Jumat, 23 Agustus 2013

mengerti sejarah



MENGERTI SEJARAH MENDIDIK ORANG BERTINDAK ARIF

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Mungkin sebagian banyak orang Indonesia tahu tentang ungkapan “sejarah adalah cermin kehidupan”. Maksudnya apabila seseorang belajar dan memahami sejarah, ia akan bisa mengetahui kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan suatu tindakan yang perlu diperbaiki, atau sebaliknya tentang kebenaran dan keunggulan yang perlu dipertahankan atau ditingkatkan, bahkan dipakai untuk bertindak ke depan.

Sementara itu untuk menentukan sikap ke depan, tanpa melihat kenyataan-kenyataan yang dihadapi saat ini, tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Demikian juga dalam mempelajari dan memahami keadaan masa kini, tidak akan tepat tanpa mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Karena itu dalam pendidikan sejarah dikenal “sistem tiga deminsi”, yakni dengan membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, kemudian menganalisa peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (masa kini), maka orang akan melihat gambaran gambaran masa yang akan datang. Dengan demikian orang yang belajar sejarah dengan benar akan dapat membuat kemungkinan-kemungkinan yang harus dilakukan untuk memasuki masa depan.

Tidak bisa dimungkiri juga bahwa ada kaitan berantai antara satu generasi dengan genarasi berikutnya. Umumnya apa yang diwarisi generasi masa kini adalah hasil perjuangan, tindakan, atau prilaku generasi sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut sejarah bisa mewariskan kebanggaan bagi generasi berikutnya, atau sebaliknya mewariskan suatu kebencian terhadap pendahulunya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, mungkin bisa kita simak bagaimana sikap dan tindakan mereka yang dikatagorikan sebagai putra-putra terbaik bangsa pada masa hidupnya. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Jenderal Sudirman, Jenderal A. Yani, Ki Hajar Dewantara, dan beberapa tokoh lainnya yang berjasa  bagi bangsa Indonesia ini, bukankah mereka itu mewariskan kebanggaan di hati anak cucunya, bahkan di hati bangsa Indonesia pada umumnya.

Tetapi bagi mereka yang keliru langkah, seperti (maaf bagi yang belum baca, karena ada pencopot yang merubah judul dan penulis dan masuk ke blog ybs).
Bagi mereka yang menyadari bahwa sejarah akan mewariskan kebanggaan atau kebencian terhadap dirinya, bahkan sadar pula bahwa tidak hanya kebencian tetapi juga penderitaan bagi pewaris mereka yang salah langkah pada masa hidupnya itu, maka bagi orang-orang yang mengerti sejarah hal itu adalah suatu pendidikan yang bisa membuat seseorang berlaku arif dalam berbuat dan bertindak dalam hidupnya.
(RN: disusun dari berbagai sumber).           

Kamis, 22 Agustus 2013

Kamis, 15 Agustus 2013

KELUARGA



            DRS. H. RAMLI NAWAWI
 HJ. YOHANA

Jl. Hayam Wuruk No. 89-90 Komp. Beruntung Jaya
 Banjarmasin Kalimantan Selatan


Mengucapkan
Selamat Hari Raya
IDUL FITRI 1434 H

Minal aidin wal faizin

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN




Minggu, 28 Juli 2013

GERAKAN BARATIB BAAMAL



Disusun: Ramli Nawawi (tim)

Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863 sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan kolonial Belanda.
Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa daerah dan penuh fanatisme keagamaan.
Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib Baamal”.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah” berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah 70.000  kali. Sedangkan baamal artinya berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang berpengaruh atau tokoh elite religius.
Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin, mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan pujian-pujian dan permohonan panjang umur, murah rezeki, dan sebagainya.

Secara lengkap zikir itu berbunyi:
1.      La ilaha illallah  : rezeki minta murahkan, bahaya minta jauhkan, umur minta
                                   panjangkan serta iman.
2.      La ilaha illalla    : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat Rasul Allah.
3.      La ilaha illallah   : tempat di Mekah ke Madinah, disitu tempat Siti Fatimah.
4.      La ilaha illallah    : hati yang sidiq, ya maulana, ya Muhammad Rasul Allah.
5.      La ilaha illallah    : hati yang mukmin, baik Allah.
6.      La ilaha illallah    : Nabi Muhammad hamba Allah.
7.      La ilaha illallah    : Muhammad sifat Ullah.
8.      La ilaha illallah    : Muhammad aulianya Allah.
9.      La ilaha illallah    : Muhammad Rasul Allah.
10.  La ilaha illallah    : Muhammad Rasul Allah.
11.  La ilaha illallah    : maujud Allah

Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada bandingnya. Pujian-pujian itu dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian di tempat manapun mereka menjumpainya.
Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya kuning.
Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah. Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua, Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling tinggi.
Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri. Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian ataupun melindunginya.
Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat saling komplementer.
Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan, karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan. Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.-   
(Sumber: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan).

