Jumat, 17 Juli 2009

Mappanre Tasi upacara tradisional

MAPPANRE TASI’
Upacara Tradisional Masyarakat Pantai Pagatan
Kalimantan Selatan

Upacara tradisonal pesta laut Mappanre Tasi’ adalah upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat nelayan di Pagatan, ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (dulu ketika rekaman ini dibuat tahun 1990 Pagatan masih sebagai ibu kota Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Kotabaru). Upacara tradisional ini diselenggarakan secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.

Menurut informasi dan data yang dikumpulkan kegiatan yang dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan masyarakat sekitarnya dimulai pada tahun 1901. Ketika itu pelaksanaannya diprakarsai oleh Kepala Toa (Kepala Desa) yang pertama di Desa Pejala bernama La Muhamma. Kemudian oleh para penerusnya upacara ini ditradisikan setiap tahun yang kegiatannya dilaksanakan pada minggu pertama bulan April.

Sejak ditetapkannya tanggal 6 April 1969 sebagai Hari Nelayan, maka pelaksanaannya disesuaikan dengan hari nelayan tersebut. Namun apabila bulan April bersamaan dengan bulan suci Ramadhan, maka waktunya dapat digeser ke bulan berikutnya.

Pesta laut Mappanre Tasi’ sebagai suatu tradisi dalam pelaksanaannya diadakan sesajen dan sesembahan lainnya berupa ayam, telor, pisang, nasi ketan, ayam hitam dan kuning, serta peralatan upacara sesuai dengan ketentuan yang pernah dilakukan. Berikut ini urut-urutan pelaksanaan kegiatan upacara Mappanre Tasi’ pada hari puncaknya yang direkam Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional pada tanggal 6 Mei 1990.

Pagi sekitar pukul 09.00 WIT, rombongan Sanro (dukun) dengan diiringi tabuhan rebana (tarbang) membawa kelengkapan upacara adat memasuki tempat upacara dan menempati ruang panggung yang telah disediakan. Pembukaan acara diawali dengan tarian Tapung Tawar sebagai ucapan selamat datang untuk para tamu yang hadir atau diundang. Selesai tarian, makanan dan kelengkapan upacara adat lainnya oleh tetuha adat/sesepuh kampung diserahkan kepada Sanro yang memimpin upacara. Selesai penyerahan Sanro beserta pengikut upacara yang membawa sesajen dan kelengkapan upacara diberangkatkan ke laut sebagai acara puncaknya.

Untuk menuju ke laut, Sanro dan pengikutnya menaiki perahu gandeng berhias yang secara khusus dibuat dan diikuti oleh beberapa perahu/kapal lainnya. Tempat yang dituju lokasinya telah ditentukan beberapa mil ke laut berdasarkan komando Sanro yang memimipin upacara. Sesampainya di lokasi, dinyalakan pedupaan yang sudah disiapkan.

Menandai dimulainya upacara puncak ini dibunyikan petasan sebanyak tiga kali. Menurut kebiasaan pada saat persiapan upacara yang dilakukan oleh Sanro, maka peserta upacara yang menumpang di perahu/kapal lain diharuskan mengelilingi perahu Sanro berturut-turut tiga kali. Sementara itu Sanro asyik membaca doa-doa (atau mantra).

Persemabahan atau kegiatan yang dilakukan di laut adalah menyembelih ayam hitam yang darahnya dialirkan ke permukaan laut. Kemudian nasi ketan diletakkan di permukaan laut sebagai simbol penyerahan berupa sajian. Kalau pada tahun-tahun yang lalu semua sesajen dibenamkan ke laut, maka kini hal itu tidak demikian lagi. Semua benda atau makanan, termasuk sesajen berupa ayam hitam yang disembelih selesainya upacara dimakan bersama-sama. Upacara di laut ini berlangsung kurang lebih tiga jam.

Berbeda pula dengan pelaksanaan tahun sebelumnya, bahwa ketika ayam hitam selesai disembelih langsung dibenamkan ke laut dan bersamaan dengan itu para peserta upacara pun menceburkan dirinya bersama semua barang sesajen yang dibawa. Mereka tidak boleh meninggalkan tempat upacara sebelum ayam yang dibenamkan ke laut itu timbul mengapung di permukaan. Apabila ayam persembahan itu telah mengapung di permukaan laut, maka mereka berebut untuk mengambilnya, dan uapacara pun dinyatakan selesai.

Namun pelaksanaan tahun 1990 tersebut hal-hal seperti diungkapkan di atas sudah semakin di kurangi, terutama yang dianggap menimbulkan pertentangan dan bisa dikatakan merusak aqidah agama (Islam) yang mereka anut. Sehingga kegiatan yang dilakukan tidak lebih hanya berupa upacara adat biasa sebagai tanda kesyukuran. Dengan kata lain upacara Mappanri Tasi’ adalah pesta nelayan yang merupakan salah satu sisi budaya daerah.

Dengan demikian pada penyelenggaraan sebagaimana telah disaksikan, selain sekadar memenuhi tradisi yang sudah diadatkan, juga acaranya pun disesuaikan dengan kepentingan kepariwisataan untuk menunjang pantai Pagatan sebagai obyek wisata.

Berdasarkan pengalaman yang demikian itu, pelaksanaannya saat berlangsungnya upacara ini lebih ditekankan kepada bentuk perayaan pestanya, yaitu dengan mengadakan berbagai hiburan rakyat dan perlombaan, seperti asinan (bahagaan), musikiri/kecapi, sepak bola, paduan suara, permainan layang-layang, melukis, demontrasi memasak/membakar ikan, peragaan busana tenun Pagatan, perahu hias, keterampilan pasir, naik pinang, tarik tambang putri, katir, lari karung, mengambil uang di pepaya, meniti tali, lepa-lepa dan lomba dayung.

Demikianlah upacara Mappanre Tasi’ yang secara harfiah berarti memberi makan laut itu sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk upacara keagamaan yang berbau syirik. Upacara ini dilakukan hanyalah untuk menunaikan adat yang telah ditradisikan dan untuk memperjelas identitas mereka sebagai masyarakat nelayan yang sumber kehidupannya adalah bergulat di laut. (Sumber: Laporan inventarisasi Bidang Jarahnita tahun 1990).

Tidak ada komentar: