Kamis, 27 November 2014

GERAKAN BARATIB BAAMAL



BARATIB BA AMAL

Disusun: Ramli Nawawi

Dalam Perang Banjar (Kalimantan Selatan) terdapat dua tahap aksi perlawanan rakyar Banjar terhadap kolonialisme Belanda. Secara keseluruan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Tetapi selama jangka waktu tersebut dapat dibagi atas dua tahap perlawanan, yaitu: 1859-1863 sebagai aksi ofensif, dan 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Baratib Baamal termasuk tahap perlawanan aksi defensif yang merupakan satu dari episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan kolonial Belanda.

Dalam Gerakan Baratib Baamal tampak adanya penampilan kembali sentimen keagamaan yang kuat sekali dengan mengadakan upacara religi-mistik di dalam usahanya untuk membangkitkan dan mengobarkan kembali semangat dan kegairahan perang. Moral perjuangan yang nampaknya sedang menurun di lingkungan rakyat Banjar berhasil ditingkatkan kembali di dalam suatu pergerakan keagamaan sehingga melahirkan aksi-aksi ofensif baru di beberapa daerah dan penuh fanatisme keagamaan.

Dalam Perang Banjar dapat disatukan kekuatan yang diorganisir oleh elite sekular tradisional. Berhasil pula digerakkan kekuatan dibawah pimpinan elite religius sehubungan situasinya menjadi hangat kembali setelah ofensif menurun. Kekuatan masa rakyat yang membentuk kekuatan ofensif baru dibawah pimpinan elite religius ini dikenal dengan sebutan ”Baratib Baamal”
.
Secara etimologis Baratib Baamal itu terdapat dua pengertian kata, baratib yang berarti berzikir dengan menyebut: ”La ilaha illallah” berulang-ulang dengan jumlah yang sudah ditentukan, umpama dengan jumlah 70.000  kali. Sedangkan baamal artinya berbuat baik dengan melakukan amal perbuatan ibadah kepada Tuhan.
Baratib Baamal ialah memuji-muji Tuhan sambil memohon sesuatu, umpama mohon panjang umur, banyak rezeki atau memohon keselamatan. Adalah logis dalam menghadapi ancaman Belanda tersebut diperlukan moral dan kepercayaan atas kekuatan yang ada, yaitu kekebalan. Gerakan ini bersifat keagamaan, karena itu pimpinannya adalah seorang ”tuan guru’ atau ulama yang berpengaruh atau tokoh elite religius.

Praktek yang dilakukan oleh gerakan ini sebagai berikut: Para jamaah atau pengikut zikir tersebut, yaitu kaum muslimin, mula-mula berkumpul di langgar atau masjid dan dengan pimpinan seorang tuan guru, mereka berzikir dengan mengucap ”La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) sebanyak sebelas kali, masing-masing dengan dilengkapi dengan pujian-pujian dan permohonan-permohonan.

Pujian-pujian itu antara lain bahwa Muhammad hamba Allah, Muhammad aulia Allah, Muhammad rasul Allah, Muhammad sifat Ullah, La ilaha illallah maujud Allah, dll
. Sedangkan permintaan-permintaan antara lain seperti: rezeki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta dipanjangkan, iman minta ditetapkan, dll.

Praktik berzikir berlangsung lama. Mereka seolah-olah lupa diri, tenggelam dalam rasa keasyikan agama yang tiada bandingnya. Pujian-pujian itu dan permohonan tersebut mula-mula bernada rendah kemudian meninggi, keras berupa jeritan-jeritan histeris. Badan terutama kepala mengikuti gerakan tertentu dan dengan mengucap puji pada Allah semesta. Dalam situasi demikian pula moral perjuangan ditingkatkan lagi sehingga siap menyerbu lagi tanpa menghiraukan resiko maut yang dihadapinya. Dalam kelompok yang jumlahnya ratusan mereka bergerak mencari musuh dan menghantamnya dengan penuh keberanian di tempat manapun mereka menjumpainya.