(HRN:  Maaf naskah ini jangan di copy ke bolg lain).

KANDANGAN: PASAR KELAPA


Sabtu, 29 Juni 2013

SUNAN AMPEL



Oleh: Ramli Nawawi

(Sekilas tentang Raden Rahmat pendiri Masjid Ampel Surabaya)

Campa adalah suatu kerajaan yang masyhur pada abad ke 15. Negeri Campa terletak di benua Asia bagian tenggara. Negeri yang menurut sejarahnya tidak pernah mengalami penjajahan ini sampai sekarang masih berbentuk kerajaan.
Di Campa inilah pada sekitar 500 tahun yang lalu lahir seorang bayi yang oleh orang tuanya diberi nama Sayid Ali Rahmatullah. Orang tuanya sendiri bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi tersebut karena dia berasal dari Samarkand, sebuah daerah di Rusia.
Dalam sejarah, Samarkand memang daerah yang terkenal sebagai tempat ulama-ulama Islam yang masyhur di dunia. Di Samarkand inilah terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, tempat lahirnya seorang ulama (sarjana) hadits terkenal bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai seorang perawi (penulis) hadits Nabi Muhammad S.A.W., yang diakui kalangan umat Islam sebagai hadits-hadits sahih sampai saat ini.
Selain itu di Samarkand terdapat pula seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra, seorang Ahlussunnah Wal Jamaah bermazhab Imam Syafii. Syekh Jamaluddin Jumaidil Kubra inilah yang menurunkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi, yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa, oleh raja Campa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candra Wulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candra Wulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah. Sedangkan putri Campa lainnya yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Tidak seorangpun yang menduga kalau Sayid Ali Rahmatullah yang dilahirkan dan dibesarkan di negeri Campa ini kemudian menjadi orang pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sejarah memang merupakan suatu peristiwa sebab akibat yang pantarai. Meninggalnya Gajah Mada seorang Maha Patih Kerajaan Majapahit di tanah Jawa menyebabkan kerajaan ini menjadi mundur secara derastis. Keamanan di masyarakat tidak bisa ditegakkan secara tegas. Di kalangan istana sendiri terjadi kemerosotan moral, seperti para bangsawan dan para pangeran banyak yang berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan. Keadaan inilah yang menyebabkan Prabu Brawijaya, ketika ia naik tahta sebagai raja terakhir di Majapahit merasa gelisah dan sedih. Prabu Brawijaya menyadari bahwa apabila hal tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah dan Majapahit akan lebih mudah dihancurkan oleh musuh. Usaha-usaha Prabu Brawijaya untuk mengembalikan ketertiban di masyarakat maupun di kalangan istana dengan memanfaatkan pejabat-pejabat dan kekuatan kerajaan lainnya selalu tidak memberikan hasil yang memadai.
Dalam situasi serba kacau itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya asal negeri Campa mencoba mengajukan pendapat kepada suaminya, untuk mendatangkan keponakannya seorang Pangeran dari Campa yang bernam Sayid Ali Rahmatullah. Diceritakan oleh Dewi Dwarawati kepada suaminya bahwa Sayid Ali Rahmatullah di negerinya dikenal sebagai seorang arif dan bijak yang mempunyai banyak kemampuan dalam berbagai hal. Terdorong oleh keinginan demi ketentraman masyarakat dan kebaikan bagi Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya dapat menyetujui pendapat isterinya. Sehubungan dengan itu raja memberangkatkan utusan ke negeri Campa untuk memintakan kesediaan Sayid Ali Rahmatullah dan ijin orang tuanya untuk membawa Sayid Ali Rahmatullah ke Majapahit, sesuai dengan permintaan Prabu Brawijaya dan isterinya Dewi Dwarawati. Segalanya berlangsung lancar dan Sayid Ali Rahmatullah kemudian berangkat ke tanah Jawa. Setibanya di Kerajaan Majapahit ia menghadap Prabu Brawijaya, yang selanjutnya menugaskannya untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah rusak ahlaknya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di istana Majapahit Prabu Brawijaya menjodohkannya dengan puterinya yang bernama Dewi Candrawati.atau Nyai Ageng Manila. Sementara itu para pangeran dan para bangsawan istana, para adipati dan bupati diperintahkan untuk belajar budi pekerti. Maka untuk melaksanakan tugasnya Prabu Brawijaya menghadiahkan sebidang tanah yang terletak di Desa Ampel kepada Sayid Ali Rahmatullah dan isterinya untuk mereka tinggal bersama-sama pengikut dan murid-muridnya.
Sayid Ali Rahmatullah sejak kawin dengan Dewi Candrawati puteri raja Majapahit tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Rahmat. Bagi Raden Rahmat misi penyebaran Islam di tanah Jawa ini secara resmi dimulainya ketika ia beserta isteri dan orang-orang yang menjadi pengikutnya berangkat dari Kerajaan Majapahit menuju lokasi tanah di Desa Ampel yang dihadiahkan Prabu Brawijaya kepadanya. Sepanjang jalan perjalanannya Raden Rahmat memberikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk desa yang dilaluinya. Menurut cerita rakyat, kipas-kipas tersebut berguna sebagai obat penyembuh bagi mereka yang mendapat sakit demam atau batuk. Dengan memohon pertolongan Allah S.W.T  kipas tersebut direndam di air putih dan kemudian diminumkan kepada si sakit maka dengan ijin Allah penyakitnya akan sembuh.
Rakyat yang mendengar berita bahwa kipas dan akar tumbuhan yang dibawa Raden Rahmat berhasiat menyembuhkan penyakit, kemudian banyak diminta oleh masyarakat desa-desa yang dilaluinya berserta istri dan pengikutnya. Raden Rahmat tidak menjualnya, ia hanya cukup menukarnya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Bersamaan dengan itu ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Demikian sepanjang perjalanan dari pusat Kerajaan Majapahit, melalui Desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembang Kuning ke Desa Ampel Denta, Raden Rahmat telah berhasil mengislamkan penduduk yang bermukim di sepanjang jalan yang dilaluinya tersebut.
Raden Rahmat ketika itu berusia kurang lebih 20 tahun. Setelah berada di Desa Ampel Denta ia bersama pengikutnya mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar  untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Raden Rahmat juga membangun sebuah pondokan untuk tempat mengajar pengikut dan murid-muridnya. Prabu Brawijaya juga memerintahkan para adipati dan bupati belajar budi pekerti di Ampel. Sedangkan anak-anak mereka diharuskan menetap di pondokan Ampel untuk belajar.
Dalam misinya menyebarkan agama Islam Raden Rahmat juga suka turun ke masyarakat. Untuk bisa mendekati guna menyadarkan dan mengislamkan merka, Raden Rahmat pada suatu waktu ikut pula dalam suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat. Salah satu kegemaran masyarakat pada waktu itu adalah melakukan judi sabung ayam. Untuk bisa berkumpul dengan mereka maka Raden Rahmat ikut pula dalam kegiatan tersebut. Agar ia bisa dikenal oleh seluruh masyarakat yang gandrung melakukan judi sabung ayam, Raden Rahmat meminta kepada Tuhan agar ayam miliknya selalu menang dalam pertandingan tersebut. Permintaan Raden Rahmat ternyata dikabulkan Tuhan, sehingga ayam miliknya tidak pernah kalah dalam pertandingan. Hal ini menyebabkan semua orang yang hadir mengagumi ayamnya. Dalam kesempatan seperti itulah ia menyampaikan dakwahnya. Ia memberitahukan bahwa ayamnya selalu menang dalam persabungan karena ia telah meminta kepada Tuhan Allah agar ayamnya dimenangkan. Dikatakannya pula bahwa siapapun bisa meminta kepada Allah agar ayamnya dimenangkan, asal yang empunya mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Bagi mereka yang bersedia, maka Raden Rahmat memintakan kepada Allah agar ayamnya dimenangkan. Setelah beberapa waktu kemudian Raden Rahmat dengan secara bijaksana memberikan pengertian bahwa perbuatan judi sabung ayam tersebut sebenarnya dilarang oleh Allah.
Ketika itu rumah penduduk Desa Ampil baru sekitar 500 buah rumah tangga. Raden Rahmat yang di daerah baru ini kemudian banyak dikenal oleh masyarakat sebagai orang bijaksana dan ahli dalam agama Islam, kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Ampel (Sunan Ngampel).
Setelah Sunan Ampel mendiami daerah itu, perkampungan menjadi masyhur dengan nama Ampel Denta dan Ampel Gading. Nama-nama itu merupakan lambang kejujuran dan keadilan  Sunan Ampel. Hal ini mengandung makna bahwa segala fatwa dan ucapan Sunan Ampel waktu itu dianggap masyarakat sebagai ”Sabda Pandita Ratu”, yang apabila telah diucapkan maka sah dan tidak akan ditarik lagi. Hal ini diibaratkan dento atau gigi dan gading gajah dewasa yang apabila gugur pasti tidak akan tumbuh lagi.
Sunan Ampel yang semula bernama Sayid Ali Rahmatullah datang ke Pulau Jawa pada tahun 1421 M. Apabila waktu itu ia baru berusia kurang lebih 20 tahun, maka berarti ia lahir pada sekitar tahun 1401 M. Sunan Ampel termasuk salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa meneruskan misi yang dirintis oleh Malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 1419 M.
(Sumber buku: Masjid Ampel Sejarah, Fungsi dan Peranannya, oleh: Ramli Nawawi)         
          

Minggu, 26 Mei 2013

MENGENAL ALRI DIV. IV (A) PERTAHANAN KALIMANTAN SELATAN DAN MAKNA PROKLAMASI 17 MEI 1949

Disusun oleh:
 Drs.H. Ramli Nawawi

ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan adalah organisasi perlawanan bersenjata terhadap imperialis Belanda pada masa revolusi menegakkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini merupakan bagian dari ALRI Divisi IV yang berkedudukan di Mojokerto. ALRI Divisi IV Mojokerto peresmiannya dilakukan oleh Laksamana muda M. Nazir pada tanggal 4 april 1946 bertempat di “Palace Hotel” Malang (Jawa Timur). Sebagai pimpinan ALRI Divisi IV adalah Letnan Kolonel Zakaria Madon. Rencana dari Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto membagi daerah Kalimantan menjadi atas tiga daerah, yakni  ALRI Divisi IV Pertahanan (A) untuk Kalimantan Selatan, ALRI Divisi Pertahanan (B) untuk Kalimantan Timur, dan ALRI Divisi IV Pertahanan (C) untuk Kalimantan Barat.
Untuk mewujudkan pembetukan organisasi ALRI Divisi IV Pertahanan di Kalimantan tersebut  Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto seperti yang dilakukan Gubernur Kalimantan yang saat itu masih berkedudukan di Yogyakarta, juga memberangkatkan rombongan ekspedidisi dari Jawa ke Kalimantan. Rombongan ekspedisi  ALRI Divisi IV yang pertama berangkat dari pelabuhan Tuban pada tanggal 10 Oktober 1946 di bawah pimpinan Letnan I Asli Zuchri. Rombongan ini bertugas untuk membentuk organisasi ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Sekaligus untuk menyatukan organisasi perjuang yang sudah ada di Kalimantan Selatan ke dalam organisasi ALRI Divisi IV. Perahu yang membawa rombongan ini berhasil mendarat di desa Tabaneo pada tanggal 21 Oktober 1946.
Sebelum datangnya rombongan ekspedisi ALRI Divisi IV Mojokerto ke daerah Kalimantan Selatan, di daerah ini sudah terbentuk beberapa organisasi kelasykaran, seperti BPRIK (Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan), Gerpindom Amuntai (Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka), TRI (Tentara Republik Indonesia), Germeri (Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia) di Kandangan, Lasykar Syaifullah di Haruyan yang dipimpin oleh Hassan Basry, Banteng Indonesia di Kandangan, Peter (Pembantu Tentara Republik ) di Negara, Banteng Borneo di Rantau, MN-1001, dan lainnya.
Sementara itu segera setelah rombongan ekspedisi tiba di Kalimantan Selatan Asli Zuchry berusaha untuk menemui Hassan Basry yang sebelumnya telah  dipulangkan ke Kalimantan Selatan oleh Gubernur Kalimantan Pangeran M. Noor  yang waktu itu masih berkedudukan  di Yogyakarta. Pertemuan pertama berlangsung antara Letnan I Asli Zuchri sebagai Wakil Markas Besar ALRI Divisi IV Mojokerto  dengan Hassan Basry  pimpinan Syaifullah pada tanggal 11 Nopember 1946 di Tabihi. Pertemuan berikutnya berlangsung pada tanggal 18 Nopember 1946 di Tabat (Haruyan) Hulu Sungai Tengah. Pada pertemuan kedua ini Hassan Basry disertai tokoh-tokoh pejuang gerilya  antara lain H. M. Rusli, Hasnan Basuki, Marufi Utir, Salman Bidinsyah alias Setia Budi, Gazali Ahim, Ibas S, dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut Letnan I Asli Zuchri menguraikan tentang maksud missinya ialah untuk membentuk kesatuan ALRI di Kalimantan, sebagai bagian dari ALRI Divisi IV yang Markas Besarnya terletak di Mojokerto di bawah pimpinan Let. Kol. Zakaria Madon.
Setelah semuanya rampung dan sepakat ditetapkan sebagai berikut:
  1. ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan disusun dengan tingkat kesatuannya Batalyon, disebut Gerakan Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan. Komandan Batalyon Hassan Basry pimpinan Lasykar Syaifullah, dan semua anggota Lasykar Saifullah menjadi inti anggota Batalyon.        
  2. Kedudukan resmi Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan Selatan adalah Kandangan.
  3. Letnan I Asli Zuchri dan Letda Mursyid meresmikan berdirinya organisasi dan melantik Hassan Basry pada tanggal 18 Nopember 1946  sebagai komandan Batalyon.
Agar tugas yang dibebankan pada Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) dapat dilaksanakan, maka dua hari setelah pembentukannya berlangsung musyawarah untuk menetapkan dan mengisi jabatan yang dianggap perlu sebagai langkah pertama, sebagai berikut:
a.       Komandan Batalyon        : Hassan Basry
b.      Kepala Staf                     : Hasnan Basuki
c.       Kepala Tata Usaha          : H.M.Rusli
d.      3 orang pelatih                 : 1. Ma’rufi, 2. Setia Budi, 3. Mawardi.                                    
                                                            
Sementara itu organisasi-organisasi kelasykaran lain yang terdapat di Kalimantan Selatan yang kemudian menyatakan menggabung dalam batalyon adalah Gerpindom yang dipimpin oleh Aberani Sulaiman, Banteng Borneo yang dipimpin M. Hammy AM, Badan Pemberontakan Indonesia yang dipimpin oleh Hamdi Budhigawis. Memasuki tahun 1947 semua organisasi kelasykaran yang ada di Kalimantan Selatan telah menggabung ke dalam ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan.  
Dalam rangka untuk mempertemukan para pimpinan organisasi kelasykaran di Kalimantan, pimpinan organisasi memanfaatkan moment ketika berlangsungnya Kongres Pemuda Kalimantan yang dilangsungkan di Kandangan pada tanggal 17 Maret 1947.  Kongres Pemuda yang dihadiri  para pemimpin organisasi dan tokoh-tokoh pemuda dari seluruh Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah sekarang), Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat ini, sempat pula mengadakan pertemuan di belakang layar untuk memadu tekad mengatur langkah perjuangan bersama.         
Bersamaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan para pimpinan yang tergabung dalam Batalyon ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, Pemerintahan NICA Belanda juga terus berusaha menjalankan politik “devide et impera” nya. Sebelumnya Belanda menggelar Konperensi Malino pada 12-16 Juni 1946, kemudian Konperensi Denpasar 18-24 Desember 1946, Konperensi Pangkal Pinang,  selanjutnya Konperensi Linggarjati yang besar sekali pengaruhnya bagi daerah Kalimantan  telah ditandatangani wakil dari Belanda dan RI tanggal 15 Nopember 1946.  Isinya bahwa kekuasaan Republik Indonesia de fakto hanya meliputi Jawa-Madura dan Sumatera saja. Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat kemudian mengesahkannya pada tanggal 25 Januari 1946, ini berarti bahwa Kalimantan tidak lagi termasuk wilayah de fakto Republik Indonesia. Dampak yang lebih jauh dari hasil persetujuan Linggarjati adalah status Propinsi Kalimantan tidak relevan lagi sehingga status Gubernur Kalimantan dihapus.
Hasil persetujuan Linggarjati juga membuat Batalyon ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan terputus hubungannya dengan RI, dan terputus pula dengan Markas Besar ALRI Divisi IV yang waktu itu bermarkas di Tuban Jawa Timur.  Markas Besar ALRI Divisi IV ini kemudian dibubarkan, selanjutnya statusnya  dirubah menjadi Mobiele Brigade ALRI dengan Komandan Mayor Firmansyah. Sedangkan Letkol Zakaria Madon (mantan pimpinan ALRI Divisi IV) dipindahkan ke Markas Besar ALRI Pusat. Dengan situasi demikian maka tokoh-tokoh pejuang gerilya Kalimantan Selatan hanya mempunyai satu pilihan yaitu harus mampu mengorganisir kekuatan sendiri, kalau tidak akan dihancurkan oleh musuh.
Bersamaan dengan perubahan status Kalimantan sebagai akibat persetujuan Linggarjati yang tidak termasuk wilayah RI tersebut, Belanda juga meningkatkan operasi militernya. Menjelang agresi militer Belanda atas pemerintah Republik Indonesiadi Yogyakarta, di Kalimantan Selatan Belanda mengadakan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang dicurigai. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan militer Belanda banyak menimbulkan korban, ratusan penduduk yang tidak bersalah ikut menderita. Tokoh-tokoh ALRI yang berhasil meloloskan diri menuju kearah pegunungan Meratus, sedangkan yang tertangkap mendapat siksaan yang kejam. Dalam situasi tersebut Hassan Basry selaku Komandan Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV mengambil keputusan untuk menarik diri kepegunungan bersama-sama anggotanya yang teguh pendirian.
Dalam masa berada di daerah pegunungan Hassan Basry bertemu dengan beberapa pimpinan kelompok perlawanan antara lain H. Abrani Sulaiman dengan anggotanya yang bersenjata lengkap, Daeng Lajida beserta beberapa orang anak buahnya, mereka menghindar ke arah Kotabaru setelah berhasil mencegat konvoi Belanda di Hambawang Pulasan (Batumandi). Pertemuan para pimpinan perjuangan beserta anggota-anggotanya masing-masing dalam suasana senasib penuh menghadapi kesulitan telah menimbulkan semangat baru dalam usaha menghadapi Belanda. Dalam pertemuan itu mereka mengakui bahwa Hassan Basry dan H, Abarani Sulaiman sebagai pimpinan dan wakilnya. Mereka juga kemudian menetapkan Markas Besar Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan di desa Niih di daerah pegunungan Meratus. 
Fase pertama dalam usaha konsolidasi, meski dalam keadaan ruang gerak yang terbatas, para pejuang melakukan show kekuatan dengan cara mengadakan pembersihan kakitangan atau spion Belanda, dari seluruh daerah sampai ke kota-kota. Mereka juga menetapkan siasat operasinya dengan membentuk organisasi gabungan bernama SOPIK (Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan). Markas besarnya berkode tetap RX-8. Organisasi Markas Besar RX-8 ini dipimpin oleh Hassan Basry sebagai komandan Batalyon, sebagai Kepala Staf  H. Abrani Sulaiman.  
Pada tahun 1948 baru datang berita dari Firmansyah dan Anang Piter bahwa ALRI Divisi IV yang bermarkas di Tuban sudah bubar, sehingga para pejuang di Kalimantan selatan diminta mengambil langkah yang positif.  Karena itu Hassan Basry bertindak segera, bahwa ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan keluar dan tidak terikat lagi  dengan ALRI Divisi IV yang ada di Tuban. Sejak saat itu pula ALRI di Kalimantan muncul lagi dengan status Markas Besar. Dan dengan munculnya ALRI maka otomatis SOPIK menghilang namanya.
Pimpinan Umum Hassan Basry kemudian menugaskan Gusti Aman  (Gusti Abdurrahman) untuk memperbaiki susunan organisasi Markas Besar. Bersamaan dengan itu di berbagai tempat di daeah Kalimantan Selatan banyak terjadi kontak senjata antara para pejuang ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dengan militer Belanda. Rapat dalam rangka penyusunan organisasi ALRI Divisi IV berlangsung di Ilung pada pertengahan Februari 1949. Pada rapat tersebut semua pimpinan hadir. Dalam rapat dibicarakan soal-soal organisasi, susunan pucuk pimpinan, serta rencana atau taktik perjuangan selanjutnya.
Dengan bekal dari berbagai pandangan hasil rapat tersebut Gt. Aman beserta dengan Hasnan Basuki dan P. Arya kemudian meneruskan perjalanan ke pedalaman Ambarawa (Telaga Langsat).  Di sinilah program kerja disusun kembali. Susunan pemerintahan berbentuk Gubernur Tentara, yaitu pemerintahan berbentuk militer sesuai dengan situasi perang. Apalagi pada saat itu sudah diketahui tentang Pemerintahan Darurat di Sumatera dan rencana Pemerintahan Pelarian di New Delhi India, sehubungan dengan tindakan Aksi Militer II Belanda yang melakukan penawanan terhadap Sukarno-Hatta dan pimpinan-pimpinan pemerintah RI.
Selanjutnya dalam rapat lanjutan pada tanggal 15 dan 16 Mei 1949 di Telaga Langsat yang dihadiri H. Abrani Sulaiman , Gusti Aman, Budhigawis, P. Arya dan Romansi diputuskan bersama bahwa ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan dijadikan Divisi dengan 3 Resimen, Resimin I Amuntai, Resimen II Barabai, Resimen III daerah besar selatan yaitu Martapura, Banjarmasin dan Pelaihari. Untuk memimpin dan mengarahkan divisi dibentuk Pemerintahan Militer dengan daerah Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah), Kalimantan Tenggara, dan kemudian berkembang sampai ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Teks proklamasi  Pemerintahan Gubernur Militer disusun bersama oleh P. Arya dan  H. Abrani Sulaiman dan disempurnakan bersama peserta rapat lainnya. Teks Proklamasi kemudian diketik oleh Romansi. Selanjutnya teks proklamasi serta berkas susunan pemerintahan dibawa ke Niih untuk diserahkan kepada Pimpinan Umum Hassan Basry untuk dipelajari. Atas permintaan Pimpinan Umum Hassan Basry teks Proklamasi dibacakan oleh P. Arya di hadapan Pimpinan Umum Hassan Basry dan pimpinan ALRI lainnya.
Teks Proklamasi tersebut kemudian dibacakan pula oleh Pimpinan Umum Hassan Basry dalam suatu upacara di Mandapai yang dihadiri oleh pasukan penggempur, anggota Markas Pangkalan terdekat dan masyarakat setempat. Proklamasi tersebut berbunyi sebagai berikut:
 
P R O K L A M A S I
                                                          
Merdeka :
Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya Pemerintahan Gubernur Tentara dari  ALRI melingkupi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan.
Tetap Merdeka !
                                                      Kandangan, 17 MEI IV REP
                                        Atas nama rakyat Indonesia
                                                             Gubernur Tentara
                                                      ttd.
                                                                Hassan Basry 
  
Berita Proklamasi ini kemudian disebarkan dalam bentuk pamflet ke seluruh daerah di Kalimantan Selatan.
Dasar pemikiran dilahirkannya Proklamasi 17 Mei 1949 adalah :
  1. Untuk menyatakan kepada masyarakat dan Pemerintah RI serta dunia umumnya, bahwa gerilya ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan yang berada di Kalimantan Selatan benar-benar ada dan mempunyai kekuatan serta kemampuan untuk menyusun suatu pemerintahan dalam lingkungan wilayah Republik Indonesia, walaupun secara defacto saat itu Kalimantan berada di bawah penjajahan Belanda.
  2. Sesudah Aksi Militer II Belanda terjadi, ibu kota RI diduduki dan para pemimpin di tawan (diasingkan), maka pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara  ALRI Kalimantan Selatan yang diproklamasikan tanggal 17 Mei 1949, dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan gagalnya Pemerintahan Darurat di Sumatera serta gagalnya Pemerintahan Pelariandi New Delhi India.
  3. Guna menyatukan para pimpinan dan organisasi-organisasi perjuangan ke dalam suatu pimpinan yang berbentuk pemerintahan Gubernur Tentara.
Pada hari tanggal 17 Mei tahun 2013 ini ketika banyak orang sudah melupakan atau bahkan sama sekali tidak tahu tentang peristiwa perjuangan dan pengorbanan pendahulu-pendahulu kita 64 tahun lalu itu, dengan sedikit perhatian terhadap naskah sekilas ini, semoga kita menjadi orang-orang yang juga mau berkorban untuk negeri ini.
(Penulis: Peneliti Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional)