Nama: Drs. H. Ramli Nawawi, alumnus Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah UNLAM Banjarmasin (1977). Pengalaman: Guru SMP Simpur 1961-1962, Guru SMPN 1 Barabai 1963-1964, Guru SMPN 1 Kandangan 1965-1967, Guru SMPN 7 Bjm 1968-1969, Guru SMPN 6 Bjm 1970-1976, Guru SMAN 3 Bjm 1977-1980, Kasi TT PSK/Jarahnitra 1981-1988, Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional Kanwil Depdikbud Prop. Kalsel. 1989-1996, Peneliti Muda, Peneliti Madya, Ahli Peneliti Muda, Ahli Peneliti Madya Jarahnitra pada BKSNT Yogyakarta 1967-2006.
KARYA-KARYA TULIS YANG DITERBITKAN
BUKU KARYA TULIS SENDIRI:
1.Dewan Banjar, Penerbit Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-02-1, th. 2000.
2.Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Penyebaran Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Kalimantan Selatan, Penerbit Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Yogyakarta, ISBN: 979-8971-02-7, th. 1998.
3.Ekspedisi Laut Dari Jawa Ke Kalimantan Selatan Pada Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Penerbit BKSNT Yogyakarta, ISBN: 979-8971-01-9, th.1998.
4.Masjid Ampel, Sejarah, Fungsi dan Peranannya, Penerbit dalam Laporan Penelitian Jarahnitra, No. 018/P/1999, th. 1999.
5.Kehidupan Suku Bukit Loksado Di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-01-3, th. 2000.
6.Perjuangan Kaum Republikein Menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, Penerbit MSI Cabang Banjarmasin, ISBN: 979-9464-00-5, th. 2001.
7..Masjid Besar Semarang Peranannya Dalam Pengembangan Islam, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-10-7, th. 2001.
8.Kiprah Perjuangan Tentara Pelajar dan Peranan Unsur Supra Natural Pada Masa Perang Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1945-1949, Penerbit MSI Cabang Yoyakarta, ISBN:979-9419-09-3, th. 2001.
9.Pondok Pesantren Tahaffudzul Qur'an Semarang Perkembangan dan Peranannya, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-16-6. th. 2004.
10.Masjid Gala Peninggalan Sunan Bayat Keadaan dan Peranannya (1980-2002), Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-15-8, th. 2004.
11.Dugderan Di Semarang Suatu Kajian Sejarah Tradisi Budaya Sebagai Aset Wisata, Penerbit MSI Cabang Yogyakarta, ISBN: 979-9419-17-4, th. 2004.
12.K.H. Abdullah Umar Al Hafdz, Kehidupan, Pengabdian dan Pemikirannya, Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2004.
13.Quwwatul Islam Masjid Para Pedagang Banjar Di Kota Yogyakarta, Laporan Penelitian BKSNT Yogyakarta, th. 2005.
KETUA TIM PENULIS BUKU:
1.Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (IDSN) Jakarta, 1984.
2.Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga Dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Banjarmasin, 1984.
3.Sejarah Kota Banjarmasin, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.
4.Tingkat Kesadaran Sejarah Siswa SMTA dan Masyarakat di Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1986.
5.Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (IPNB) Banjarmasin, 1989..
6.Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IPNB Banjarmasin, 1991.
7.Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P3NB) Banjarmasin, 1992.
8.Sejarah Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Di Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1993.
.9.Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Kelurahan Pelambuan Propinsi Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek P3NB Banjarmasin, 1993.
10.Sisitem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB) Banjarmasin, 1994.
ANGGOTA TIM PENULIS BUKU:
1.Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Kalimantan Selatan, Penerbit Proyek IDSN Jakarta, 1983.
2.Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P3NB Banjarmasin, 1992.
3.Pembinaan Disiplin Di Lingkungan Masyarakat Kota Banjarmasin, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1994.
4.Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Kalimantan Selatan (Periode 1945-1949), Penerbit Pemda Tingkat 1 Kalimantan Selatan, 1994.
5.Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas sumber Daya Manusia Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1995.
6.Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, 1996.
7.Dampak Globalisasi Informasi Dan Komunikasi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Daerah Kalimantan Selatan, Penerbit Bagian Proyek P2NB Banjarmasin, ISBN 979-95571-1-9, th. 1998.
(HRN: Banjarmasin-Yogyakarta)
Senin, 27 Juni 2011
Rabu, 08 Juni 2011
MAKNA BELAJAR SEJARAH
Disusun: Ramli Nawawi
Belajar sejarah membuat orang menjadi pandai menyesuaikan diri dengan masanya. Sejarah dengan segala peristiwanya yang sudah lewat dapat dijadikan sebagai cermin kehidupan. J. Russel mengatakan dengan belajar sejarah orang tidak akan tertumbuk pada satu tiang yang sama untuk kedua kalinya. Kesalahan-kesalahan masa lampau dijaga agar tidak terulang lagi.
Belajar sejarah dengan cara tiga dimensi menjadikan seseorang mampu melihat jauh ke depan. Dengan mengetahui peristiwa atau peroses kejadian yang telah berlalu, mempelajari dan menganalisa keadaan yang sedang berlaku, maka orang akan dapat mengetahui bagaimana masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu seseorang dapat menentukan sikap apa yang perlu dilakukannya.
Dengan belajar sejarah membuat orang bersikap hati-hati pada masanya. Seorang yang idealis ingin kalau hidupnya dapat memberikan “sesuatu” yang berarti bagi orang lain. Ia banyak belajar dari sejarah bahwa banyak tokoh-tokoh dunia yang hidup abadi dalam sejarah. Jasadnya hancur tapi namanya menghias lembaran sejarah sebagai orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dipaksa untuk tetap menceritakan sesuatu yang keliru. Ia terus berproses sehingga kebenaran telah menang. Sejarahlah yang menilai siapa sebenarnya seseorang itu pada zamannya. Ia akan mewariskan kebanggaan atau kebencian.
Dan dengan belajar sejarah kita tahu bahwa ada priode-priode dalam kehidupsn ini. Generasi ke generasi ada kaitan dan hubungan yang berantai. Apa y ang diwarisi oleh suatu generasi adalah hasil kegiatan perbuatan generasi sebelumnya. Apakah kita menaruh hormat atau merasa mempunyai tanggung jawab morel terhadap hasil perjuangan generasi terdahulu banyak ditentukan bagaimana pengertian sejarah bagi generasi pada masanya.
Sehubungan dengan itu mempelajari sejarah bukan untuk menghafal nama-nama dan tahun-tahun, akan tetapi melihat gejala-gejala dan kejadian-kejadian serta rangkaian sebab akibat suatu peristiwa. Demikian juga harus menanamkan pengertian “kenapa” dan “apa” sebab suatu terjadi dalam ruang, tempat dan waktu yang tertentu. (HRN).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Belajar sejarah membuat orang menjadi pandai menyesuaikan diri dengan masanya. Sejarah dengan segala peristiwanya yang sudah lewat dapat dijadikan sebagai cermin kehidupan. J. Russel mengatakan dengan belajar sejarah orang tidak akan tertumbuk pada satu tiang yang sama untuk kedua kalinya. Kesalahan-kesalahan masa lampau dijaga agar tidak terulang lagi.
Belajar sejarah dengan cara tiga dimensi menjadikan seseorang mampu melihat jauh ke depan. Dengan mengetahui peristiwa atau peroses kejadian yang telah berlalu, mempelajari dan menganalisa keadaan yang sedang berlaku, maka orang akan dapat mengetahui bagaimana masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu seseorang dapat menentukan sikap apa yang perlu dilakukannya.
Dengan belajar sejarah membuat orang bersikap hati-hati pada masanya. Seorang yang idealis ingin kalau hidupnya dapat memberikan “sesuatu” yang berarti bagi orang lain. Ia banyak belajar dari sejarah bahwa banyak tokoh-tokoh dunia yang hidup abadi dalam sejarah. Jasadnya hancur tapi namanya menghias lembaran sejarah sebagai orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dipaksa untuk tetap menceritakan sesuatu yang keliru. Ia terus berproses sehingga kebenaran telah menang. Sejarahlah yang menilai siapa sebenarnya seseorang itu pada zamannya. Ia akan mewariskan kebanggaan atau kebencian.
Dan dengan belajar sejarah kita tahu bahwa ada priode-priode dalam kehidupsn ini. Generasi ke generasi ada kaitan dan hubungan yang berantai. Apa y ang diwarisi oleh suatu generasi adalah hasil kegiatan perbuatan generasi sebelumnya. Apakah kita menaruh hormat atau merasa mempunyai tanggung jawab morel terhadap hasil perjuangan generasi terdahulu banyak ditentukan bagaimana pengertian sejarah bagi generasi pada masanya.
Sehubungan dengan itu mempelajari sejarah bukan untuk menghafal nama-nama dan tahun-tahun, akan tetapi melihat gejala-gejala dan kejadian-kejadian serta rangkaian sebab akibat suatu peristiwa. Demikian juga harus menanamkan pengertian “kenapa” dan “apa” sebab suatu terjadi dalam ruang, tempat dan waktu yang tertentu. (HRN).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Rabu, 25 Mei 2011
LINTASAN SEJARAH BANJAR
(Kalimantan Selatan)
Menurut Hikayat Banjar, pada abad ke 14 di tanah Banjar berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh seorang saudagar dari Negeri Keling yang bernama Empu Jatmika. Ia datang ke daerah ini memenuhi wasiat almarhum ayahnya yang bernama Mangkubumi. Empu Jatmika disuruh agar sepeninggal ayahnya supaya meninggalkan Negeri Keling dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum (pen: subur dan aman).
Empu Jatmika dan keluarganya setelah berlayar ke utara kemudian sampai di suatu daerah bernama Hujung Tanah. Di sinilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum tersebut. Empu Jatmika bersama anak-anak dan pembantunya kemudian mendirikan tempat tinggal dan membangun daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Kahuripan atau Kuripan, yakni daerah Kota Amuntai sekarang. Untuk upacara keagamaan, ia mendirikan sebuah candi, yang kemudian dikenal dengan Candi Agung.
Sebagai tokoh pimpinan, yang kemudian diakui pula oleh penduduk di daerah tersebut, Empu Jatmika kemudian bergelar Maharaja di Canndi. Bahkan Kerajaan Negara Dipa ini semakin bertambah kuat dan wilayahnya semakin bertambah luas berkat usaha penaklukan terhadap daerah-daerah sekitarnya oleh para patih yang bernama Patih Magatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa.
Empu Jatmika memandang dirinya tidak lebih dari seorang saudagar. Ketaatannya memegang ajaran Trimurti, merupakan tonggak kukuh atas pandangannya bahwa kasta Waisye tidak mempunyai hak untuk memerintah. Sehubungan pandangannya itulah ia berwasiat kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat, bahwa sepeninggalnya nanti supaya dicari seorang raja yang sebenarnya.
Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa setelah Empu Jatmika meninggal, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat segera mencari orang yang berhak memerintah di Negara Dipa sesuai wasiat orang tua mereka. Disebutkan bahwa Lambung Mangkurat akhirnya menemukan seorang putri penjelmaan yang keluar dari pusaran air yang berbuaih, sehingga ia dikenal dengan sebutan Putri Junjung Buih.
Selanjutnya untuk mendapatkan seorang raja yang berhak memerintah di Negara Dipa, Patih Lambung Mangkurat menjodohkan Putri Junjung Buih dengan seorang putra raja Majapahit yang bernama Suryanata.
Pusat Kerajaan Negara Dipa yang dibangun oleh Empu Jatmika tersebut kemudian oleh raja yang ketiga sesudah Suryanata, yang bernama Sari Kaburungan dipindahkan ke daerah selatan. Pusat kerajaan yang baru ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Negara Daha. Bandar perdagangan juga dipindahkan dari bandar lama di Muara Rampiau ke bandar baru di Muara Bahan (Marabahan). Tidak lama setelah perpindahan kerajaan inilah Patih Lambung Mangkurat meninggal dan kemudian digantikan oleh Patih Aria Trenggana.
Sari Kaburungan kemudian digantikan oleh anaknya bernama Maharaja Sukarama (lihat silsilah Lambung Mangkurat, posting: 18-2-09). Raja yang baru ini mempunyai tiga orang anak, dua orang putra yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung serta seorang putri bernama Ratu Intan (Putri Galuh). Dari anak putrinya ini Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu bernama Raden Samudera.
Diterangkan bahwa menjelang akhir hayatnya Maharaja Sukarama telah mewasiatkan kepada Patih Trenggana, bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Karena itulah sepeninggal Sukarama di Negara Dipa terjadi perebutan tahta. Maka untuk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Trenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Sehingga Raden Samudera harus hidup menyamar sebagai anak nelayan di daerah orang Serapat, Belandian, Kuwen di muara Sungai Kuwen.
Sebagai anak yang tertua maka Pangeran Mangkubumi kemudian naik tahta mengganikan Sukarama. Namun karena suatu fitnah Pangeran Mangkubumi dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri.
Sementara itu seorang penguasa bandar di daerah di mana Raden Samudera menyamar sebagai anak nelayan bernama Patih Masih kemudian menemukan putra mahkota yang terbuang tersebut. Dan atas kesepakatan 5 orang patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwen dan Patih Balitung, maka Raden Samudera dirajakan di daerah Banjarmasin.
Tindakan para patih ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dan Banjarmasin. Pertentangan yang timbul antara paman dan kemanakan (keponakan) ini membuat sejarah baru dengan adanya permintaan (atas usul Patih Masih) bantuan oleh Raden Samudera kepada Sultan Demak. Sultan Demak waktu itu (Sultan Trenggono) bersedia membantu dengan syarat kalau sudah menang Raden Samudera harus beragama Islam. Dan persyaratan ini diterima baik oleh Raden Samudera.
Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera terdiri atas 1000 orang Demak; serta rakyat di daerah yang dahulu merupakan daerah kekuasaan Maharaja Sukarama seperti Sambas, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Asam-asam, Kintap, Takisung, Tabanio, dan beberapa daerah lainnya; juga terdapat kelompok pedagang yakni orang Melayu, Cina, Bugis, Makasar dan orang Jawa yang ada di Banjarmasin
Perang ini berakhir dengan pengakuan secara tulus yang diberikan oleh Pangeran Tumenggung terhadap keponakannya (Raden Samudera) yang memang berhak atas kerajaan waktu itu. Atas pengakuan dan ketulusan Pangeran Tumenggung menyerahkan kerajaan kepada keponakannya tersebut, maka Raden Samudera kemudian menyerahkan daerah Batang Alai dan Batang Amandit untuk tetap diperintah oleh pamannya yang tetap bermukim di Negara Dipa.
Selanjutnya sesuai dengan perjanjian dengan Sultan Demak, maka Raden Samudera kemudian memeluk agama Islam. Ia kemudian bernama Sultan Suriansyah, dan sebagai pusat kerajaan ditetapkan di Banjarmasin yakni di daerah Desa Kuwen. Karena itulah Sultan Suriansyah dikenal sebagai raja pertama pendiri Kerajaan Banjar (Banjarmasin) yang beragama Islam. Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526-1550.
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) ini selanjutnya oleh Sultan Mustainullah (Sultan yang ke 4) ibu kotanya dipindahkan ke daerah Martapura. Perpindahan ini berlangsung pada tahun 1612. Perpindahan tersebut didasari pertimbangan bahwa ditempat baru itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang asing (Inggeris dan Belanda yang waktu itu kapal-kapalnya sudah sampai di Banjarmasin).
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801) penyebaran Islam di Kerajaan Banjar mengalami penyebaran pesat. Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang telah kembali setelah belajar agama selama 32 tahun di Mekah.
Salah seorang sultan yang pada masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857). Sultan Adam telah memberlakukan suatu undang-undang yakni Undang-Undang Sultan Adam yang mewajibkan rakyatnya menjalankan syaria’at Islam dalam kehidupannya di masyarakat.
Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah pada abad ke 16 dan bermula dari cikal bakal di Negara Dipa ini akhirnya dihapuskan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, dengan terlebih dahulu menurunkan dari tahta kerajaan sultan terakhir ialah Sultan Tamjidillah.
Namun Perang Banjar yang dicetuskan Pangeran Antasari bersama dengan Pangeran Hidayatullah (1859-1905) terus berlangsung secara sepuradis di bumi Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah kemudian diasingkan ke Cianjur dan Pangeran Antasari meninggal karena sakit tahun 1862, perlawanan terus berkobar di bawah pimpinan Gusti Muhammad Seman putra Pangeran Antasari. ( Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta)..
Menurut Hikayat Banjar, pada abad ke 14 di tanah Banjar berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh seorang saudagar dari Negeri Keling yang bernama Empu Jatmika. Ia datang ke daerah ini memenuhi wasiat almarhum ayahnya yang bernama Mangkubumi. Empu Jatmika disuruh agar sepeninggal ayahnya supaya meninggalkan Negeri Keling dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum (pen: subur dan aman).
Empu Jatmika dan keluarganya setelah berlayar ke utara kemudian sampai di suatu daerah bernama Hujung Tanah. Di sinilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum tersebut. Empu Jatmika bersama anak-anak dan pembantunya kemudian mendirikan tempat tinggal dan membangun daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Kahuripan atau Kuripan, yakni daerah Kota Amuntai sekarang. Untuk upacara keagamaan, ia mendirikan sebuah candi, yang kemudian dikenal dengan Candi Agung.
Sebagai tokoh pimpinan, yang kemudian diakui pula oleh penduduk di daerah tersebut, Empu Jatmika kemudian bergelar Maharaja di Canndi. Bahkan Kerajaan Negara Dipa ini semakin bertambah kuat dan wilayahnya semakin bertambah luas berkat usaha penaklukan terhadap daerah-daerah sekitarnya oleh para patih yang bernama Patih Magatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa.
Empu Jatmika memandang dirinya tidak lebih dari seorang saudagar. Ketaatannya memegang ajaran Trimurti, merupakan tonggak kukuh atas pandangannya bahwa kasta Waisye tidak mempunyai hak untuk memerintah. Sehubungan pandangannya itulah ia berwasiat kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat, bahwa sepeninggalnya nanti supaya dicari seorang raja yang sebenarnya.
Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa setelah Empu Jatmika meninggal, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat segera mencari orang yang berhak memerintah di Negara Dipa sesuai wasiat orang tua mereka. Disebutkan bahwa Lambung Mangkurat akhirnya menemukan seorang putri penjelmaan yang keluar dari pusaran air yang berbuaih, sehingga ia dikenal dengan sebutan Putri Junjung Buih.
Selanjutnya untuk mendapatkan seorang raja yang berhak memerintah di Negara Dipa, Patih Lambung Mangkurat menjodohkan Putri Junjung Buih dengan seorang putra raja Majapahit yang bernama Suryanata.