Perlengkapan persenjataan yang dipergunakan ialah tombak, parang, keris, dan ada juga beberapa pucuk senapan. Pakaian mereka jubah putih dan serban putih, sedangkan pimpinan mereka memilih seluruhnya kuning.

Dengan mengucap ”La ilaha illallah” mereka menyerbu musuh tanpa keragu-raguan sedikit pun dan tanpa menghiraukan maut yang mengancam mereka. Letak keberanian mereka ialah pada keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi bekas kecuali Allah dan tidak ada Tuhan lain kecuali Allah. Fanatisme keagamaan yang sangat tinggi di samping dari tokoh tuan guru yang memimpin Baratib Baamal memberi semangat yang membaja pada pengikutnya.
Dengan menggunakan masjid sebagai pusat perjuangan, mereka bergerak dari satu desa ke desa lainnya dan mengajak rakyat untuk berjuang mengusir orang kafir. Medan operasi mereka adalah desa Kalua, Amuntai dan Alai yang terletak di daerah Hulu Sungai. Daerah ini disamping penduduknya terbanyak, tanahnya subur, juga semangat fanatisme agama paling tinggi.

Belanda terpaksa menggunakan ulama-ulama yang memihak Belanda dengan menyebarluaskan bahwa Gerakan Baratib Baamal adalah suatu pemalsuan terhadap agama Islam yang murni. Berzikir sebagai yang mereka lakukan adalah menyesatkan karena membuat orang percaya akan kekebalan diri. Yang akan menyeret rakyat yang tidak berdosa ke dalam lembah kesengsaraan akibat perbuatan yang sesat melawan pemerintah yang sah. Disamping itu Belanda mengancam pula dengan hukuman bagi orang yang menyembunyikan, mengambil bagian ataupun melindunginya.

Masyarakat Banjar adalah berjiwa religius. Sejak agama Islam masuk dalam abad ke 16, agama itu menjadi identifikasi sosiokultural dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam masyarakat yang demikian sentimen agama mudah dibangkitkan untuk kepentingan hal-hal yang sebenarnya tidak religius. Sejak semula sebelum pergumulan pisik itu meletus, sebenarnya faktor-faktor non religius lebih banyak tampil kedepan untuk menimbulkan kegelisahan sosial yang kemudian meningkat menjadi perlawanan atau pemberontakan. Dalam pergolakan tersebut aspek sekular dan religius bersifat saling komplementer.

Baratib Baamal termasuk pergerakan keagamaan, karena dalam usaha mencapai tujuannya gerakan ini mempergunakan cara-cara keagamaan dengan pimpinannya adalah pimpinan agama. Karakteristik dari gerakan ini adalah ”magico-mysticism” yaitu keyakinan diantara penganutnya tentang adanya kekebalan-kekebalan yang diperolah dengan melakukan rite-rite religi-mistik berupa berzikir dan beramal. Dari rite ini militansi mereka ditingkatkan. Karakteristik kedua ialah adanya keyakinan akan kekuatan supra natural atau magis yang dimiliki pimpinan religius mereka yang kharismatis. Karena kedua karakteristik inilah dalam tingkah laku militansi yang memuncak akan mengabaikan sikap hati-hati dan tidak lagi menghiraukan maut.
  
(RN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).

Senin, 24 November 2014

SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN



SEKILAS PERJALANAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN

Disusun oleh: Ramli Nawawi

Kota Banjarmasin sekarang menjadi ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin termasuk kota tertua, pertama kali menjadi ibu kota kerajaan  dari Kesultanan Banjarmasin. Sultan Suriansyah, sultan pertama yang menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan serta pusat penyebaran agama Islam sejak 24 September 1526.

Kota Banjarmasin terletak di bagian selatan dari Kalimantan Selatan dan terbelah dua oleh Sungai Martapura anak Sungai Barito. Kota Banjarmasin terletak di bawah permukaan laut hampir 0,50 m di bawah permukaan laut.

