nasional ini meliputi berbagai unsur budaya, antara lain: motif pakaian, bentuk bangunan, organisasi kemasyarakatan, peralatan hidup, bahasa, seni, dll.
Dalam hal melakukan pembinaan dan pengembangan Kebudayaan Banjar, maka aspek-aspek Budaya Banjar yang telah termasuk sebagai Budaya Nasional perlu dikenalkan dan diwariskan kepada masyarakat dan generasi  muda Banjar, agar di kelak kemudian hari tidak justeru hidup dan berakar di luar bumi dan masyarakat Banjar.      
            Perlu juga disadari bahwa setiap suku bangsa mempunyai kebanggaan budaya masing-masing. Mungkin pula ada daerah-daearah yang ketika masyarakatnya  dihadapkan pada pilihan-pilihan berdasarkan kepentingan apalagi masalah keyakinan, maka orang akan terbawa pada kenyataan munculnya “in group” dan “out group” (kelompok dalam dan kelompok luar). Bahkan dari 24 etnis yang tercatat saat ini yang mendiami berbagai daerah di Indonesia, juga tampaknya ada daerah-daerah yang sebagian masyarakatnya memiliki sikap yang dinamakan “etnosentris”. Kelompok masyarakat ini mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan kelompok di luarnya. Maka ketika ada kelompok orang Banjar berada di daerah perantauan dalam situasi dimaksud, sejauh mana keberadaan aspek-aspek budaya Banjar, apakah luntur atau justeru menjadi semakin kukuh dan tetap berkembang.
       Berbicara perihal kelompok-kelompok keberadaan orang Banjar yang saat ini sudah  berdiam di berbagai daerah di Indonesia, “madam ka banua orang” meninggalkan daerah kelahiran, umumnya mempunyai latar belakang yang beragam Memang orang madam ke benua orang sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Banjar dulu. Sementara keperluan madam seseorang, baik sendiri bersama keluarga atau kelompok lainnya, sebabnya bermacam-macam.
        Kalau pada masa Kerajaan Banjar orang madam umumnya semula berawal dari keperluan berdagang dan kemudian sebagian menetap di kota perdagangan. Ada pula karena terdampar atau sengaja singgah di kota-kota pelabuhan sepulang dari menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam zaman penjajahan ditambah lagi dengan mencoba mencari penghidupan yang lebih baik, atau menghindar dari tuntutan-tuntutan kewajiban yang dibebankan penguasa setempat, dan ada juga yag bersekolah ke daerah-daerah yang memiliki pesantren agama yang dikenal kesuhurannya, atau alasan lainnya. Sedangkan waktu revolusi merebut kemerdekaan ada pula mereka yang madam untuk menghindar dari kejaran dan penangkapan-penangkapan tentara Belanda. Mereka kelompok-kelompok yang madam dalam masa-masa tersebut di atas,  merupakan komunitas orang Banjar yang saat ini terdapat di berbagai daerah di Indonesia.
         Sedangkan tentang kegiatan dan usaha komunitas warga Banjar keturunan mereka yang madam zaman Kerajaan Banjar dan zaman penjajahan mungkin sudah beragam sebagaimana penduduk asli setempat. Yang perlu diungkap dalam kehidupan komunitas Banjar keturunan ini sejauhmana karakter kekhasan budaya Banjar masih terdapat dalam pola kehidupan mereka.
         Satu hal yang perlu dicatat bahwa orang Banjar dikenal masyarakat luar sebagai orang agamis. Memang dalam sejarah sejak Kerajaan Banjar lahir, Islam mulai berkembang di banua Banjar. Bahkan Islam di Negeri Banjar mencapai puncak ketenaran ketika mendapat pembinaan dan penyebarannya yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari seorang ulama Banjar setelah mendalami pengetahuan keislaman selama 32 tahun di Mekah dan Madinah. Karena itulah maka baik masyarakat zaman Kerajaan Banjar, maupun masyarakat Banjar zaman penjajahan, serta masyarakat Banjar zaman kemerdekaan, tetap dikenal sebagai masyarakat agamis.
          Lalu bagaimana karakter masyarakat agamis, ajaran Islam mengajarkan dan mewariskan sikap berhati-hati (wara’) dengan apa yang menjadi hak diri pribadi dan hak orang lain. Namun masyarakat Banjar sejak zaman Kerajaan Banjar juga dikenal sebagai masyarakat dagang yang mewariskan kelompok kebebasan berkompetisi. Kedua karakter masyarakat Banjar tersebut yakni wara’ dengan hak pribadi dan hak orang lain serta bebas dalam berkompetisi, memberikan gambaran bahwa orang Banjar aslinya berkarakter jujur. Selain itu apakah masyarakat Banjar mewarisi karakter masyarakat feodal zaman Kerajaan Banjar, tampaknya tidak banyak mempengaruhi perkembangan budaya   masyarakat Banjar. Karakter masyarakat feodal yang menonjolkan asal usul dan asesori diri serta memandang martabat dari peranan dan kekuasaan, tampaknya tidak terwariskan karena memang tokoh sentralnya (sultan atau raja) tak berlanjut sejak dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda sejak abad ke 19, juga tidak sejalan dengan ajaran Islam yang dianut masyarakat, yang memandang manusia sama di hadapan Allah kecuali dari segi ibadahnya.
Di beberapa daerah atau kota-kota besar di berbagai propinsi di Indonesia tampaknya sudah sejak lama ada wadah komunitas orang Banjar. Mereka memberi nama organisasi dengan tidak meninggalkan label Banjar. Bagi komunitas perantau yang telah terwadahi ini umumnya aspek-aspek Budaya Banjar masih hidup dan terjaga, karena sering teraktualisasi dalam kesempatan- kesempatan pertemuan yang mereka lakukan, walaupun tentu saja terbatas pada apa-apa saja yang sempat diwariskan oleh nenek-kakek mereka.
        Ada juga komunitas Banjar di perantauan yang diikat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti kegiatan pengajian, yasinan, dan lainnya. Bahkan ada daerah-daerah yang mempunyai masjid yang dibangun warga Banjar sendiri, walaupun kemudian dalam pengelolaannya dilakukan bersama-sama dengan masyarakat penduduk sekitarnya, sebagai bukti bahwa masyarakat Banjar tidak berkarakter in-group dan out-group. Sebagai pribadi-pribadi yang berasal dari daerah Banjar Kalimantan Selatan yang dikenal agamis dan berpengatahuan keagamaan yang cukup, umumnya di manapun mereka bermukim akan diminta bahkan dipercaya untuk memimpin kegiatan keagamaan.
                 Kita mungkin belum pernah mendengar ada komunitas Banjar di perantauan yang keberadaannya ditolak masyarakat setempat. Tetapi kalau kasus-kasus individu orang Banjar diperantauan mungkin suatu kekecualian, karena kita sadari juga bahwa ada orang-orang Banjar yang melenceng dari karakter budaya asalnya.
          Perlu juga digambarkan ketika keturunan warga Banjar di perantauan dalam pembauran telah terjadi kawin-mawin dengan suku-suku asal daerah lain. Memang tidak dapat dimungkiri akan terjadi akulturasi budaya antara kedua pendukung budaya. Banyak hal yang bisa terjadi bagi keturunan mereka, seperti bahasa yang banyak dipakai dalam rumah tangga, istilah-istilah pengganti nama yang dipakai, sejauh mana kesanggupan mengenalkan dan mewariskan budaya Banjar bagi generasi penerusnya, dan sebagainya.

(HRN: Harap naskah ini tidak diposting kr blog lain).           


Sabtu, 08 Maret 2014

BUKU-BUKU HASIL KARYA DRS. H. RAMLI NAWAWI

 KARYA-KARYA TULIS YANG DITERBITKAN

Buku-Buku Karya Tulis Sendiri:
  
1.Dewan Banjar, Penerbit Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang  Banjarmasin, ISBN: 979-9464-02-1, th. 2000.

2.Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Penerbit Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Yogyakarta, ISBN: 979-8971-02-7, th. 1998.

3.Ekspedisi Laut Dari Jawa Ke Kalimantan Selatan Pada Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Penerbit BKSNT Yogyakarta, ISBN: 979-8971-01-9, th.1998.

4.Masjid Ampel, Sejarah, Fungsi dan Peranannya, Penerbit dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No. 018/P/1999, th. 1999.

5.Kehidupan Suku Bukit Loksado Di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-01-3, th. 2000.

6.Perjuangan Kaum Republikein Menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-00-5, th. 2001.

7..Masjid Besar Semarang Peranannya Dalam Pengembangan Islam, Penerbit MSI  Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-10-7, th. 2001.

8.Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan Unsur Supra Natural Pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1945-1949, Penerbit MSI Cabang Yoyakarta, ISBN:979-9419-09-3, th. 2001.

9.Pondok Pesantren Tahaffudzul Qur'an Semarang Perkembangan dan Peranannya, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-16-6. th. 2004.

10.Masjid Gala Peninggalan Sunan Bayat Keadaan dan Peranannya (1980-2002), Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-15-8, th. 2004.
  
11.Dugderan Di Semarang Suatu Kajian Sejarah Tradisi Budaya Sebagai Aset Wisata, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-17-4, th. 2004.

12.K.H. Abdullah Umar Al Hafdz, Kehidupan, Pengabdian dan Pemikirannya,  Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2004.

13.Quwwatul Islam Masjid Para Pedagang Banjar Di Kota Yogyakarta, Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2005.


Sebagai Ketua Tim Penulis Buku-Buku:

1.Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (IDSN) Jakarta, 1984.

2.Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga Dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Banjarmasin,  1984.

3.Sejarah Kota Banjarmasin, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.

4.Tingkat Kesadaran Sejarah Siswa SMTA dan Masyarakat di Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.

5.Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (IPNB) Banjarmasin, 1989..

6.Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IPNB Banjarmasin, 1991.

7.Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P3NB) Banjarmasin, 1992.

8.Sejarah Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Di Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1993.

.9.Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Kelurahan Pelambuan Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek P3NB Banjarmasin, 1993.
  
10.Sisitem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB) Banjarmasin, 1994.

Sebagai Anggota Tim Penulis Buku-Buku:

1.Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Kalimantan    Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1983.
2.Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit  Bagian Proyek P3NB Banjarmasin, 1992.

3.Pembinaan Disiplin Di Lingkungan Masyarakat Kota Banjarmasin, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1994.

4.Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Kalimantan Selatan (Periode 1945-1949), Penerbit Pemda Tinkat 1 Kalimantan Selatan, 1994.

5.Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas sumber Daya Manusia Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1995.

   6.Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1996.

   7.Dampak Globalisasi Informasi Dan Komunikasi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, ISBN 979-95571-1-9, th.1998.

     (HRN: Buku-buku sebagian ada di Perpustakaan Daerah Banjarmasin dan di Balai Pelestarian Jarahnitra  Yogyakarta)

Rabu, 19 Februari 2014

CERITA ANAK DESA



CERITA ANAK DESA

Digelandanginya malam hingga tua
Dengan harap hati melimpah-limpah
Dan hasrat yang menggelonjak merobek kulit

Dirangkulnya satu bayangan cita-cita
Dengan kegairahan hati penuh hasrat
Namun ia hanya tersungkur hampa

Dan malam lain kepergiannya ditangisi bayi
Ada kabar cahaya dalam jurang tengah rimba
Begitu citanya tetap melonjak-lonjak

Akhir malam dimulainyalah perjalanan
Dilepas tangis anak kekasih
Dimulainyalah langkah kejantanan