Pusat Kerajaan Negara Dipa yang dibangun oleh Empu Jatmika tersebut kemudian oleh raja yang ketiga sesudah Suryanata, yang bernama Sari Kaburungan dipindahkan ke daerah selatan. Pusat kerajaan yang baru ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Negara Daha. Bandar perdagangan juga dipindahkan dari bandar lama di Muara Rampiau ke bandar baru di Muara Bahan (Marabahan). Tidak lama setelah perpindahan kerajaan inilah Patih Lambung Mangkurat meninggal dan kemudian digantikan oleh Patih Aria Trenggana.
Sari Kaburungan kemudian digantikan oleh anaknya bernama Maharaja Sukarama (lihat silsilah Lambung Mangkurat, posting: 18-2-09). Raja yang baru ini mempunyai tiga orang anak, dua orang putra yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung serta seorang putri bernama Ratu Intan (Putri Galuh). Dari anak putrinya ini Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu bernama Raden Samudera.
Diterangkan bahwa menjelang akhir hayatnya Maharaja Sukarama telah mewasiatkan kepada Patih Trenggana, bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Karena itulah sepeninggal Sukarama di Negara Dipa terjadi perebutan tahta. Maka untuk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Trenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Sehingga Raden Samudera harus hidup menyamar sebagai anak nelayan di daerah orang Serapat, Belandian, Kuwen di muara Sungai Kuwen.
Sebagai anak yang tertua maka Pangeran Mangkubumi kemudian naik tahta mengganikan Sukarama. Namun karena suatu fitnah Pangeran Mangkubumi dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri.
Sementara itu seorang penguasa bandar di daerah di mana Raden Samudera menyamar sebagai anak nelayan bernama Patih Masih kemudian menemukan putra mahkota yang terbuang tersebut. Dan atas kesepakatan 5 orang patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwen dan Patih Balitung, maka Raden Samudera dirajakan di daerah Banjarmasin.
Tindakan para patih ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dan Banjarmasin. Pertentangan yang timbul antara paman dan kemanakan (keponakan) ini membuat sejarah baru dengan adanya permintaan (atas usul Patih Masih) bantuan oleh Raden Samudera kepada Sultan Demak. Sultan Demak waktu itu (Sultan Trenggono) bersedia membantu dengan syarat kalau sudah menang Raden Samudera harus beragama Islam. Dan persyaratan ini diterima baik oleh Raden Samudera.
Disebutkan dalam Hikayat Banjar bahwa kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera terdiri atas 1000 orang Demak; serta rakyat di daerah yang dahulu merupakan daerah kekuasaan Maharaja Sukarama seperti Sambas, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Asam-asam, Kintap, Takisung, Tabanio, dan beberapa daerah lainnya; juga terdapat kelompok pedagang yakni orang Melayu, Cina, Bugis, Makasar dan orang Jawa yang ada di Banjarmasin
Perang ini berakhir dengan pengakuan secara tulus yang diberikan oleh Pangeran Tumenggung terhadap keponakannya (Raden Samudera) yang memang berhak atas kerajaan waktu itu. Atas pengakuan dan ketulusan Pangeran Tumenggung menyerahkan kerajaan kepada keponakannya tersebut, maka Raden Samudera kemudian menyerahkan daerah Batang Alai dan Batang Amandit untuk tetap diperintah oleh pamannya yang tetap bermukim di Negara Dipa.
Selanjutnya sesuai dengan perjanjian dengan Sultan Demak, maka Raden Samudera kemudian memeluk agama Islam. Ia kemudian bernama Sultan Suriansyah, dan sebagai pusat kerajaan ditetapkan di Banjarmasin yakni di daerah Desa Kuwen. Karena itulah Sultan Suriansyah dikenal sebagai raja pertama pendiri Kerajaan Banjar (Banjarmasin) yang beragama Islam. Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526-1550.
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) ini selanjutnya oleh Sultan Mustainullah (Sultan yang ke 4) ibu kotanya dipindahkan ke daerah Martapura. Perpindahan ini berlangsung pada tahun 1612. Perpindahan tersebut didasari pertimbangan bahwa ditempat baru itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang asing (Inggeris dan Belanda yang waktu itu kapal-kapalnya sudah sampai di Banjarmasin).
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801) penyebaran Islam di Kerajaan Banjar mengalami penyebaran pesat. Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang telah kembali setelah belajar agama selama 32 tahun di Mekah.
Salah seorang sultan yang pada masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857). Sultan Adam telah memberlakukan suatu undang-undang yakni Undang-Undang Sultan Adam yang mewajibkan rakyatnya menjalankan syaria’at Islam dalam kehidupannya di masyarakat.
Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah pada abad ke 16 dan bermula dari cikal bakal di Negara Dipa ini akhirnya dihapuskan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, dengan terlebih dahulu menurunkan dari tahta kerajaan sultan terakhir ialah Sultan Tamjidillah.
Namun Perang Banjar yang dicetuskan Pangeran Antasari bersama dengan Pangeran Hidayatullah (1859-1905) terus berlangsung secara sepuradis di bumi Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah kemudian diasingkan ke Cianjur dan Pangeran Antasari meninggal karena sakit tahun 1862, perlawanan terus berkobar di bawah pimpinan Gusti Muhammad Seman putra Pangeran Antasari. ( Ramli Nawawi: Peneliti Sejarah dan Nilai Tradisional BKSNT Yogyakarta)..
Minggu, 15 Mei 2011
PERISTIWA 20 MEI 1908
PERISTIWA 20 MEI 1908 KEBANGKITAN YANG BELUM SEPENUHNYA TERWARISI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Menurut pandangan sejarah peristiwa 20 Mei 1908 merupakan titik pangkal dari kegiatan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Peristiwa yang ditandai oleh berdirinya sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo itu kemudian dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Karena arti penting dari kejadian itu dinyatakan sebagai awal lahirnya cita-cita kemerdekaan nusa dan bangsa secara menyeluruh, di samping timbulnya tekad untuk bersatu dalam menghadapi segala kesukaran bersama.
Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 telah didahului oleh suatu peristiwa yang bersifat internasional. Peristiwa yang membuka mata dan memutuskan belenggu mental “minderwaardeg” bangsa-bangsa Asia, suatu anggapan bahwa bangsa Timur tidak akan dapat sejajar apalagi melebihi bangsa Barat.
Sesuatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya telah terjadi. Jepang waktu itu sebagai sebuah negara kecil yang baru bangun di Asia, diluar dugaan telah berhasil mengalahkan Rusia sebuah negara besar di Eropah Timur dalam perang tahun 1904-1905. Kejadian inilah yang menggerakkan palu canang genderang di seluruh Asia, yang menimbulkan kesadaran bahwa bangsa Asia pun dapat mencapai tingkat kemajuan yang sebelumnya dikira hanya dapat dicapai oleh bangsa Barat saja.