Pada Abad ke 15 sebelum menjadi Kota Banjarmasin, di daerah ini merupakan perkampungan beberapa kelompok etnis antara lain adalah etnis Dayak Ngaju dan etnis Melayu. Pemukiman penduduk waktu itu berada di sekitar Muara Cerucuk dan Kuwen. Perkampungan orang Melayu, oleh orang suku Dayak Ngaju disebut Banjarmasih. Banjar berarti kampung dalam bahasa Melayu, sedangkan Masih adalah sebutan dalam bahasa Ngaju untuk menyebut orang Melayu. Dengan demikian Banjarmasih berarti perkampungan orang Melayu. Banjarmasih adalah ibu kota dari Kesultanan Banjar dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah, raja pertama yang menganut agama Islam.

Pada abad ke 16 dan 17 Banjarmasin sebagai perkampungan orang Melayu terletak di antara sungai-sungai. Sungai Barito dengan anak Sungai Sigaling, Sungai Pandai dan Sungai Kuwen. Sungai Kuwen dengan anak sungainya Sungai Keramat, Sungai Jagabaya dan Sungai Pangeran atau Pageran. Sungai-sungai tersebut pada daerah hulunya bertemu dan membentuk danau kecil bersimpang lima. Daerah inilah yang nanti menjadi daerah ibu kota Kerajaan Banjar, yaitu Banjaramasin. Pusat pertama terletak di antara Sungai Keramat dengan Sungai Jagabaya dengan Sungai Kuwen sebagai induk. Di sinilah tetletak rumah Patih Masih, patihnya orang Melayu.

Desa berubah menjadi sebuah bandar perdagangan pada tahun 1526 setelah  Kerajaan Daha yang dibawah Pangeran Tumenggung mengakui Sultan Suriansyah sebagai raja di Kerajaan Banjar, sebagian besar penduduk Daha diangkut sebagai tambahan penduduk ibu kota kerajaan. Rumah Patih Msih dijadikan keraton setelah dibesarkan dibuat Pagungan, Sitilohor dan Paseban.

Rumah-rumah dibangun di sepanjang tepi sungai dihubungkan satu dengan lainnya dengan titian sepanjang sungai dengan angkutan terdiri dari jukung atau perahu. Perahu atau jukung merupakan alat angkutan yang utama. Di samping rumah di tepi sungai terdapat lagi sejumlah rumah di atas lanting diikat dengan rotan ke pohon-pohon besar di tepi sungai.

Pada tahun 1612 kota ini diserbu oleh armada Belanda sehingga terpaksa ibu kota kerajaan dipindahkan ke Kayu Tangi dekat Telok Selong Martapura sekarang., sedangkan pusat kota dipindahkan ke Pamakuan, Kuliling Benteng. Dengan demikian kemudian terdapat sebutan untuk Banjar Lama dan Banjar Hanyar. Banjar Lama adalah bekas pusat  pemerintahan kerajaan yang ditinggalkan, sedangkan Banjar Hanyar adalah Kayu Tangi Martapura. Pada tahun 1663 Pangeran Surianata atau Pangeran Adipati Anom merebut kekuasaan. Pusat pemerintahannya dikembalikan ke Banjar Lama dengan pusat di daerah Sungai Pangeran.

Pada tahun 1677 Banjarmasin diserbu orang-orang dan pengikut Daeng Tello dibantu lanun orang Melayu, Soelongh. Keraton kembali musnah, tetapi musuh dapat dihalau. Pada tahun 1701 kembali Banjarmasin mengalami kehancuran dan pembakaran karena pertentangan dengan Inggeris, akibatnya Pulau Tatas menjadi sangat penting, sehingga sejak itu Pulau Tatas menggantikan tempat pusat kegiatan perdagangan menggantikan Banjarmasin di daerah Sungai Kuwen dan Sungai Pangeran.

