Kamis, 29 Mei 2014
Rabu, 28 Mei 2014
TAKDIR CINTA
(Ceritera ini fiksi, kalau ada
kesamaan nama, tempat dan lainnya dibuat hanya kebetulan, entri ini sambungan
dari entri posting tgl. 25 Maret 2014, oleh: Ramli Nawawi)
18. LIKA-LIKU KESEPAKATAN CINTA (2)
Tiga bulan berlalu sejak pertemuan Ana dengan Ali, ketika Ali menemui Ana
di rumahnya. Banyak peristiwa yang terjadi yang dialami Ali keseharian selama
tiga bulan berada di kota tempat studynya. Demikian juga perjalanan kehidupan keseharian
Ana, baik yang berhubungan dengan tugas kerjanya sebagai guru, juga tentang
perkembangan yang berkaitan dengan yang telah dilakukan pihak keluarga Ali dan
keluarganya Ana dalam keinginan membuat ikatan pertunangan mereka berdua.
Apa saja yang terjadi yang dialami Ana berkaitan dengan kesehariannya sebagai
guru, tentang kepindahan tempatnya mengajar, juga segala lika-liku yang terjadi
yang telah dilakukan orang tua mereka dalam mewujudkan tali pertunangan mereka,
semuanya di ceriterakan Ana kepada Ali melalalui suratnya. Ali juga selalu
menanggapi apa yang dikabarkan Ana melalui suratnya, dan dalam membalas surat
Ana tak lupa juga berceritera tentang kegiatannya disamping selalui
menyampaikan keinginannya untuk menemui Ana kapan setiap ada waktu yang
terluang. Sehubungan dengan itulah menjelang Minggu di akhir bulan ketiga sejak
pertemuan mereka dulu Ali di akhir kalimat suratnya menulis :”Insya Allah
Minggu depan akan pulang dan akan mampir ke rumah you,” tulis Ali menutup
suratnya..
Surat Ali yang menyatakan akan menemuinya diterima Ana pada sore Jumat
ketika ia sedang menyiram bunga mawar yang tumbuh di halaman rumahnya. Sehabis
membaca surat Ali yang diantar tukang pos tersebut, Ana merasakan suatu
keyakinan bahwa cinta tulusnya Ali kepadanya sama seperti cinta tulusnya dia
kepada Ali. ”Sebagai tanda aku sangat
mencintai you Li, aku akan ....beda di matamu Li nanti pada hari Minggu menyambut kedatangan you”, gumam Ana sambil
melipat surat Ali dan menympannya ke dalam rak buku tempat kumpulan surat-surat
Ali yang pernah diterimanya.
Ali yang tidak ingin mengecewakan Ana sesuai janjinya akan bertamu kerumah
Ana pada hari Minggu sebagaimana isi suratnya, sore Sabtu sehabis pulang
sekolah Ali minta izin kepada ibu kostnya untuk pulang kampung menemui orang
tuanya. Sore Sabtu itu Ali pulang dengan kendaraan sendiri. Setibanya di kota
Kandangan Ali langsung meneruskan perjalanan menuju kampungnya. Menjelang
Magrib Ali sudah berada di rumah orang tuanya.
Sehabis makan malam bersama kedua orang tuanya, ibu Ali berceritera tentang
telah melakukan hubungan dengan keluarga Ana dalam rangka ingin mengikat
hubungan nya dengan Ana dalam ikatan pertunangan. Ali yang sebelumnya sudah
banyak mengetahui dalam suratnya Ana dengan tenang mendengarkan ceritera
ibunya, hanya kadang menimpalinya dengan pertanyaan. Kesimpulannya dalam
pertemuan terakhir kedua keluarga mereka telah tercapai kesepakatan.
Memang menurut abahnya Ali, sempat terjadi ada sesuatu yang menjadi pertanyaan
bagi kedua orang tuanya. Usulan dari keluarga Ana yang meminta uang mahar dalam
jumlah yang diatas keumuman saat itu, sempat membuat timbulnya penafsiran
apakah merupakan penolakan secara halus. Tetapi karena menurut utusan keluarga
Ali, usulan itu bukan dari keluarga dekat Ana, apalagi mengingat kenyataan sudah
lama terjalinnya cinta antara Ali dan Ana, serta penerimaan ibunya Ana yang
selalu baik terhadap Ali, maka masalah usulan tersebut tetap akan dipenuhi oleh
keluarganya. Masalah terakhir ini memang tidak ada tersirat dalam suratnya Ana
kepada Ali minggu yang lalu
Pagi Minggu seperti kebiasaannya Ana setelah melaksanakan segala kegiatan
rutinitasnya, sesuai janjinya ia akan menyambut kedatangan Ali beda seperti
biasa. Walaupun Ali tidak menyebut dalam suratnya akan datang pukul berapa, Ana
yakin saja kalau Ali tidak akan mengecewakannya. Ana juga tidak memberitahukan
kepada ibunya kalau hari itu Ali akan datang menamu ke rumah mereka.
Santai setelah makan pagi bersama ibunya, Ana lebih banyak berada di
kamarnya. Disamping mengenakan rok yang membuatnya tampak sexy, Ana juga
mempercantik wajahnya yang memberikan
kesan cintanya kepada Ali. Ibunya Ana yang biasa mengerjakan sesuatu di ruang
tengah dan ruang dapur, sejak pagi tadi melakukan pekerjaan dengan
santai-santai saja.
Walaupun Ana sedang berada di kamarnya, tetapi begitu mendengar ada kendaraan
masuk kepekarangan rumahnya, bergegas ke pintu depan dan berdiri di teras
depan. Sementara Ali sudah berada di sisi rumah memarkir kendaraannya.
Melihat Ali berjalan menuju teras dimana Ana berdiri, ia menyambut Ali
dengan senyuman.
”Boleh enggak nih aku masuk’, sapa Ali sebelum
melepas sepatunya.
“Apa pernah ada pengalaman ditolak, apalagi
tamu yang sudah bilang dalam suratnya mau datang”, balas sapa Ana.
“Siapa tahu setelah tiga bulan ada sesuatu yang
berubah”, bilang Ali yang sudah berdiri di samping Ana.