Peristiwa kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tersebut merupakan suatu ledakan di Asia sebagai “Costerse Renaissance”. Bangsa-bangsa Timur yang waktu itu dijuluki bangsa kulit berwarna telah bangkit dari tidurnya., mereka telah sadar akan harga diri bangsanya sendiri. Sejak itulah bangsa-bangsa Timur sadar akan tujuan utama hendak mencapai persamaan hak dan martabat dengan bangsa Barat.
Di Indonesia ide mengangkat derajat bangsa ini diwujudkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo melalui sebuah lembaga “Studie Fonds” yang berusaha mengumpulkan dana untuk membiayai pemuda-pemuda yang cakap tapi tidak mampu membiayai sekolahnya.
Himbauan yang dikumandangkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dalam usaha mengumpulkan dana tersebut ternyata mendapat respon positif dari beberapa mahasiswa sekolah dokter di Jakarta.
Himbauan yang dikumandangkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dalam usaha mengumpulkan dana tersebut ternyata mendapat respon positif dari beberapa mahasiswa sekolah dokter di Jakarta.
Di antara mereka itu kemudian dikenal dengan nama Dr. Sutomo dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dalam rangka mewujudkan ide mengangkat derajat bangsa itu kedua mahasiswa tersebut telah membuat suatu program yang lebih luas di dalam suatu wadah yang disebut “Budi Utomo”.
Demikian Budi Utomo lahir dan bergerak dalam pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan teknik-industri, kebudayaan, ilmu, cita-cita kemanusiaan, dan segala yang perlu untuk menjamin kehidupan bangsa yang terhormat. Tidak dimungkiri apabila Budi Utomo dalam masa permulaannya masih berada dalam “Fase Locaal patriotisme” fase kedaerahan. Namun dalam kongresnya yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 5 Oktober 1908 Budi Utomo telah menunjukkan peranannya sebagai suatu organisasi yang berhasil mempersatukan segenap unsur yang mewakili lapisan masyarakat.
Dalam kongres itu hadir dari kaum tua dan muda, golongan Islam, Kristen, Katholik, golongan rakyat dari yang tak bergelar sampai kepada para Pangeran. Suatu peristiwa sejarah yang patrut ditekuni, bahwa bangasa Indonesia sejak saat itu telah dapat dipersatukan apabila ada kepentingan bersama yang sungguh-sungguh “dirasai” dan “diinsafi” bersama. Sementara adanya fase local patriotisme pada masa-masa permulaan dari Budi Utomo lebih ditekankan karena masalah komunikasi dan transportasi.
Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 telah menimbulkan akibat sosial di kawasan Nusantara ini. Organisasi ini kemudian diikuti oleh munculnya organisasi-organisasi lain dengan berbagai macam azas dan programnya. Ada yang bersikap kooperasi ada pula yang bersifat non kooperasi terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Cara yang ditempuh berbeda-beda, tetapi tujuan yang hendak diwujudkan pada hakekatnya sama “Indonesia Merdeka”.
Organisasi-organisasi rakyat yang lahir di Jawa yang dimulai dan dirintis oleh Budi Utomo tersebut, banyak kemudian yang mempunyai cabang-cabangnya di beberapa daerah di Indonesia. Dan adanya organisasi-organisasi ini, merupakan pola baru bagi sistem perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Peralawanan yang bersifat “gerakan” yang lebih ditentukan oleh siapa pemimpinnya telah ditinggalkan. Perlawanan pola baru terhadap penjajah telah menggunakan sifat “pergerakan”, yang lebih menekankan pada “organisasi yang teratur”. Sehingga dengan cara yang baru ini, perlawanan terhadap penjajah tidak lagi akan berhenti atau bubar apabila sang pemimpin tewas atau menyerah, karena dengan sifat organiosasi seseorang pemimpin atau ketua selalu mungkin untuk diganti dengan orang lain apabila yang bersangkutan ternyata tidak mampu mengemban atau menjalankan tugasnya lagi.
Organisasi-organisasi yang lahir sejak Budi Utomo tersebut merupakan potensi baru dalam perjuangan melawan penjajah Belanda . Timbulnya rasa persatuan yang dilandasi “antithese” yakni masa pertentangan antara penjajah dengan yang dijajah , antara faham kolonial dengan faham nasional, antara kekuasaan asing dengan masyarakat kebangsaan.
Demikianlah lahirnya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak awal timbulnya keinsafan dan keyakinan bahwa hanya kesatuan tekad yang revolusioner dan nasional untuk mencapai Indonesia Merdeka. Kebangkitan 20 Mei 1908 akhirnya membuahkan Proklamasi 17 Agustus 1945, membuahkan kemerdekaan Indonesia.
Pada saat ini bangsa Indonesia sudah berada pada fase Repormasi, sesuai dengan cita-cita Budi Utomo yang menghendaki berubahnya segala yang merintangi kemajuan bangsa, supaya bangsa ini dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain serta supaya semua lapisan masyarakat Indonesia dapat mengecap kesejahteraan yang layak sebagai manusia, maka dengan semangatnya Hari Kebangkitan Nasional ini, seyogianyalah bangsa ini bangkit dari “moral” yang menjadikan rakyat ini tidak beranjak dari keterbelakangan martabat dan keterbelakangan kehidupan.
Peristwa 20 Mei 1908 adalah bukti adanya kesadaran orang-orang Asia, termasuk pendahulu-pendahulu bangsa ini (Indonesia) untuk membawa bangsa dan negara ini ketingkat sama dan sederajat dengan bangsa Barat yang dianggap lebih maju, lebih kuat dan lebih jaya. Para pemimpin bangsa-bangsa di Asia ketika itu sadar bahwa kita juga bisa unggul seperti Barat, setelah melihat ternyata ada negara di Asia (Jepang) yang dapat menunjukkan bahwa bangsa mereka dapat lebih unggul dari bangsa Barat (Rusia).
Apakah kesadaran itu sudah terwarisi oleh bangsa Indonesia, oleh para tokoh, oleh para pemuka, oleh para pemimpin. Bumi negeri ini kaya, padahal ada beberapa negeri di Asia yang kerdil, tapi mereka maju berjaya. Bisakah bangsa Indonesia sama dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain?. Mengapa tidak, kalau kita mau bangkit dari ketidak sadaran saat ini.