Pada tanggal 4 Mei 1826 antara Kerajaan Banjar dengan Belanda diadakan kontrak dagang. Perjanjian itu membagi dua kota Banjarmasin. Daerah Pacinan Laut menyeberang ke Sungai Miai, ke Kuwen, Sungai Kelayan, Pemurus dan terus Pegunungan Meratus adalah daerah Kerajaan Banjar. Daerah Kerajaan Banjar ini kampung yang terpenting adalah kampung keraton, yang kemudian disebut Kampung Sungai Mesa. Di sekitar kampung ini terdapat rumah kediaman Menteri Besar Kiai Maesa Jaladeri, istana Sultan Tamjidillah, Balai Kaca. Berseberangan dengan istana Sultan Tamjidillah, diantaranya Sungai Martapura, terletak rumah Residen Belanda di Kampung Amerongan dan ke hilirnya terdapat Benteng Tatas, kesemuanya terletak di Pulau Tatas.

Kampung Amerongan adalah perkampungan orang Eropah, teratur, suasana lingkungan nyaman dengan penerangan lampu pada malam hari. Kampung Amerongan adalah kampung terbesar kedua setelah kampung Cina, Pacinan. Daerah Pulau Tatas inilah sampai menjelang abad ke 19 berkembang menjadi pusat kegiatan kekuasaan dan administerasi penjajah Belanda, baik sipil maupun militer.

Akhir Perang Banjar (1859-1905) membawa sejumlah kegiatan baru bagi Kota Banjarmasin. Antara Banjarmasin dengan Surabaya sarana hubungan laut Koninklijk Pakketvaart Maatschappij (KPM) memegang peranan baru lalu lintas laut. Untuk menampung volume kegiatan angkutan laut ini dibangun Boom Baru (pelabuhan) pada tahun 1861.

Boom ini terletak di pelabuhan lama sekarang di Sungai Martapura. Prasarana hubungan darat dibuat Pemerintah Belanda, yang guna dan tujuan dari hubungan darat ini ialah mempermudah ruang gerak militer Belanda. Jalan Banjarmasin – Martapura mulai dirintis melalui Pacinan Darat, Sungai Bilu Darat, Sungai Lulut, Sungai Tabuk, Panggalaman, Sungai Rangas terus ke Martapura yang sekarang dikenal dengan Jalan Martapura Lama.

(RN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).   
 .  

Selasa, 28 Oktober 2014

MENYAMBUT TAHUN BARU ISLAM 1MUHARAM 1436 H



INTROSPIKSI MENYAMBUT TAHUN BARU 1436 H
Oleh: Ramli Nawawi
Tahun Baru Islam tanggal 1 Muharam 1436 Hijriah bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2014 kembali menemui kita. Karena itu kemudian kita segera meninggalkan tahun 1435 Hijriah. Maka selanjutnya seyogianya lah kita melakukan introspiksi apasaja yang telah kita lakukan, yang perlu kita lakukan ketika kita sudah berada di tahun baru lagi. Apa juapun  yang telah kita alami di tahun yang  telah kita lewati tersebut, susah atau senang, namun ketika kita telah menghirup udara ditahun baru ini, maka yang tak boleh kita lupakan adalah mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan untuk kembali menikmati nikmat yang diberikan-Nya.

Kalau kita lagi mengikuti ceramah atau khotbah biasanya penyampai selalu mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.
 Memang Allah SWT dalam Al Qur’anul Karim surah Ibrahim ayat 34 telah berfirman, bahwa Allah SWT akan memberi apa yang kita minta.         
“Wa ataakum min kulli saaltumuuhu, wa inta’udduu ni’matallahi laa tuhshuha, innal insaana lazhaluumun kaffaru” (Dia (Allah) memberimu segala yang kamu minta, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kamu menghitungnya, sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan mengingkari (tidak mengakui akan) nikmat Allah).

Benarkah bahwa manusia ini banyak yang ingkar terhadap nikmat Allah? Coba kalau kita tanya seseorang tentang nakmat Allah ini. Umumnya mereka ada yang menjawab:
“Aku selalu bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah”. Ada juga yang mengatakan :
“Aku selalu bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah, dan juga dengan melakukan ibadah kepada Allah serta melakukan amaliah kepada sesama hamba-Nya”.   
Tapi mungkin ada juga mereka yang sebelum menjawab pertanyaan kita di atas, sebelumnya mereka bertanya balik, apa saja ya nikmat Allah yang diberikan kepada kita?.
Mari kita lihat diri kita saja, di bagian kepala: ada rambut tumbuh, mata melihat, hidung bernafas, telinga mendengar, mulut bicara dan makan minum, otak berpikir dan merekam ingatan. Dari mana kita dapat, semua diberi. Ada mereka yang diberi tidak lengkap, tetap mereka bersyukur daripada tidak diberi sama sekali.
Mari kita lihat lagi, kita punya tangan dan kaki, ada yang namanya jantung, paru-paru, hati, ginjal,.dll, dll, lagi. Sanggup kita menghitung nilainya, atau harganya?. Bayangkan kalau ada salah satu yang diambil lagi oleh Pemberinya.

Apa yang sebagian disebut di atas baru nikmat yang ada pada diri kita langsung. Ada nikmat-nikmat lainnya yang sering banyak orang melupakannya. Allah menciptakan matahari dan pelanet-pelanet, tanaman, binatang, pohon (hutan), air, udara, serta benda-benda berharga yang dikandung bumi.
Kita diberi hidup berkeluarga (isteri, anak-anak), hidup berkecukupan, bertetangga, berbangsa dan bernegara yang merdeka. Bukankah semua itu nikmat yang diberikan Allah?. Dan biasanya kita baru sadar kalau ketika ada yang sudah diambil-Nya dari kita?.

Tapi Allah bersifat rahman dan rahim (kasih sayang). Dan selalu mengingatkan agar manusia tidak zalim dan tidak ingkar terhadap nikmat yang diberikan-Nya. Seperti dalam Surah Arrahman, yang jumlah ayatnya ada 41 ayat, sebanayk 31 ayat mengingatkan manusia tentang nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
“Fabiayyi alaaai rabbuka tukazzibani” (Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?).
   
Mungkin timbul pula pertanyaan, mengapa masih banyak orang hidup dalam kemiskinan. Allah berjanji “ Wa atakum min kulli saaltumuuhu” (Dia (Allah) akan memberimu apa-apa yang kamu minta).  Karena itu jawabnya adalah mari meminta (berdoa’a) kepada Allah. “Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in”. (Kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku meminta). Allah menargetkan kita menyembah dan kemudian meminta kepada-Nya sekurang-kurangnya 5 kali dalam sehari semalam. Kalau hal itu kita sudah lakukan dan tidak lalai, Allah tentu akan memenuhi janji-Nya. Insya Allah. Terkecuali seperti diberitakan dalam Al Qur’an memang ada orang-orang shaleh yang mendapat ujian kesabaran dari Allah, mereka lulus dan mereka adalah ahli surga.  

Kalau kita sejenak introspeksi diri, tentu kita sadar begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita umat-Nya. Karena itu wajar kalau kita senantiasa bersyukur dengan selalu melaksanakan perintahnya: aqimis shalah wa atuzzakah, kutiba alaikumus siam, qala la ilaha illa Allah, dan bagi yang “siap” hadir di padang Arafah pada 9 Zulhijjah.  
Tapi bagi mereka yang zalim dan ingkar akan nikmat Allah, maka seperti firman-Nya dalam Al Qur’an surah Iberahim ayat 7: “Wa iz taazzana rabbukum: lain syakartum la azidannakum, wa lain kafartum inna ‘azaba lasyadiid”. (Dan Tuhan mu memberitahukan: jika kamu bersyukur akan Ku-tambah nikmatmu, tapi bila ingkar siksa-Ku amat pedih).