“Masuk dan duduk dulu baru kita bicara soal
perubahan”, cetus Ana sambil memegang tangan Ali menuju kursi tamu yang biasa
ditempati Ali.
“Nah, tiga bulan lebih kan tak menamu”, ujar Ana sambil duduk dikursi
panjang berhadapan dengan Ali, “sekarang
boleh duga dan boleh tanya tentang perubahan”, sambung Ana sambil senyum.
”Ada perubahan”, cetus Ali juga sambil senyum, ”perubahannya you semakin
cantik dan semakin tampak sexy”, puji Ali.
”Kalau gitu mau nih nanti menamunya lebih sering”, pinta Ana.
”Pasti maulah, apalagi lama tak ketemu, you kini tampak semakin cantik Na,
kalu bisa memang kita selalu bersama Na”, cetus Ali
”Apa iya Li aku beda dengan Ana yang lalu”, belum lagi Ali mengiyakan, Ana
sudah berucap kalau ia mau ke dapur dulu.
”Li tunggu ya sebentar”, ucap Ana sambil bangkit dan berjalan masuk menuju
ruang dalam.
Hanya selang sekitar tiga menit Ana kembali dengan membawa baki berisi dua
gelas teh dan sebuah stoples kue.
”Kok cepat banget siapnya”, komentar Ali.
”Ayoo, terka mengapa”, cetus Ana.
”Apa sudah disiapain minumannya sejak setelah menerima surat aku ya”, goda
Ali.
”Salaaah, ini Li bukti kalau mama tu sangat merestui kita, walau aku belum
bilang kalau you datang, tapi mungkin mama tadi lihat sendiri waktu you masuk
pekarangan, dan ini semua mama yang menyiapin”, jelas Ana
”Semoga restu mama memberikan berkat perjalanan cinta kita Na”, ucap Ali
sambil memperhatikan wajah Ana yang sedang meletakkan gelas minuman di meja
depannya.
”Udaah, silakan cicipi ini dulu, baru nanti aku mau tanya sesuatu”, ujar
Ana.
Ali menuruti saja permintaan Ana, yang disertai Ana juga meminum teh yang
di depannya.
”Tanya apa Na”, kata Ali.
”Pulang ke Barabai nya nanti sore ya Li”, tanya Ana yang bukan itu
pertanyaan yang sebenarnya akan di sampaikannya, hal itu jadi tampak dari wajahnya
yang sendu.
Memperhatikan wajah Ana yang tampak menyendu Ali bangkit dari duduknya dan
berpindah duduk di samping Ana yang duduk di kursi panjang.
”Tidak ada yang disedihkan Na’, bilang Ali sambil menggenggam erat tangan Ana,
”juga tak ada yang dikhawatirkan Na, orang tua kita kan sudah sama setuju akan
dilangsungkan nya acara pertunangan kita”, ujar Ali meyakinkan Ana.
”Darimana you tahu telah ada kesepakatan, aku kan tak pernah bilang dalam
suratku”, ujar Ana.
”Tadi malam aku kan pulang kampung, ada hal-hal yang kudengar dari kedua
orang tuaku yang belum tertulis dalam surat you”, ujar Ali.
”Coba Li ceritera”, ujar Ana kepada Ali yang masih duduk di sampingnya.
”Betul nih ingin tahu”, ujar Ali sedikit menggoda.
”Ceritera kalau itu berita baik untuk kita”, ujar Ana.
”Baiknya aku meneruskan minumku dulu ya”, bilang Ali sambil berpindah duduk
ke kursi di hadapan Ana.
”Ayo Li ceritera”, desak Ana setelah Ali meletakkan gelas minumnya.
”Kayanya you juga banyak tahu perjalanan gimana keinginan orang tua kita
untuk meresmikan suatu ikatan cinta kita Na”, ujar Ali.
”Memang aku sengaja Li tidak ceritera tentang adanya ucapan dari salah
seorang keluarga kami yang meminta hal yang kurang wajar”, jelas Ana.
”Tapi tak ada masalah kan Na”, ujar Ali.
’Memang mama menghawatirkan adanya penafsiran yang bisa menimbulkan
kesalahpahaman dari keluarga you”, bilang Ana.
”Memang jujur Na, masalah-masalah lain yang dibicarakan antara perwakilan
abah mama dengan keluarga you langsung bisa disepakati, tapi permintaan masalah
mahar kan yang mereka minta perlu persetujuan keluarga kami dulu”, ceritera
Ali.
”Mama yang tidak ikut dalam pertemuan tersebut, setelah mengetahui hal itu
menyesalkan, karena masalah itu akan dibicarakan mama nanti langsung dengan
orang tua you”, jelas Ana.
”Tapi sudah lah Na, karena abah mama juga kayi nini aku, yakin bahwa aku
dan you benar-benar saling mencintai dan juga mengetahui bahwa mama you juga
bisa menerima aku yang sudah sering bertamu. Kayi aku lah Na yang bilang: ”kalau Ana memang pilihannya
Ali, dan masalah itu bukan merupakan penolakan orang tuanya Ana, berapapun
permintaan kita penuhi”, jelas Ali.
”Terima kasih Li penjelasan you, aku dan mama memang sudah tahu ada
kesepakatan dari tente Ramlah bibi you yang di Jalan Merdeka, tante dan mama
malah sudah menetapkan tanggal di bulan depan, akan mengantarkan ”patalian dan
tukar cincin pertunangan”, ujar Ana.
”O ya, baru ingat
Na, tadi mama pesan minta ukuran jari manis you guna membuat cincin untuk you”,
bilang Ali.
”Sama Li, bahkan minggu lalu sehari sesudah kedatangan tante Ramlah, mama pesan
minta ukuran jari you guna membuat cincin ya juga untuk nanti”, cetus Ana
senyum.
”Nah gitu dong, buang tu sendunya”, tukas Ali.
”Maaf Li, tadinya aku masih berpikir khawatir, kalau kesepakatan hubungan
kita ini, ada benih kesalahpahaman, atau benih kecurigaan, padahal bukan
kemauan keluarga dekat aku apalagi mama aku”, ujar Ana.