Apa yang dilupakan bangsa ini untuk bisa maju dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Sadarkah kita bahwa bangsa yang maju identik dengan bangsa yang ber “disiplin”. Bangsa yang makmur identik dengan bangsa yang “jujur”. Bangsa yang dikagumi identik dengan bangsa yang “menjaga harga diri”, malu melakukan yang salah.
Mampukah kita bangsa ini "berdisiplin" dalam berbagai hal, maukah kita bangsa ini berlaku “jujur” dalam berbagai hal, sediakah kita bangsa ini “menjaga harga diri” atau adakah “rasa malu” dalam melakukan yang salah. Walahu a’lam. Tapi menurut saya itulah sekurang-kurangnya indikator dari kebangkitan bangsa yang harus dipenuhi pada saat ini. (HRN: Peneliti Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional).
Jumat, 29 April 2011
DUSTA DALAM AGAMA
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Islam mengajarkan umatnya peduli terhadap orang miskin, termasuk juga anak-anak yatim. Banyak ayat yang secara langsung bersinggungan dengan masalah ini, di antaranya adalah ayat-ayat dalam surah Al Ma’un.
Mari kita perhatikan terjemah Surah Al Maun dalam Al Qur’anul Karim tersebut: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan. Itulah orang yang menolak hak anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan terhadap orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang melalaikan terhadap shalatnya. Yaitu orang-orang yang yang menampak-nampakkan (riya). Dan enggan untuk memberi bantuan (menolong dengan barang yang berguna).
Peduli pada orang-orang miskin sebagaimana disebutkan di atas, merupakan tanggung jawab umat, khususnya bagi orang-orang yang berada (kaya). Menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin menurut pesan surah ini merupakan indikator seseorang mendustakan ajaran agama. Agama menganjurkan, bahkan memerintahkan agar umat peduili pada orang miskin.
Pesan lain Surah Al maun ini terkait dengan orang-orang yang lalai atau tidak ikhlas dalam melaksanakan shalat. Menurut suatu riwayat ayat 4 sampai 7 surah Al Maun tersebut terkait dengan orang-orang munafik di zaman Nabi.
Riwayat itu menyebutkan bagaimana orang munafik mempertontonkan shalat mereka kepada orang-orang yang beriman dan meninggalkannya ketika orang-orang mukmin tidak melihatnya.
Sehubungan dengan ini Muhammad Abduh memberi komentar sebagai berikut: “Mereka adalah orang-orang yang mendirikan shalat, tetapi hanya melakukannya ketika berada di hadapan orang banyak. Mereka mau berbuat baik kepada orang lain ketika tidak akan merugikan mereka, tidak mengurangi martabatnya.
Mereka tidak mau memberi orang lain secara wajar dan tidak mau belas kasihan pada orang lain. Tampaknya yang dimaksud melalaikan shalat dalam ayat di atas salah satunya adalah terkait dengan niat yang tidak ikhlas.
Kasus orang-orang munafik pada zaman nabi ini barangkali hanya sebuah contoh. Di zaman sesudah beliau, sekarang dan akan datang, bisa jadi juga ditemukan orang-orang yang memiliki tipe dan karakter yang sama. Mau melaksanakan shalat, mau peduli pada anak yatim dan orang miskin tetapi memiliki tujuan tertentu, jauh dari niat memperoleh redha Tuhan. Mereka telah melaksanakan shalat, tetapi hanya mendapatkan celaka karena tidak sungguh-sungguh mengerjakannya.
Tidak muncul dari kesadarannya, bahwa sebagai hamba Allah swt, dia harus mengabdi kepadaNya, mengerjakan shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw, demikian komentar seorang ulama tafsir.
Ikhlas itu penting bahkan penentu bagi diterimanya suatu ibadah. Haji harus didasari dengan niat ikhlas, demikian juga umrah, puasa, membayar zakat, shalat, dan lain-lain. Ketika mau shalat harus lurus niatnya, ketika puasa harus lurus niatnya, niatnya tidak lain terkait dengan keikhlasan dalam ibadah itu sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: sesungguhnya setiap amal seseorang tergantung pada apa yang diniatkannya.
Lawan dari ikhlas adalah riya. Orang-orang yang riya dalam ibadahnya sebagaimana orang munafik tersebut di atas, menurut seorang ulama tafsir diindikasikan sebagai berikut:
(1) Menggunakan budi pekerti yang baik guna memperoleh kedudukan dan pujian orang lain.
(2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan kasar, agar dinilai sebagai orang sederhana, zuhud dan menjauhi keduniaan.
(3) Berpura-pura benci atas masalah keduniaan dan merasa menyesal ketika ada sesuatu yang menguntungkan, tapi tidak dilaksanakan.
(4) Gemar shalat dan gemar memberi sedekah agar dilihat banyak orang.
Surah Al Maun di atas sekarang dan akan datang seyogianya menjadi bahan renungan bagi setiap orang Muslim untuk peduli pada orang-orang miskin, dan lurus niat dalam beribadah kepada Allah swt.
Kalau selama ini kita tidak acuh terhadap orang miskin dan belum lurus niat dalam beribadah, maka dengan memahami makna surah Al Maun tersebut, mari ke depan kita merubah sikap kita dan meluruskan niat dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan. Semoga. (HRN)
Islam mengajarkan umatnya peduli terhadap orang miskin, termasuk juga anak-anak yatim. Banyak ayat yang secara langsung bersinggungan dengan masalah ini, di antaranya adalah ayat-ayat dalam surah Al Ma’un.
Mari kita perhatikan terjemah Surah Al Maun dalam Al Qur’anul Karim tersebut: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan. Itulah orang yang menolak hak anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan terhadap orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang melalaikan terhadap shalatnya. Yaitu orang-orang yang yang menampak-nampakkan (riya). Dan enggan untuk memberi bantuan (menolong dengan barang yang berguna).
Peduli pada orang-orang miskin sebagaimana disebutkan di atas, merupakan tanggung jawab umat, khususnya bagi orang-orang yang berada (kaya). Menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin menurut pesan surah ini merupakan indikator seseorang mendustakan ajaran agama. Agama menganjurkan, bahkan memerintahkan agar umat peduili pada orang miskin.
Pesan lain Surah Al maun ini terkait dengan orang-orang yang lalai atau tidak ikhlas dalam melaksanakan shalat. Menurut suatu riwayat ayat 4 sampai 7 surah Al Maun tersebut terkait dengan orang-orang munafik di zaman Nabi.
Riwayat itu menyebutkan bagaimana orang munafik mempertontonkan shalat mereka kepada orang-orang yang beriman dan meninggalkannya ketika orang-orang mukmin tidak melihatnya.
Sehubungan dengan ini Muhammad Abduh memberi komentar sebagai berikut: “Mereka adalah orang-orang yang mendirikan shalat, tetapi hanya melakukannya ketika berada di hadapan orang banyak. Mereka mau berbuat baik kepada orang lain ketika tidak akan merugikan mereka, tidak mengurangi martabatnya.
Mereka tidak mau memberi orang lain secara wajar dan tidak mau belas kasihan pada orang lain. Tampaknya yang dimaksud melalaikan shalat dalam ayat di atas salah satunya adalah terkait dengan niat yang tidak ikhlas.
Kasus orang-orang munafik pada zaman nabi ini barangkali hanya sebuah contoh. Di zaman sesudah beliau, sekarang dan akan datang, bisa jadi juga ditemukan orang-orang yang memiliki tipe dan karakter yang sama. Mau melaksanakan shalat, mau peduli pada anak yatim dan orang miskin tetapi memiliki tujuan tertentu, jauh dari niat memperoleh redha Tuhan. Mereka telah melaksanakan shalat, tetapi hanya mendapatkan celaka karena tidak sungguh-sungguh mengerjakannya.
Tidak muncul dari kesadarannya, bahwa sebagai hamba Allah swt, dia harus mengabdi kepadaNya, mengerjakan shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw, demikian komentar seorang ulama tafsir.
Ikhlas itu penting bahkan penentu bagi diterimanya suatu ibadah. Haji harus didasari dengan niat ikhlas, demikian juga umrah, puasa, membayar zakat, shalat, dan lain-lain. Ketika mau shalat harus lurus niatnya, ketika puasa harus lurus niatnya, niatnya tidak lain terkait dengan keikhlasan dalam ibadah itu sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: sesungguhnya setiap amal seseorang tergantung pada apa yang diniatkannya.
Lawan dari ikhlas adalah riya. Orang-orang yang riya dalam ibadahnya sebagaimana orang munafik tersebut di atas, menurut seorang ulama tafsir diindikasikan sebagai berikut:
(1) Menggunakan budi pekerti yang baik guna memperoleh kedudukan dan pujian orang lain.
(2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan kasar, agar dinilai sebagai orang sederhana, zuhud dan menjauhi keduniaan.
(3) Berpura-pura benci atas masalah keduniaan dan merasa menyesal ketika ada sesuatu yang menguntungkan, tapi tidak dilaksanakan.
(4) Gemar shalat dan gemar memberi sedekah agar dilihat banyak orang.
Surah Al Maun di atas sekarang dan akan datang seyogianya menjadi bahan renungan bagi setiap orang Muslim untuk peduli pada orang-orang miskin, dan lurus niat dalam beribadah kepada Allah swt.
Kalau selama ini kita tidak acuh terhadap orang miskin dan belum lurus niat dalam beribadah, maka dengan memahami makna surah Al Maun tersebut, mari ke depan kita merubah sikap kita dan meluruskan niat dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan. Semoga. (HRN)
Jumat, 22 April 2011
Sabtu, 19 Februari 2011
MASALAH PRILAKU SOSIAL
Oleh : Drs. H. Ramli Nawawi
Sejak memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia telah melangkah dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat dengan menegakkan demokrasi dan keadilan dalam masyarakat bangsa ini, dimulai dengan melengserkan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa berperan banyak dalam peristiwa ini.
Selanjutnya tuntutan gerakan reformasi memasuki berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan masyarakat mendapat kecaman, dan dituntut untuk ditata atau dihapus sama sekali. Dalam proses penataan inilah tidak dapat dihindari timbulnya polarisasi atau kontadiksi yang berkaitan dengan visi dan misi di kalangan tokoh-tokoh reformis sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa menerima, atau meragukan kereformasian kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan visi dan misi ini kemudian semakin tajam ketika kebebasan berorganisasi dan berpolitik terbuka seluas-luasnya. Ketika para elit politik yang didukung massanya mulai menonjolkan target perjuangan yang akan dicapai, yang dapat mengancam atau menghalangi tujan yang akan dicapai kelompok lainnya, mulailah terjadi ketidakserasian diantara satu dengan lainnya. Apa yang kita temui di masyarakat dengan banyaknya partai-partai politik dan golongan yang lahir sejak memasuki era reformasi ini tujuannya menjadi kabur.
Reformasi yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran tersebut kemudian berkembang dimana sebagian pendukungnya bersikap a priori terhadap segala apapun yang tidak dari golongannya. Kebenaran yang bisa diterimapun apabila sesuai dengan kepentingan dan interpretasi yang bersangkutan. Demikian juga kalangan yang menuntut demokrasi ini kemudian secara sadar atau tidak juga telah berbuat melampaui batas-batas yang menjadi hak kelompoknya. Banyak tokoh dan pendukung-pendukung suatu ogansasi yang merasa tidak cukup untuk mencapai tujuannya dengan hanya membenahi kelompoknya, tetapi telah mengatur dan mencampuri urusan kelompok lainnya.
Sampai saat ini dapat kita saksikan dimana para elit politik yang telah terpisah-pisah dalam berbagai partai politik di negara ini, sebagian mereka telah kehilangan kepribadian sebagai seorang negarawan. Banyak ucapan dan tingkah laku diantara mereka yang sudah jauh dari kepatutan, etis dan bermoral. Sementara masyarakat kita yang kurang kritis sulit membedakan mana yang harus diikuti dan harus ditolak. Pandangan-pandangan mereka yang secara sadar bertentangan dengan ketentuan dan hukum sekalipun, tetapi tetap disajikan kepada masyarakat awan, sungguh sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dari berbagai sikap para tokoh dan berbagai kalangan, tampaknya sebagian mereka sudah ditulari prasangka-prasangka sepihak. Sehingga masyarakat umum sulit dapat memahami pemikiran-pemikiran mereka. Lebih dari itu saat ini tampak berbagai institusi di masyarakat yang pemikiran-pemikirannya sering berseberangan. Para pengamat dari berbagai disiplin ilmu sulit ada yang sependapat dalam pentrapan ilmunya. Para pengamat politik berbeda pendapat dalam mentrapkan ilmu politiknya. Para ahli ekonomi menilai ekonom lainnya umumnya melakukan tindakan yang keliru. Para ahli hukum saling mencela dan memojokkan satu sama lainnya karena berbeda dalam mentrapkan ilmu hukum yang sama-sama mereka miliki. Yang satu mengatakan bahwa kesalahan seseorang dapat dilihat dari kasat mata, sementara ahli hukm lainnya menyatakan belum tentu sebelum dapat dibuktikan. Masalah semua ini terjadi karena kebenaran ilmu yang mereka akui sangat terkait dengan kepentingan yang bersangkutan atau kelompoknya.
Prilaku para elit di berbagai bidang serta tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan kebebasan berpendapat dan berbuat, memberikan ekses lain di masyarakat. Maka kemudian berkaitan dengan alasan tuntutan hidup, banyak timbul prilaku dan perbuatan-perbuatan yang kurang berdasar atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak contoh, seperti: Masih sering kita dengar adanya sekelompok orang melakukan penebangan hutan secara liar. Ada pula kelompok masyarakat yang memaksa dikembalikannya tanah mereka, yang sebenarnya sudah mendapat ganti rugi. Begitu juga dalam menghadapi persaingan dan perbedaan ada usaha-usaha menjatuhkan lawan dengan prilaku dan tindakan yang melanggar hukum, atau ucapan-ucapan tidak etis. Akhirnya, dengan mengangkat masalah prilaku sosial yang mencuat saat ini, yang merupakan salah satu pemicu terjadinya desintegrasi bangsa, semoga bisa disadari dan dicermati dengan segala kearifan. (HRN, peneliti utama bidang sejarah dan nilai tradisional).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Sejak memasuki era milenium ketiga ini, bangsa Indonesia telah melangkah dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat dengan menegakkan demokrasi dan keadilan dalam masyarakat bangsa ini, dimulai dengan melengserkan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa berperan banyak dalam peristiwa ini.
Selanjutnya tuntutan gerakan reformasi memasuki berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat umum. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan masyarakat mendapat kecaman, dan dituntut untuk ditata atau dihapus sama sekali. Dalam proses penataan inilah tidak dapat dihindari timbulnya polarisasi atau kontadiksi yang berkaitan dengan visi dan misi di kalangan tokoh-tokoh reformis sendiri. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa menerima, atau meragukan kereformasian kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan visi dan misi ini kemudian semakin tajam ketika kebebasan berorganisasi dan berpolitik terbuka seluas-luasnya. Ketika para elit politik yang didukung massanya mulai menonjolkan target perjuangan yang akan dicapai, yang dapat mengancam atau menghalangi tujan yang akan dicapai kelompok lainnya, mulailah terjadi ketidakserasian diantara satu dengan lainnya. Apa yang kita temui di masyarakat dengan banyaknya partai-partai politik dan golongan yang lahir sejak memasuki era reformasi ini tujuannya menjadi kabur.
Reformasi yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran tersebut kemudian berkembang dimana sebagian pendukungnya bersikap a priori terhadap segala apapun yang tidak dari golongannya. Kebenaran yang bisa diterimapun apabila sesuai dengan kepentingan dan interpretasi yang bersangkutan. Demikian juga kalangan yang menuntut demokrasi ini kemudian secara sadar atau tidak juga telah berbuat melampaui batas-batas yang menjadi hak kelompoknya. Banyak tokoh dan pendukung-pendukung suatu ogansasi yang merasa tidak cukup untuk mencapai tujuannya dengan hanya membenahi kelompoknya, tetapi telah mengatur dan mencampuri urusan kelompok lainnya.
Sampai saat ini dapat kita saksikan dimana para elit politik yang telah terpisah-pisah dalam berbagai partai politik di negara ini, sebagian mereka telah kehilangan kepribadian sebagai seorang negarawan. Banyak ucapan dan tingkah laku diantara mereka yang sudah jauh dari kepatutan, etis dan bermoral. Sementara masyarakat kita yang kurang kritis sulit membedakan mana yang harus diikuti dan harus ditolak. Pandangan-pandangan mereka yang secara sadar bertentangan dengan ketentuan dan hukum sekalipun, tetapi tetap disajikan kepada masyarakat awan, sungguh sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dari berbagai sikap para tokoh dan berbagai kalangan, tampaknya sebagian mereka sudah ditulari prasangka-prasangka sepihak. Sehingga masyarakat umum sulit dapat memahami pemikiran-pemikiran mereka. Lebih dari itu saat ini tampak berbagai institusi di masyarakat yang pemikiran-pemikirannya sering berseberangan. Para pengamat dari berbagai disiplin ilmu sulit ada yang sependapat dalam pentrapan ilmunya. Para pengamat politik berbeda pendapat dalam mentrapkan ilmu politiknya. Para ahli ekonomi menilai ekonom lainnya umumnya melakukan tindakan yang keliru. Para ahli hukum saling mencela dan memojokkan satu sama lainnya karena berbeda dalam mentrapkan ilmu hukum yang sama-sama mereka miliki. Yang satu mengatakan bahwa kesalahan seseorang dapat dilihat dari kasat mata, sementara ahli hukm lainnya menyatakan belum tentu sebelum dapat dibuktikan. Masalah semua ini terjadi karena kebenaran ilmu yang mereka akui sangat terkait dengan kepentingan yang bersangkutan atau kelompoknya.
Prilaku para elit di berbagai bidang serta tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan kebebasan berpendapat dan berbuat, memberikan ekses lain di masyarakat. Maka kemudian berkaitan dengan alasan tuntutan hidup, banyak timbul prilaku dan perbuatan-perbuatan yang kurang berdasar atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak contoh, seperti: Masih sering kita dengar adanya sekelompok orang melakukan penebangan hutan secara liar. Ada pula kelompok masyarakat yang memaksa dikembalikannya tanah mereka, yang sebenarnya sudah mendapat ganti rugi. Begitu juga dalam menghadapi persaingan dan perbedaan ada usaha-usaha menjatuhkan lawan dengan prilaku dan tindakan yang melanggar hukum, atau ucapan-ucapan tidak etis. Akhirnya, dengan mengangkat masalah prilaku sosial yang mencuat saat ini, yang merupakan salah satu pemicu terjadinya desintegrasi bangsa, semoga bisa disadari dan dicermati dengan segala kearifan. (HRN, peneliti utama bidang sejarah dan nilai tradisional).
(HRN: Maaf naskah ini jangan di copy ke blog lain).
Langganan:
Postingan (Atom)