Memperhatikan keberadaan masyarakat di negeri kita saat ini, apakah ini gambaran dari masyarakat yang senantiasa bersyukur kepada Allah, atau gambaran dari masih banyak  masyarakat yang zalim dan ingkar kepada Allah?.  Wallahu ‘alam.
(HRN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).





  

Minggu, 26 Oktober 2014

PERANAN SUNAN AMPEL DALAM PENYEBARAN ISLAM DI JAWA



PERANAN SUNAN AMPEL DALAM MEYEBARKAN ISLAM DI JAWA

Oleh: Ramli Nawawi

Kalau sdr bepergian ke kota Surabaya ibu kota Propinsi Jawa Timur, tepatnya di Kelurahan Ampel maka sdr akan menemukan makam Sunan Ampel, yakni salah seorang dari mereka yang disebut Wali Songo.Makam ini terdapat dalam satu komplek dengan Masjid Ampel..
Sebagai salah satu aset wisata keagamaan makam dan Masjid Ampel ini setiap harinya banyak dikunjungi masyarakat yang datang berziarah, baik yang berasal dari Pulau Jawa sendiri, maupun dari pulau-pulau lain di Nusantara ini.
Sebagai aset wisata yang  dikenal di Nusantara, maka satu hal yang menarik pada komplek Sunan Ampel ini, yaitu di jalan masuk komplek dimaksud terdapat berbagai jenis dagangan berupa makanan dan pakaian yang berciri khas Islami, yakni berupa barang makanan dan pakaian yang biasanya terdapat di pasar-pasar yang ada di Tanah Suci Mekah Saudi Arabia. Pakaian berupa pakaiaian Muslim wanita, sajadah, serban, kupiah haji, tasbih dan lain-lain pakaian Muslim untuk pria. Juga berbagai makanan untuk oleh-oleh yang bisa dibawa pulang seperti buah korma, kacang Arab, dan lain-lain. Tersedianya berbagai barang jualan yang biasanya dibeli Jamaah Haji sewaktu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci tersebut, merupakan daya tarik tersendiri yang menyebabkan banyak orang yang datang di Surabaya menyempatkan diri berkunjung ke komplek Sunan Ampel, di samping untuk berziarah ke makam anggota Wali Songo tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sebaiknya kita mengetahui siapakah sebenarnya Sunan Ampel di maksud. Sunan Ampel semula bernama Sayid Ali Rahmatullah. Ia lahir di Campa sekitar tahun 1401 Masehi. Orang tuanya bernama Syekh Maulana Ibrahim Samargandi. Nama Samargandi tersebut karena beliau berasal dari Samargand, sebuah daerah di tanah Rusia sekarang. Di Samargand ini terdapat daerah lagi yang bernama Bukhara, yakni daerah yang melahirkan ulama-ulama besar seperti sarjana (ulama) ”hadits” terkenal bernama bernama Imam Bukhari yang masyhur sebagai ”perawi” (orang yang meriwayatkan Hadits Nabi Muhammad saw) yang dikenal sebagai hadits-hadits sahih.
Di Samargand ini pula terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumaidi Kubra, seorang Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Imam Syafifi. Syekh Jamaluddin inilah yang melahirkan Syekh Maulana Ibrahim Samargandi yang ketika menyiarkan agama Islam ke Campa (Muang Thai), oleh raja Campa di jodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Dari perkawinan antara Syekh Maulana Ibrahim Samargandi dengan Dewi Candrawulan inilah lahir Sayid Ali Rahmatullah, yang kemudian disebut Sunan Ampel.
Sedangkan seorang putri Campa lainnya yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir.
Kemudian bagaimana  Sayid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) sampai ke tanah Jawa, ceriteranya sebagai berikut.
Di Kerajaan Majapahit, setelah Mahapatih Gajah Mada meninggal terjadi kemunduran yang drastis. Sejak itu pula para bangsawan dan para pangeran banyak yang suka berpesta pora, main judi dan mabuk-mabukan. Ketika Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir memerintah, dia saat itu merasa sedih dan gelisah, karena menyadari bahwa apabila hal kemerosotan moral di kalangan kerajaan tersebut terus berlangsung negara akan menjadi lemah, sehingga Majapahit mudah dihancurkan oleh musuh.
Dalam situasi itulah Dewi Dwarawati, isteri Prabu Brawijaya yang menyadari keresahan suaminya mengajukan pendapat kepada Prabu Brawijaya suaminya untuk meminta bantuan kepada keponakannya seorang Pangeran Dari Campa bernama Sayid Ali Rahmatullah, yang di negrinya di kenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
Sang Prabu Brawijaya menyetujui usul isterinya tersebut, sehubungan dengan itu diutuslah seorang pejabat dari Majapahit untuk menyampaikan permintaan Sang Prabu Brawijaya dan isterinya tersebut ke istana kerajaan di Campa.
Menanggapi permintaan tersebut Sayid Ali Rahmatullah menyatakan kesediaannya. Iapun kemudian berangkat ke tanah Jawa. Setibanya di Kerajaan Majapahit dan menghadap Sang Prabu Brawijaya, Sayid Ali Rahmatullah di tempat baru ini biasa di sebut Raden Rahmat, ditugaskan oleh sang raja untuk memperbaiki moral para bangsawan dan para pangeran yang telah rusak tersebut.
Setelah berlangsung beberapa bulan, Prabu Brawijaya yang melihat kearifan Raden Rahmat dan keberhasilan usahanya dalam membina moral keluarga raja dan bahkan rakyat di sekitarnya tersebut, kemudian menjodohkan Raden Rahmat dengan anaknya yang bernama Putri Candrawti. Bahkan selanjutnya untuk meneruskan usahanya menanamkan moral dan kebenaran terhadap rakyat umumnya, Prabu Brawijaya memberikan sebidang tanah kepada Raden Rahmat dan isterinya untuk mereka tinggal bersama pengikut-pengikutnya. Tanah hadiah Prabu Brawijaya tersebut terletak di Desa Ampel Denta (di Surabaya bagian utara sekarang)
Raden Rahmat dan isterinya serta pengikutnya yang berdiam di Desa Ampel Denta, dalam usahanya menyebarkan ajaran Islam kepada rakyat di sekitarnya, kemudian mendirikan sebuah langgar untuk melaksanakan shalat berjamaah yang dipimpin oleh Raden Rahmat. Karena pengikutnya semakin lama semakin banyak, langgar tersebut juga kemudian diperbesar sehingga menjadi sebuah masjid. Masjid tersebut kemudian tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat lima waktu, tetapi juga tempat bagi Raden Rahmat untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada pengikutnya, murid-muridnya dan rakyat sekitarnya yang pada umumnya telah memeluk agama Islam pula.
Masjid yang dibangun Raden Rahmat untuk melaksanakan shalat berjamaah dan tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada murid dan pengikut-pengikutnya tersebut, kemudian dikenal masyarakat sebagai Masjid Ampel. Sedangkan Raden Rahmat sendiri kemudian oleh pengikut-pengikutnya disebut Sunan Ampel.
Dakwah pokok Sunan Ampel yang berlangsung dari masjid Ampel tersebut ialah memberikan penjelasan mengenai makna dan tafsir  dari kalimat: BISMILLAH, ALHAMDULILLAH, ASTAGFIRULLAH dan SYAHADATAIN.
Sementara itu Sunan Ampel juga mengajarkan falsafah MOH LIMO, atau tidak mau melakukan lima hal yang tercela, yaitu:
  1. MOH MAIN, atau tidak mau brjudi.
  2. MOH NGOMBE, atau tidak mau minum arak, atau bermabuk-mabukan.
  3. MOH MALING, atau tidak mau mencuri.
  4. MOH MADAT, tidak mau mengisap candu, ganja, dll.
  5. MOH MADON, tidak mau berzina..
 (HRN: Harap naskah ini tidak diposting ke blog lain).

Minggu, 28 September 2014

MUSIBAH



MUSIBAH

Ada tiga perkara yang tergolong musibah yang membinasakan, yaitu:
1.         Seorang penguasa, bila kamu berbuat baik kepadanya, dia tidak mensyukurimu, dan bila kamu berbuat kesalahan dia tidak mengampuni.

2.         Tetangga, bila melihat kebaikanmu dia pendam, tapi bila melihat keburukanmu dia sebar luaskan.

3.         Isteri, bila berkumpul dia mengganggumu, dan bila kamu pergi (tidak di tempat) dia akan mengkhianatimu  

(Hadits Riwayat.Athabrani)

Kamis, 25 September 2014

DEWAN BANJAR



DEWAN BANJAR

Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Dewan Banjar adalah suatu badan yang beranggotakan wakil-wakil rakyat di daerah Banjarmasin dan Hulu Sungai di Kalimantan Selatan. Dewan ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 1 Staatblad No. 14 tanggal 14 Januari 1948. Pemerintah NICA (Nederland Indische Civil Administration) membentuk badan ini berkaitan dengan usaha Pemerintah Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia setelah sempat diambil alih oleh Jepang selama 4,5 tahun. Dewan Banjar seperti beberapa dewan lainnya yang dibentuk Pemerintah NICA di Indonesia adalah merupakan sarana untuk pembentukan Negara Bagian Kalimantan. Hal ini sesuai dengan usaha Pemerintah NICA dalam rangka pelaksanaan politik divide et impera, guna memecah belah bangsa Indonesia.
Dewan Banjar yang berusia dua tahun dua bulan 20 hari tersebut dibubarkan oleh Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Surat Keputusan No. 137 tanggal 4 April 1950. Kegagalan Dewan Banjar melahirkan Negara Bagian Kalimantan tidak terlepas dari karena adanya para anggota Dewan dari kaum Republiken yang dalam persidangan-persidangannya selalu melakukan tindakan menghalang-halangi  usaha pihak NICA tersebut.
Keikutsertaan wakil-wakil dari partai politik yang menghendaki tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, ternyata berhasil mengulur-ulur waktu sehingga usaha pembentukan Negara Bagian Kalimantan tersebut tidak kunjung mendapat kesepakatan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas NICA kemudian dengan cara licik berusaha menambah para anggota Dewan dari golongan federalis. Dengan cara itulah pemerintah NICA akhirnya bisa menghasilkan keputusan Dewan yang menyetujui akan dibentuknya Negara Bagian Kalimantan.
Namun demikian usaha pembentukan Negara Bagian Kalimantan tersebut tidak pernah terwujud. Hal ini karena kemudian terjalin kerja sama antara anggota Dewan dari golongan Republiken tersebut dengan para pemimpin gerilyawan yang tergabung dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV (A) Kalimantan Selatan, organisasi perjuangan bersenjata di daerah ini.
Melalui informasi dari anggota Dewan golongan Republiken, pimpinan ALRI Divisi IV (A) Kalimantan Selatan dapat mengetahui nama-nama anggota Dewan yang diberi tugas untuk merealisasikan keputusan Dewan tersebut. Mereka itu kemudian diculik oleh para gerilyawan dan dibawa ke daerah pedalaman. Peristiwa penculikan-penculikan oleh para gerilyawan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan anggota Dewan dari kelompok federalis dalam melaksanakan aktifitasnya.
Akibatnya sampai dengan terselenggaranya Konperensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain memutuskan adanya pengakuan kedaulatan kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1949, sehingga pembentukan Negara Bagian Kalimantan tidak pernah terwujud.
(Sumber :DEWAN BANJAR oleh Drs.H. Ramli Nwawi, th. 2000).