”Sudah Na, lupakan segala yang meragukan kita, dengan cinta kita singkirkan
rintangan di perjalanan waktu yang masih cukup terasa lama”, pesan Ali.
”Janji tidak berubah ya Li, aku cari benang dulu yang cocok untuk buat
ukuran cincin kita”, bilang Ana sambil bangkit masuk ke ruang dalam.
Beberapa menit berselang Ana datang membawa golongan benang yang agak tebal
serta sebuah gunting.
”Sini Li duduk”, ajak Ana minta Ali pindah duduk di kursi panjang di
sisinya.
“Jari mana yang diukur kelilingnya Na”, billang Ali sambil duduk di samping
kanan Ana.
”Sini tangannya, jari manis kiri atau kanan kan sama saja”, kata Ana sambil
melilitkan benang di jari manis tangan kiri Ali. Setelah itu Ana memotong
persis di pertemuan ujung benang yang melingkari jari manis Ali.
”Sekarang aku pindah duduk ke sebelah kanan you. Lalu ini giliran you yang
melingkarkan benang di jari manis tangan kiri aku”, ujar Ana.
”Bisa nggak nih aku”, bilang Ali sambil melingkarkan benang di jari manis
tangan kiri Ana.
”Yang pas Li, nanti kalau kendur cincinnya longgar”, cetus Ana.
”Beres pasti pas”, ujar Ali, sambil melepas lilitan benang dijari manis
Ana, dan kemudian memotongnya persis juga di
pertemuan ujung benang yang melingkari jari manis Ana.
”Na Li, benang yang you pegang itu simpan di dompet you supaya nggak
kececer. Nanti serahkan kepada mama you, bilang ini ukuran untuk cincin Ana,
jangan lupa di bagian dalam cincin ada
tulisan ALI”, pesan Ana bersemangat.
.”Kalau benang yang ukuran jari aku tadi, apa sekalian nanti kami saja yang
juga bikinnya Na”, tanya Ali.
”Nggak boleh, yang benang ukuran jari you tadi nanti aku dan mama yang buat,
kan di bagian dalamnya nanti nama aku”, sanggah Ana.
”Gimana Na agar bentuk dan kualitas pembuatannya nggak beda nanti”, tanya
Ali.
”Nanti bilang sama mama you, siapa yang diminta mengurus pembuatannya kalau
sempat bertemu mama dulu, biar nanti dibikin oleh tukang mas yang sama”, ujar
Ana.
”Usul yang bagus Na, nanti aku kan pulang ke rumah dulu sebelum berangkat
ke Barabai, menyerahkan benang ukuran cincin untuk you ini dengan tulisan nama
aku itu, juga pesan you tentang pembuatan cincin kita itu”, ujar Ali.
”Jangan sampai lupa ya Li”, sahut Ana.
Bersamaan dengan ucapan pesan Ana tersebut, mamanya Ana muncul di pintu
ruang dalam dan memanggil Ana.
”Maaf ya nak Ali, Ana ke dalam dulu ya”, sapa mamanya Ana kepada Ali.
”Ya.. ma”, sahut Ali singkat, bersamaan dengan masuknya Ana ke ruang dalam
mengikuti mamanya.
Di ruang dalam mamanya Ana sudah menyiapkan hidangan makan siang yang
dihampar lesehan khusus untuk Ali dan Ana berdua.
”Na, ajak Ali masuk dan makan dulu”, ujar mamanya Ana.
”Inggih ma”, kata Ana, dan
langsung masuk kembali ke ruang tamu
menemui Ali.
”Kok you nggak duduk’, cetus Ali yang melihat Ana datang dan berdiri di
samping kursi tempat duduknya Ali.
”Aku minta you mengikuti aku, tak boleh dibantah kalau nggak mama kecewa
Li”, pinta Ana.
”Pasti ada yang sangat penting nih”, gumam Ali pelan, sambil berdiri dan
mengikuti Ana masuk ke ruang dalam.
”Nak Ali makan dulu ya, seadanya ya, ayo Na temani Ali”, pinta mamanya Ana
yang menyambut Ali di ruang dalam.
”Terima kasih ma, sama-sama yu ma”, ujar Ali.
”Silakan nak Ali dengan Ana saja, mama lagi ada yang diberesin di dapur”,
ujar mamanya Ana sambil masuk ke ruang dapur.
”Na, mama you baik sekali”, puji Ali.
“Mama kan calon mertua you”, seloroh Ana.
”Wah... makan besar nih”, ujar Ali.
”Udah Li, ini aku sendokkan dulu nasinya ke piring you”, sahut Ana.
”Jangan banyak-banyak dulu, nanti akau bisa tambah sendiri nasinya”, tukas
Ali.
”You harus makan yang banyak”, pinta Ana, sambil meletakkan piring nasinya
Ali.
”You juga baik sekali Na”, puji Ali.
”Sudah Li, ambil ini gangan asam tulangan daging sapi, ini ikan goreng
pepuyu, ada lalapan juga nih, suka pedas juga ya Li, ini ada sambel lomboknya
”, ujar Ana
”Tapi tu piring nasi you belum diisi nasi”, bilang Ali mengingatkan.
”Tenang Li, nih aku mulai menyendok nasinya, terserah you Li mau pakai
sendok atau pakai tangan, ini ada kobokannya”, ujar Ana.
”Pakai sendok tapi juga pakai tangan bila perlu”, ujar Ali sambil menyendok
kuah gangan asam dan mengambil sepotong tulangannya.
”Nggak boleh sungkan Li”, bilang Ana
sambil ia menirukan menyendok kuah gangan asam, tapi Ana malah mengabil ikan
goreng pepuyu.
”Ambil lagi Li, itu pepuyunya, lalapannya juga”, pinta Ana.
”Tenang Na, sesuai permintaan you akan aku
cicipi semuanya”, tegas Ali.
Selesai keduanya makan siang yang dihidangkan
mamanya Ana, Ali lebih dulu kembali ke kamar tamu, sementara Ana memberesi
makanan yang masih ada, mencuci peralatan yang bekas dipakai mereka berdua.
“Mama sudah makan, ma”, sapa Ana melihat
mamanya baru selesai mengambil wudhu hendak shalat Zuhur”.
“Sudah tadi duluan dari kamu berdua”, jawab
mamanya Ana singkat, sambil berjalan menuju ruangan kecil tempat shalat.
. .
Selesai melakukan cucian dan beres-beres, Ana
kembali menemui Ali yang masih duduk di kamar tamu.
“Li, kalau nanti aku ikut ke Barabai dan
berkenalan dengan teman-teman sekolah you boleh nggak”, ucap Ana membuka pembicaraan
setelah ia duduk menemani Ali.
“Sa...ngat boleh”, kata Ali pasti.
”Betul nih,,”, sungka Ana.
”Betul banget”, jawab Ali, ”Kan kawan-kawan aku baik cowok atau cewek
umumnya sudah tahu kalau kita sudah mengikat cinta sejak masih di sekolah kita
dulu”, jelas Ali.
”Kok bisa begitu Li”, kata Ana ragu.
”Kan yang sedang belajar sama aku di Barabai tu, yang berangkat sama aku
kan ada empat orang, apalagi ada juga beberapa adik kelas kita dulu yang juga
menyusul bersekolah disana, mereka ini yang bisa-bisa bicara tentang kita,
bahkan tak sedikit yang tahu nama you Na”, ujar Ali.
”Kalau begitu, semoga aman ya Li”, harap Ana.
”Tenang Na”, bilang Ali sambil berdiri berpindah duduk ke kursi panjang di
sisi Ana.
Ana yang tadi banyak bicara ingin meyakinkan kesetiaan Ali kepadanya,
menyaksikan Ali yang sudah duduk di sampingnya, hanya diam.
”Na, you tu punya kelebihan dari cewek-cewek teman sekolah aku, you tu cantik
lahir dan juga cantik batin”, ujar Ali sambil menatap mata Ana. Ana hanya diam
ketika Ali kemudian mencium pipi kanannya.
”Nantilah pulangnya...”, bilang Ana melihat gelagat sikap Ali yang tampak
bersiap akan meninggalkannya.
”Maunya Na juga inginnya begitu, tapi setelah pulang kampung aku kan sore
ini juga harus kembali ke Barabai”, kata Ali.
”Kapan ya Li kita bisa berduaan yang lama seperti dulu”, harap Ana.
”Na, waktu libur semesteran nanti kita bisa
banyak acara, nanti dua bulan lagi”, ujar Ali.
“Batul kan Li”, harap Ana, ”tapi kalau bisa nggak usah dua bulan lah Li,
apa sibuk benar. nih pada hari Minggu awal bulan depan”, sambung Ana.
”Oh kalau sukanya gitu, oke tunggu aja nanti hari Minggu awal bulan depan,
mungkin ada acara khusus ya Na”, tanggap Ali.
Ana hanya senyum puas mendengar pernyataan Ali.
”Gimana Na, kayanya Ali mau pamit nih sama mama you”, ujar Ali dengan
menyebut namanya sendiri.
Ana berdiri masuk ke ruang dalam, menyingkap korden pintu kamar mamanya,
dan melihat mamanya lagi merebahkan diri di tempat tidurnya. Ana tak mau
mengganggunya dan ia langsung kembali menemui Ali.
”Mama lagi istirahat Li, biar nanti aku yang memberi tahu mama”, jelas Ana.
”Oh kalau gitu pamitnya Ali langsung sama Ana nya lah”, goda Ali.
”Nih salam tangan aku”, ujar Ana sambil memegang tangan Ali yang sudah
berdiri di sampingnya. Ana masih memegang tangan Ali sambil berjalan menuju
pintu depan. Sebelum melangkah keluar pintu, Ali melepaskan pegangan tangan
Ana, kemudian mencium mesra pipi kanan-kiri Ana.
”Jangan lupa janjinya Minggu awal bulan depan”, ujar Ana.
”Pasti, jangan ragu Na”, ujar Ali sambil berjalan menuju kendaraannya.
”Sampai jumpa Na”, ujar Ali yang sudah berada di atas kendaraannya.
”Aku tunggu Li”, jawab Ana singkat sambil melepas kepergian Ali.
(bersambung)
Rabu, 30 April 2014
JUJUR DAN IMAN
JUJUR DAN IMAN
Oleh: Ramli Nawawi
Setelah selesai
pemilu Caleg akhir-akhir ini ramai diberitakan masalah kejujuran. Lawan dari
jujur adalah curang. Jadi kejujuran lawannya adalah kecurangan. Semua orang
yang waras akalnya pasti sudah tahu kalau jujur itu lawannya adalah curang. Dan
bagi orang yang beragama juga pasti sudah tahu kalau berbuat curang itu adalah
dosa. Kalau perbuatan curang itu dilakukan kepada seseorang, sehingga orang
tersebut dirugikan, maka dosanya dubel, yakni dosa kepada Tuhan dan dosa kepada
orang yang dicurangi. Tetapi seseorang yang berbuat curang tersebut menyadari
perbuatannya dosa, kalau orang tersebut ada imanya sadar bahwa perbuatan curang
dimurkai oleh Tuhan (bagi yang beragama Islam mendapat murka dari Allah SWT).
Berbicara masalah
jujur dan iman seseorang tersebut, saya peribadi teringat akan satu peristiwa,
dulu tahun 1990 an. Ketika itu penerimaan pegawai negeri masih ditangani oleh
masing-masing Kantor Wilayah di tingkat propinsi. Kebetulan saya diikutsertakan
dalam panitya penerimaan pegawai baru di lingkungan Kanwil Depdikbud. Para calon PNS waktu itu pertama harus lulus persyaratan
administrasi, kemudian lulus test tertulis, dan dilanjutkan dengan wawancara.
Persyaratan
administerasi tentu saja antara lain berkaitan dengan ijazah sesuai dengan
bidang yang diperlukan, usia dan sebagainya. Sedangkan materi test tertulis
sepertinya tidak jauh beda dengan materi test calon PNS saat ini, selain yang
bersifat umum juga berhubungan dengan pekerjaan yang akan dilakonimya. Wawancara
selain meliputi masalah keperibadian para calon juga sejauh mana penguasaan
ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.
Tapi sesuai
dengan judul tulisan ini, saya tidak akan bicara tentang bagaimana kualitas
para calon PNS yang berhasil diterima sebagai pegawai baru di lingkungan Kanwil
Depdikbud waktu itu. Hanya ada satu hal yang tak pernah saya lupakan.
Peristiwanya
begini: Kurang lebih dua minggu setelah pengumuman kelulusan mereka yang
diterima sebagai PNS dan di tempatkan di tempat tugasnya masing-masing. Waktu
itu pada hari Minggu sekitar pukul 9.00 pagi ada seorang pemuda datang menamu
ke rumah saya. Ketika itu pintu
pagar rumah saya sedang terbuka, karena itu pemuda tersebut bisa langsung masuk
pekarangan rumah saya. Karena saya kebetulan sedang berada di tiras depan
rumah, dia langsung mengucapkan salam kepada saya. Ketika saya berdiri dan
menjawab salamnya, saya masih belum tahu siapa dia dan apa maksud menemui saya.
Walaupun begitu dia saya ajak masuk rumah saya dan duduk bersama saya di kursi
tamu.
Sebelum saya bertanya tentng dia, pemuda yang
tampangnya biasa-biasa saja tersebut lebih dahulu bicara:
”Mungkin bapak lupa sama saya”, katanya membuka
pembicaraan.
”Ya, tapi kayanya kita pernah bertemu, tapi di
mana ya .....”, kataku.
”Di kantor bapak, ketika itu bapak mewawancarai
saya”, sahutnya.
Saat itu baru aku ingat kalau dia itu dulu ikiut
test pegawai baru, yang kebetulan aku yang mewawancai dia. Sempat terpikir saat
itu, mungkin dia akan protes karena tidak lulus.
”Alhamdulillah pak saya termasuk yang lulus”,
jelasnya.
”Wah, selamat lah kalau begitu”, sahutku, yang
tadinya sempat terpikir macam-macam.
”Begini pak, saya tinggal di desa jauh pak ada
sekitar ratusan km lebih pak dari rumah bapak ini. Di desa saya tersebut ada
sebuah SMP Negeri, dan SK pengangkatan saya di tempatkan sebagai Pesuruh di
sekolah tersebut.
”Kenapa nggak suka”, tanya saya.
”Bukan pak, tadinya saya sangat bersyukur mendapat
pekerjaan tetap, dengan gaji yang sangat saya syukuri”, jelasnya.
”Lalu apa ada masalah”, tanya saya.
”Begini pak, kayanya baik Kepala Sekolah maupun
Kepala TU nya, ingin menolong saya dan menyarankan agar ikut test dalam
penerimaan pegawai baru. Saya diminta membuat berkas foto copy sesuai
persyaratan, dan dengan maksud agar saya berhasil diterima saya di buatkan
Surat Keterangan Sebagai Tenaga Honor di Sekolah tersebut.
”Maksudnya apa nih”, tanyaku.
”Begini pak, saya kan tidak pernah sebagai tenaga
honor di sekolah tersebut, jadi Surat Keterangan saya sebagai Tenaga Honor tersebut
kan bohong pak”, jelasnya.
Aku diam saja mendengar penjelasannya, tersirat di
pikiranku kalau orang ini jujur dan mau berterus terang sesuatu yang tidak
benar.
”Lalu begini pak, saya selalu terganggu dengan
sesuatu kebohongan itu, walaupun itu bukan saya yang membuat dan memintanya.
Karena itu dua hari yang lalu saya menghadap seorang ulama yang ada di kampung
saya. Saya jelaskan semua masalah tersebut. Beliau bilang begini: ” Kalau surat
keteranga palsu tersebut merupakan salah satu persyaratan sehingga kamu
diterima bekerja sebagai Pesuruh
tersebut, maka pekerjaan yang kamu terima tersebut tidak benar dan uang gaji
yang kamu terima tidak halal”, katanya
menirukan penjelasan ulama yang dimintainya pendapat.
”Lalu gimana saya, tanyaku kepada beliau”, bilangnya.
” Beliau, ulama tersebut memberi saran , agar saya
menanyakan; apakah Surat Keterangan Sebagai Tenaga Honor tersebut merupakan
suatu persyaratan, kalau itu merupakan persyaratan padahal tidak benar
sebaiknya tinggalkan pekerjaan itu”, jelasnya.
”Oh begitu masalahnya”, sahutku.
”Ya pak, makanya saya datang menemui bapak untuk
menanyakan, apakah dalam pengumuman penerimaan pegawai tersebut ada di
cantumkan persyaratan tersebut”, katanya setengah mendesak.
Karena dalam persyaratan administrasi penerimaan
pegawai baru tersebut tidak mencantumkan tentang perlunya Surat Keterangan
sebagai Tenaga Honorer, dan hal yang diluar persyaratan memang diabaikan, maka
aku bilanag:
”Yang merupakan persyaratan administrasi dalam
Pengumuman Penerimaan Pegawai Baru tersebut hanyalah yang tercantum dalam Surat
Pengumuman tersebut, mungkin kamu juga baca, jadi di luar itu yang lainnya
diabaikan” , kubilang begitu
”Syukur Alhamdulillah”, bilangnya .
Memang penerimaan pegawai baru di lingkungan Kanwl
Depdikbud di Kalsel pada tahun t990 an waktu tidak ada ketentuan memeberikan
ketentuan keistimewaan kepada honorer, tapi harus lulus murni dalam test administrasi, test tertulis, dan
test wawancara. (Hak honorer akan mendapat pengangkatan sebagai PNS tanpa ikut
test baru ada masa ini)..
Jujur dan menyadari sebuah perbuatan yang salah,
hanya ada pada seseorang beriman. Dan hanya pada seseorang yang beriman yang
takut akan AZAB Allah. Bukankah imbalan sesuatu pekerjaan, jabatan, dan
sebagainya, baik berupa uang atau gaji dan benda lainnya yang di peroleh dari
ketidak jujuran atau kecurangan, semuanya tidak halal atau haram. Setiap yang
yang haram yang dimakan juga dipakai akan berbuah azab.Apakah itu Azab, yaitu
berupa kehidupan yang menyengsarakan. Siapa yang ikut menikmati hasil pekerjaan
yang didapatkan dengan jalan haram, baik isteri dan anak-anak, siapapun, mereka
akan berpribadi liar, yang ujung-unjungnya membuahkan kesengsaraan baik di
dunia apalagi di akhirat. Mari kita amalkan kejujuran dan kita perteguh
keimanan.(HRN).
Kamis, 24 April 2014
Kamis, 17 April 2014
Selasa, 25 Maret 2014
TAKDIR CINTA
(Ceritera ini fiksi,
kalau ada kesamaan nama, tempat dan lainnya dibuat hanya kebetulan, entri ini
sambungan dari entri posting tgl. 23 Januari 2014), oleh: Ramli
Nawawi.
17. LIKA-LIKU KESEPAKATAN CINTA (1)
Seperti biasa sekitar pukul satu siang Ana dengan
kendaraannya tiba di rumah setelah selesai mengajar di sekolahnya. Ketika ia
memasuki pekarangan rumahnya, Ana melihat ada mobil di rumah sebelah milik
pamannya yang biasanya kosong, karena pemiliknya lebih banyak tinggal di
Banjarmasin.
Setelah masuk rumah dan berganti pakaian di
kamarnya, Ana menemui ibunya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.
”Sudah siap Na, makan yu...”, sapa ibunya mengajak
Ana makan bersama.
”Sebentar ma, tadi di sekolah belum sempat
shalat”, jawab Ana sambil terus ke tempat mengambil wudhu dekat kamar mandi.
”O ya, selesaikan shalat dulu, mama tunggu”,
bilang ibunya.
”Ya ma”, jawab Ana singkat.
Selesai mengambil wudhu Ana langsung masuk kamarnya dan melaksanakan shalat Zuhur. Setelah selesai berdoa dan mengganti pakaian shalatnya, ia keluar kamar menemui ibunya yang sudah duduk di kursi meja makannya.
”Masak apa ma”, sapa Ana kepada ibunya sambil
duduk di kursi makan berhadapan dengan ibunya.
”Lihat dan terka sendiri nih”, sahut ibunya sambil
menyenduk nasi ke piring di depannya.
”Wah masak sayur asam ya ma, enak nih”, cetus Ana
sambil mencermati sayur masakan ibunya.
”Sudah, makan yang banyak Na supaya kamu tidak
kelihatan kurus”, bilang ibunya.
”Ya ma”, jawab Ana sambil menyenduk nasi ke
piringnya. Ana terkesan dengan ucapan ibunya, apa memang saat ini ia tampak kurus. padahal ia makan
tetap seperti pursi biasa. Apa iya aku tampak kurus, nanti akan kutanyakan
kepada Ali bila ia datang menemuiku, kata hatinya.
”Oo ya Na, apa sudah kau lihat ada mobil di samping rumah pamanmu tu”, tanya ibu Ana membuka percakapan, sambil melihat Ana yang diam dan juga belum menyuap nasi di piringnya.
”Ya ma, tadi lihat ada”, jawab Ana sepontan,
besamaan dengan sadarnya dari lamunan hatinya tadi, ”paman datang sendiri ma”,
sambung Ana.
”Sendiri, tadi langsung datang menemui mama”,
jawab ibunya.
”Bagaimana ma”, tanya Ana, ia ingin tahu apa sudah
bicara soal hubungan dengan masalah kedatangan utusan orang tua Ali.
”Ya habis bicara menanya tentang rumah pamanmu yang
lama ditinggalkan sebelah itu, dan mama bilang selalu diawasi dan dijagakan,
akhirnya pamanmu tanya juga soal hubungan kamu dengan Ali itu”, jelas ibunya.
”Apa bilang paman ma”, desak Ana.
”Pamanmu tanya siapa teman dekat kamu itu,
bagaimana orang tuanya, dan sebagainyalah”, jawab ibunya.
”Lalu?”, desak Ana lagi ingin tahu benar.
”Mama ya ceritera seperti yang mama tahu dari kamu
dan yang mama lihat langsung bagaimana kedekatan kamu dengan Ali lah”, sahut
mama.nya Ana.
”Paman juga tanya tentang Ali ya ma”, tanya Ana
serius, takut pamannya salah penilaian tentang Ali.
”Ya mama juga bilang, Ali itu teman sekolah Ana,
tapi saat ini ia meneruskan sekolahnya tiga tahun lagi, Ana sudah akrab dengan
dia dan sering menamu ke rumah ini, Ana juga sudah pernah menamu ke rumah orang
tua Ali, lalu dua minggu yang lalu ada utusan orang tua Ali ingin membuat
ikatan resmi antara Ali dengan kamu, begitulah”, jelas ibunya.
”Bagaimana riaksi paman ma”, ujar Ana.
“Pamanmu bilang ya kalau Ana sanggup menunggu dan
yakin pertunangan nanti itu bisa saling menjaga kelangsungannya, kita restui
sajalah, bilang pamanmu”, ujar ibunya.
Ana tidak menanyakan apa-apa lagi kepada ibunya, hanya ia merasakan matanya basah dan tanpa terucapkan hatinya ia bersyukur kepada Allah yang telah memberi jalan lurus terhadap perjalanan cintanya bersama Ali.
“Ada pesan paman apa ma selanjutnya”, tanya Ana.
“Beliau bilang esok juga harus pulang ke
Banjarmasin, dan kalau sudah ditentukan hari bakal ada pertemuan utusan orang
tua Ali untuk keluarga kita bisa diberi kabar saja, itu saja tadi permntaan pamanmu”,
ujar ibunya.
“Maksudnya apa ya ma?”, bilang Ana.
”Mungkin nih, bibimu atau Arta anaknya mau ikut
hadir dalam pertemuan nanti”, sungka ibunya.
Ana diam lagi, ia berpikir semoga keikutsertaan mereka nanti juga tidak menjadi duri perintang dalam pertemuan nanti, mengingat memang ada gelagat dari di antara bibinya, saudara mamanya yang tidak menyukai hubungan dia dengan Ali
”Sudah Na, sudah selesai kan makannya”, ujar
ibunya melihat Ana tampak masih diam.
”O ya ma”, sahut Ana sedikit terkejut, ”Sudah ma,
Ana aja yang memberesin semuanya, mama biar istirahat saja”, ujar Ana.
”Oh gitu, giliranmu yang kerja Na”, bilang ibunya
sambil bangkit dari duduk dan menuju kursi tempat istirahat di teras pavilliun
samping rumah..
”Beres aja ma”, sahut Ana bersemangat.
Sambil bekerja memberesi piring-piring dan gelas yang habis dipakai selesai makan dan mencucinya, hati Ana terus berpikir bagaimana kelanjutan jalan pertemuan antara utusan keluarga Ali dengan keluarganya nantinya. ”Semoga cepat berlanjut dan berjalan mulus lah”, gumamnya.
Ana juga tidak akan mendesak ibunya, bahkan ia
juga berjanji dalam hatinya tidak akan menanyakan kapan dan bagaimana ibunya
menghubungi pihak keluarga Ali dan menetapkan kapan pertemuan akan berlangsung.
Selesai menyimpan lauk pauk dan nasi yang masih
ada di meja makan ke lemari makan, Ana berjalan menuju teras pavilliun di mana
ibunya masih beristirahat.
”Tidur aja yu ma”, ajak Ana yang melihat ibunya
masih duduk santai.
”Sebentar lagi Na, masih terasa
panas nih”, jawab ibunya.
“Ana duluan ya ma”, bilang Ana sambil berjalan
menuju kamarnya dan kemudian merebahkan badannya.
”Aku tidak akan kirim surat dulu kepada Ali
tentang perkembangan yang sudah terjadi, biar nanti kalau sudah beres semua
baru aku ceritera dan mudahan nanti dia datang menamu sehingga aku bisa
ceritera langsung”, gumam Ana.
Secara tak sengaja Ana teringat masa-masa
perkenalannya dengan Ali, kadang ia tersenyum bila terbayang hal-hal lucu yang
mereka alami, juga merasa bersyukur bisa mengatasi peristiwa-peristiwa kesalahpahaman
yang juga pernah terjadi di antara mereka berdua. Kenangan lama dan panjang ini
kemudian membuat ia terlelap tidur di sore hari itu.
Berbeda dengan ibunya yang masih duduk di kursi di teras pavilliun rumahnya. Tadinya ibunya pada saat berpikir dalam menghadapi rencana pertunangan Ana ini, sempat teringat almarhum bapaknya Ana yang meninggal ketika Ana baru berumur empat tahun. Seandainya bapaknya Ana masih ada, tentu ibunya tidak berpikir sendirian dalam menghadapi persoalan Ana anak mereka.
Tapi ibunya yang sudah biasa menghadapi sendiri
berbagai masalah dalam membesarkan dan membimbing anak-anaknya kemudian bisa
saja menetapkan langkah yang akan dilakukan. Agar persoalan Ana ini sebaiknya
hanya menjadi persoalan dalam keluarga, maka ibunnya Ana cukup menugaskan
saudara perempuan Ana untuk mengundang keluarga orang tua Ali yang ada di Jalan
Merdeka untuk merundingkan kapan pertemuan antara wakil kedua keluarga Ana dan
Ali bisa dilangsungkan.
”Sudah itu saja dulu”, gumamnya. Ibunya Ana juga kemudian bangkit menuju
kamarnya. Sebelum masuk kamar dia melihat pintu kamar Ana sudah tertutup rapat.
”Aku coba tidur juga”, bilang ibunya Ana sambil merebahkan badannya.
Pada sore itu paman Ana tampak sibuk menamu ke rumah-rumah bibi Ana yang tinggal di kota Kandangan. Paman Ana yang bernama H. Hanafi tersebut seorang pengusaha yang tinggal di Banjarmasin. Dia paman Ana yang tertua, kemudian ada tiga saudara perempuan ibunya Ana. Sedangkan ibunya Ana adalah yang paling bungsu di antara lima bersaudara.
Sore hari menjelang Magrib tampak ada mobil masuk ke pekarangan rumah pamannya. Kebetulan Ana yang sudah rapi setelah tidur sore itu sedang berada di pekarangan rumahnya.
Setelah pamannya memarkir mobilnya dan turun dari
mobil langsung berjalan menemui Ana. Melihat pamannya berjalan menuju ke arahnya,
Ana sepontan juga berjalan ke arah pamannya.
”Assalamualaikum, paman”, Ana lebih dahulu menyapa
paman nya dan mencium tangan pamannya.
”Wa alaikum salam Na, apa kabar
nih”, sahut pamannya.
“Alhamdulillah, baik paman”, sahut Ana pendek.
”Sudah kerja kan, bagaimana”, tanya pamannya lagi.
”Sudah paman, tapi masih belajar lah jadi guru”, sahut Ana.
”Mengapa tadinya tidak langsung melanjutkan sekolahnya lagi”, tanya
pamannya lagi.
”Insya Allah nanti mengikuti pendidikan jalur kursus saja paman, juga sama
tiga tahun juga”, jelas Ana.
”Ujar ada kawan kamu yang sering menamu, kini
langsung melanjutkan sekolahnya”, sungka pamannya.
Ana tersipu malu, ia hanya senyum.
Ana tersipu malu, ia hanya senyum.
”Sudah yakin ya Na pilihannya, dan memang sudah yakin bisa melalui waktu
tiga tahun, mungkin ada cobaan-cobaan dalam waktu cukup lama itu”, tanya paman
Ana sambil senyum.
”Insya Allah paman”, jawab Ana pendek.
”Sudah yu masuk rumah, sudah hampr Magrib nih”,
bilang paman Ana mengakhiri percakapan mereka.
”Baik paman”, jawab Ana sambil mereka sama-sama
berjalan menuju pintu rumah masing-masing.
Pada malamnya sehabis menjalankan shalat Isya, Ana minta ijin ibunya untuk tidur lebih duluan. Disamping merasa bahagia dengan mendapat restu dari pamannya, hatinya juga masih bertanya-tanya tentang lika-liku yang mungkin terjadi sebelum sampai kepada kesepakatan antara pihak keluarganya dengan keluarga Ali.
”Ya Allah, berikanlah jalan kemulusan dalam menuju
pertunangan aku dengan Ali”, bisik hatinya berulang-ulang, hingga membawanya tertidur.
Sudah terbiasa seperti sewaktu tinggal di asrama dulu, Ana selalu bangun lebih pagi dari teman-temannya. Ia selalu menyempatkan sesegeranya menjalankan shalat Subuh setelah mendengar azan yang dikumandangkan di salah satu surau dekat asramanya dulu. Demikian juga saat Ana sudah tinggal bersama ibunya, juga kebetulan rumah Ana tidak jauh dari Masjid Jami yang ada di kotanya, sehingga setiap azan berkumandang di masjid tersebut selalu terdengar sampai ke rumahnya.
Sudah juga terbiasa bangun lebih pagi bagi Ana sehingga ia tidak pernah terlambat tiba di sekolah tempatnya mengajar. Tapi hari itu ada sesuatu yang tak pernah diduganya. Pada saat anak-anak istirahat belajar, Ana lagi berada di ruang guru bersama-sama dengan guru-guru lainnya, Kepala Sekolah memanggilnya untuk menghadapnya. Kepala Sekolah memberi tahu kalau beliau telah menerima SK kepindahan ke sekolah yang berada di kota. Karena sekolah yang bakal dipimpinnya itu masih kurang jumlah gurunya, beliau menawarkan kepada Ana apakah Ana mau ikut pindah ke sekolah yang baru itu bersama dia. Karena letak sekolah yang ditawarkan tersebut lebih dekat dengan tempat tinggalnya, Ana spontan saja menerima tawaran tersebut. Sehingga jelas Kepala Sekolah awal bulan nanti Ana sudah bertugas di sekolah yang baru tersebut.
Tawaran kepindahan tempat bekerjanya yang saat itu
berada di desa untuk pindah ke sekolah
di kota yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya tersebut, saat makan malam
disampaikannya kepada ibunya.
”Teman-teman guru kamu tidak ada yang iri ya Na”, reaksi
ibunya.
”Teman-teman guru Ana kayanya sudah tahu ma,
karena waktu Ana kembali ke ruang guru, beberapa mereka langsung bilang
”diterima tawarannya ya Na”, kata mereka. Jadi kayanya Kepala Sekolah sudah
lebih dahulu berbicara kepada mereka”, jelas Ana.
”Mungkin ada pertimbbangan-pertimbangan mengapa
kamu yang diajak pindah”, tukas ibunya.
”Yang Ana tahu ma di sekolah itu selain Ana hanya
ada satu guru perempuannya, dan dia rumahnya dekat sekolah tersebut, sedangkan
yang lainnya semua laki-laki”, sambung Ana.
”O kalau begitu pertimbangannya mungkin untuk
keselamatan dan keamanan kamu di jalan
pulang-pergi yang jaraknya cukup jauh”, bilang ibunya.
”Memang kayanya begitu ma, dan tawaran itu sudah
lebih dahulu dibicarakan bapak dengan teman-teman guru laki-laki, yang diantara
mereka juga rumahnya ada yang lebih jauh daripada Ana”, ujar Ana.
”Sudahlah Na, semoga nanti berjalan mulus aja. Juga Na, mama tadi menyuruh Ruhma kakakmu, pergi ke rumah keluarga Ali yang tinggal di Jln. Merdeka memberi tahu kapan bisa bertemu dengan mama. Kenyataannya begitu Ruhma bertemu dengan keluarga Ali di rumah mereka, sepupunya Ali langsung bersama Ruhma datang menemui mama. Sudah ada kesepakatan waktu pertemuan pihak keluarga Ali akan datang nanti di minggu pertama bulan depan ini. Tentang harinya masih akan dibicarakan dulu di keluarga Ali, sesudah itu kepastian harinya baru nanti akan dibicarakan lagi bersama mama. Kan pesan pamanmu kemaren bibimu atau Arta sepupumu yang di Banjarmasin mungkin ingin ikut dalam pertemuan itu nanti”, jelas mamanya Ana.
”Oh jadi mama tadi sudah lakukan semua itu”, tukas
Ana.
”Ya mama juga tidak ingin nanti dikira oleh
keluarga Ali seperti sengaja membuat masalah ini dibiarkan begitu saja”, bilang
ibu Ana.
”Ya ma, semoga semuanya lancar ya ma”, kata Ana,
yang merasa bangga akan dukungan ibunya untuk segera selesainya masalah ini.
”Sudah Na, kita beresi you ini”, bilang ibunya
sambil menunjuk makanan yang masih ada di atas meja makan.
”Ya ma”, bilang Ana pendek.
(bersambung)
FATWA
(FATWA
Cuplikan dari tabloid Republika 24 juli 2009
Apakah sebenarnya riba itu?
Dijelaskan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, cendekiawan Muslim terkemuka asal
Mesir, bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang
diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok
harta.
“Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai
tambahan atas pokok hartanya, maka termasuk riba, dan tidak boleh
disedekahkan,”tandasnya.
Sejatinya, keharaman bunga juga
telah ditetapkan dalam berbagai forum dan lembaga Islam, baik nasional maupun
internasional. Majma’ul Buhuts-al-Islamy di Al-Azhar, Mesir misalnya, sudah
memutuskan hal ini pada Mei 1965.
Majma’al Fiqh al-Islamy
negara-negara OKI yang berlangsung di Jeddah tanggal 22-28 Desember 1985 juga
serupa. Keputusan dari Dar Al-Itfa, kerajaan Arab Saudi, bahkan sejak tahun
1979.
bahwa bunga yang diambil oleh
penabung di bank adalah riba yang diharamkan.
Dari dalam negeri, ada Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000 yang
menyatakan bunga tidak sesuai dengan syari’ah. Juga keputusan Sidang Lajnah
Tarjih Muhammadiyah tahun 1967 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP
Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian
khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaedah Islam. (keliping).
Langganan:
Postingan (Atom)