Kemudian diserusupinya semak perintang
Tiada hiraukan gatal dan pedihnya luka
Dibayangkannya fajar pagi serba keindahan

Berkat keteguhan hatinya menahan bisa
Ia pulag disuntingi pantulan irama baru
Serta elok-eloknya awan menyongsonginya


(by: ramli nawawi, album 29 Maret 1957)

(HRN: maaf jangan dicopy ke blog lain)

Kamis, 13 Februari 2014

SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI



SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang pembaharu di zamannya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kitab-kitab karangan beliau, bahwa tidaklah beliau begitu saja menyalin sesuatu pendapat dari kitab yang terdahulu, kecuali sesudah beliau lakukan penelitian ”kuat atau tidaknya” pendapat tersebut. Sebagai ulama di zaman itu beliau seorang pemberani dalam tindakannya, merubah dan menentang faham yang telah berkembang sebelumnya.

Sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad ini telah berkembang faham Wihdatul Wujud yang bersumber dari Al Hallaj. Syekh Muhammad Arsyad menentang faham tersebut. Hal itu dapat dilihat dari dukungan beliau terhadap karya Nuruddin Ar Raniry, yaitu kitab ”Shirathul Mustqim” yang ditulis dalam rangka menentang faham Al Hallaj yang dikembangkan oleh Hamzah Fansyuri di Aceh. Isi kitab Shirathul Mustaqim  tersebut beliau tuliskan di tepi kitab ”Sabilal Muhtadin” hasil karya beliau.

Islam yang masuk ke Indonesia ini adalah menurut Mazhab Imam Syafi’i, karena itu diduga masuknya dari Gujarat. Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang yang termasuk dalam aliran ”mujtahid mazhab”, karena beberapa faham beliau terdapat perbedaan dengan penganut-penganut mazhab Syafi’i. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Imam Nawawi dan Imam Gazali, yang keduanya terkenal sebagai penganut aliran tersebut.

Sebelum Syekh Muhammad Arsyad menyebarkan Islam  di daerah ini, sudah ada pula orang-orang Arab yang datang ke daerah ini untuk berdagang. Diantara para pedagang Arab tersebut terdapat suku Arab ”Baalwi” (Sayyid keturunan puteri Rasulullah, Siti Fatimah). Mereka ini menggunakan gelar”Sayyid”. Dari mereka inilah secara tidak langsung berkembang faham Syi’ah sampai ke daerah ini, sebagai akibat fanatisme mereka itu yang sangat mengagungkan Saidina Ali dan turunannya. Para Sayyid itu mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam Keraton Banjar. Pengaruh mereka terhadap keraton ini sudah ada sejak zaman Sultan Suriansyah. Dan hal inipun dibasmi oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Di daerah ini dikenal ” hukum perpantangan” yang bersumber dari Syekh Muhammad Arsyad. Beliau melihat bahwa dalam masyarakat Banjar utamanya, suami isteri mempunyai andil yang sama dalam membina kehidupan keluarga. Pada umumnya orang Banjar suami dan isteri sama-sama bekerja. Kehidupan ini jelas dapat dilihat dalam keluarga petani. Sehubungan dengan itu Syekh Muhammad Arsyad berpendapat bahwa dalam hal bercerai atau salah seorang meninggal dunia, maka hak milik yang diperoleh selama berumah tangga itu dibagi dua lebih dahulu, selanjutnya baru dilakukan pembagian menurut hukum waris dalam Islam yang biasa. Dan ini satu-satunya pendapat yang tidak pernah difatwakan oleh ulama-ulama di negeri lain, ataupun oleh Imam Syafi’i sendiri

Di daerah ini pada umumnya aliran Thariqat (seperti yang bersumber dari Sofi Al Hallaj, dan lain-lainnya), tidak dapat tumbuh secara terbuka, karena brtentangan dengan faham Sultan yang mengikuti fatwa-fatwa dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Juga karena pengaruh-pengaruh Syekh Muhammad Arsyad dalam masyarakat Banjar itu dapat membendung faham-faham tersebut.

Dalam pengajian-pengajian di daerah ini umumnya diajarkan:
1. Ilmu Fiqh, menggunakan kitab Sabilal Muhtadin, karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
2. Ilmu Tasauf, menggunakan kitab Sairus Salikin karya Syekh Abdus Samad Al Falimbangy, yang telah dibuat sadurannya oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan nama Kanzul Ma’rifah.

Syekh Muhammad Arsyad dalam ajaran beliau ”tidak memisahkan Syari’at dan hakekat”. Sebab syaria’at dan hakekat bukan dua hal yang berpisah. Syaria’at tanpa hakekat adalah kosong, dan hakekat tanpa syari’at adalah fasik.

Untuk menyesuaikan tahun Hijriah ke tahun Masehi dapat ditempuh cara: (a) menghitung selisih kedua perhitungan tahun itu, dengan mengingat bahwa tahun Hijriah dimulai pada tahun 622 Masehi, dan (b) bahwa setiap 33 tahun, perhitungan tahun Hijriah ditambah 1 (satu) tahun karena bulan Hijriah hanya terdiri dari 29 dan 30 hari saja.

(Catatan: Semua isi naskah ini hasil wawancara saya dengan seorang Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Banjarmasin tahun 1976, waktu sebagai mahasiswa doktoral jurusan Sejarah Fkg UNLAM Banjarmasin).

(HRN: Maaf naskah ini jangan dicopy ke blog lain).     .    

Jumat, 24 Januari 2014

PULAU KAMBANG



(Sebuah pulau kecil di muara Sungai Barito)

Pada sekitar tahun 1698 pedagang-pedagang Inggeris membuka kantor dagang di Banjarmasin. Hubungan Inggeris dengan kerajaan Banjar tidak begitu baik. Untuk menghancurkan kekuasaan Inggeris ini, raja Banjar bergantung kepada tenaga penduduk asli golongan Biaju di daerah Barito.
Menurut laporan Hamilton tahun 1757 pada waktu malam hari telah turun ke muara Carucuk ini orang Biaju sekitar 3.000 orang. Mereka menyerang loji dan benteng-benteng Inggeris, sedangkan sisanya menghancurkan kapal-kapal yang berada di sungai Barito.
Menurut ceritera orang-orang tua, bangkai kapal-kapal Inggeris itu lambat laun ditumpuki oleh aliran lumpur dari sungai Barito sehingga menimbulkan sebuah pulau, di tengah-tengah sungai Barito. Pulau inilah yang kemudian dinamakan orang Pulau Kambang.
Istilah Pulau Kambang ini ada dua versi:
Versi pertama mengatakan bahwa tanah yang baru muncul di permukaan air itu mengambang atau menguap. Makin lama makin luas, sehingga pulau itu dinamakan Pulau Kembang atau Pulau Maluap.
Versi yang kedua mengatakan lain lagi. Setelah pulau itu muncul di permukaan air dan ditumbuhi hutan dia menjadi kediaman sekelompok monyet. Orang desa sekitarnya menganggap bahwa monyet-monyet itu tidak lain dari pada orang halus yang memakai sarungan monyet. Kelompok monyet ini dipimpin seekor yang besar sekali. Ia diberi nama si Angggur.
Pulau yang baru muncul ini kemudian dijadikan orang tempat bernazar. Mereka datang ke pulau ini membawa sajen seperti pisang, telor, nasi ketan dan sebagainya. Dan ini selalu disertai mayang pinang dan kembang-kembang. Sajen ini biasanya diberikan kepada kawanan monyet yang ada di pulau tersebut. Pulau tempat berhajat dan menanbur kembang itu disebut orang Pulau Kembang (Kambang).
 (Sumber: M. Idwar Saleh, BANJARMASIH, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalsel, 1982).